Ketiganya memerlukan model integratif antara makro dan mikro, antara negara dan rakyat. KEK menjadi motor industrialisasi; KEST menjadi jantung pemerataan. Dari sinilah ekonomi tidak hanya tumbuh cepat, tetapi juga tumbuh cerdas dan adil. Dengan Triangle Prosperity, kebijakan publik mendapatkan logika epistemiknya: pengetahuan memimpin kekuasaan, kekuasaan melayani produksi, dan produksi menumbuhkan kesejahteraan. Inspirasi global dan akar teoretis. Secara global, gagasan ini berdiri sejajar dengan teori economic clusters Michael Porter dalam The Competitive Advantage of Nations --- bahwa daya saing lahir dari sinergi antara pemerintah, bisnis, dan lembaga pengetahuan. Namun Triangle Prosperity melangkah lebih jauh: ia menambahkan dimensi moral dan sosial, menjadikan efisiensi ekonomi tunduk pada tujuan keadilan epistemik.
Dari Amartya Sen, ia mewarisi gagasan capability approach; dari John Rawls, ia mengambil asas justice as fairness. Keduanya berpadu dalam tubuh konstitusi Indonesia, yang menempatkan manusia bukan sekadar faktor produksi, melainkan pusat dari seluruh proses pembangunan. Indonesia kini berdiri di persimpangan antara dua ekstrem: negara yang kuat namun kehilangan arah ideologis, dan pasar yang bebas namun tanpa fondasi moral. Triangle Prosperity menawarkan jalan tengah --- sintesis antara kekuasaan yang berakal, ekonomi yang berkeadilan, dan masyarakat yang berdaya. Ia bukan sekadar model ekonomi, tetapi doktrin epistemik tentang bagaimana pengetahuan, kekuasaan, dan kesejahteraan bisa berpadu dalam satu sistem yang saling menghidupkan. Di sinilah letak masa depan bangsa: ketika kekuasaan berpikir, dan pengetahuan bekerja.
Mengembalikan Akal Kekuasaan
Merupakan titik kulminasi dari seluruh gagasan tentang reformasi epistemik yang berupaya menyatukan kembali dua kekuatan besar dalam sejarah peradaban: ilmu dan kekuasaan. Dalam perjalanan politik modern, keduanya sering terpisah oleh sekat-sekat birokrasi, ideologi, atau kepentingan jangka pendek. Namun, peradaban yang bertahan lama dan melahirkan kemajuan selalu berdiri di atas harmoni antara pengetahuan yang reflektif dan kekuasaan yang rasional. Reformasi epistemik yang telah dibahas sebelumnya --- mulai dari peran partai dan parlemen hingga desain sistem ekonomi seperti KEK dan KEST --- sesungguhnya bermuara pada satu tujuan besar: mengembalikan akal dalam kekuasaan dan menghidupkan kembali kekuasaan dalam akal.
Sejarah politik dunia menunjukkan bahwa kemajuan bangsa tidak pernah lahir dari kekuasaan yang kosong dari ide, maupun dari pengetahuan yang steril dari tanggung jawab politik. Dalam konteks modern, konsep ini terwujud dalam simbiosis antara negara dan lembaga pengetahuan. Di Inggris, hubungan antara parlemen dan think tank seperti Fabian Society atau Institute for Public Policy Research (IPPR) menciptakan kebijakan progresif yang berakar pada riset sosial. Di Jerman, fondasi epistemik pemerintahan demokratis dijaga oleh jaringan Stiftung seperti Konrad Adenauer Stiftung dan Friedrich Ebert Stiftung, yang bukan hanya menjadi "mesin ideologi" partai, tetapi juga ruang intelektual bagi perdebatan dan pembaruan kebijakan publik. Di Amerika Serikat, lembaga seperti Brookings Institution, RAND Corporation, dan Center for American Progress menunjukkan bagaimana policy intelligence menjadi faktor pembeda antara kekuasaan yang berwawasan dan kekuasaan yang impulsif.
Dalam kerangka itu, Indonesia menghadapi tantangan epistemik yang khas. Demokrasi kita telah berhasil melahirkan mekanisme politik yang kompetitif, tetapi belum mampu menumbuhkan mekanisme pengetahuan yang kolektif. Partai politik masih lebih banyak berfungsi sebagai alat elektoral daripada laboratorium kebijakan; parlemen lebih reaktif terhadap isu dibandingkan proaktif dalam riset; birokrasi sering terjebak dalam logika administratif dan kepatuhan formal, bukan refleksi substantif. Inilah yang disebut krisis epistemik kekuasaan --- ketika kebijakan lahir bukan dari dialektika antara ide dan data, melainkan dari kalkulasi politik jangka pendek. Dalam kondisi demikian, reformasi epistemik menjadi keniscayaan, bukan pilihan. Ia adalah jalan satu-satunya untuk membangun kembali legitimasi dan rasionalitas kekuasaan dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Reformasi epistemik berarti menempatkan lembaga pengetahuan --- think tank, universitas, lembaga masyarakat, dan yayasan --- sebagai mitra sejajar kekuasaan, bukan sekadar pelengkap administratif. Lembaga-lembaga ini harus diberi ruang dan otoritas untuk menguji, menilai, dan merumuskan kebijakan berdasarkan data, teori, dan refleksi moral. Dalam model seperti itu, ilmu tidak lagi menjadi alat pembenaran bagi kebijakan yang sudah diputuskan, melainkan kompas moral dan rasional bagi arah kebijakan itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan tidak lagi menjadi sekadar pelaksana ide, melainkan katalis bagi transformasi sosial yang diilhami oleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, policy making menjadi proses epistemik yang hidup --- dialogis, terbuka, dan berbasis pada bukti serta nilai.
Jika konsep Triangle Prosperity di bab sebelumnya menata hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat dalam dimensi ekonomi, maka bab ini menata relasi epistemik antara negara, intelektual, dan rakyat dalam dimensi politik dan moral. Di sinilah "akal kekuasaan" menemukan maknanya yang sesungguhnya: bukan sekadar kecerdikan strategis, tetapi kemampuan untuk menimbang secara rasional dan etis setiap keputusan publik. Dalam tradisi pemikiran klasik, konsep ini sejajar dengan gagasan phronesis Aristoteles --- kebijaksanaan praktis yang menggabungkan pengetahuan dan moralitas dalam tindakan. Dalam konteks modern, hal ini dapat diterjemahkan sebagai evidence-based governance, di mana setiap kebijakan diuji oleh data dan disaring oleh nilai kemanusiaan.
Reformasi epistemik juga mengandung makna politik kebudayaan. Ia mengajak bangsa untuk berpindah dari kultur retorika ke kultur refleksi; dari politik simbolik ke politik substantif; dari slogan ke argumentasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Antonio Gramsci, perjuangan ide bukan hanya berlangsung di parlemen atau media, tetapi juga dalam cara bangsa berpikir tentang dirinya sendiri. Reformasi epistemik dengan demikian adalah proses panjang untuk membangun hegemoni intelektual yang baru --- di mana rakyat tidak lagi menjadi objek kebijakan, tetapi subjek yang berpikir, berdialog, dan berpartisipasi dalam membangun arah bangsa.
Dalam skala lebih luas, mengembalikan akal kekuasaan berarti menghidupkan kembali etika tanggung jawab dalam kepemimpinan nasional. Dalam konteks era Prabowo dan arah kebijakan nasional yang menuju keadilan sosial dan kemakmuran rakyat, prinsip ini dapat menjadi pilar ideologis. Pemerintahan yang kuat bukanlah yang sekadar berani memutuskan, tetapi yang berani berpikir secara mendalam dan mendengarkan data serta nurani. Strength with reflection --- kekuatan yang berpikir --- adalah formula peradaban modern yang mampu menyeimbangkan efisiensi dan keadilan, kecepatan dan kebijaksanaan, otoritas dan legitimasi.
Sebagai penutup, seluruh gagasan dalam naskah ini berangkat dari kesadaran bahwa politik sejati adalah tindakan rasional untuk menciptakan keadilan sosial. Ilmu pengetahuan memberi legitimasi moral dan rasional bagi kekuasaan; kekuasaan memberi daya dan arah bagi ilmu untuk diwujudkan dalam kehidupan sosial. Keduanya tidak boleh berpisah, sebab tanpa hubungan yang hidup antara keduanya, bangsa hanya akan berputar dalam siklus kekuasaan tanpa pencerahan. Maka, sebagaimana kalimat penutup yang merangkum seluruh tesis reformasi epistemik ini: "Kekuasaan tanpa ilmu hanyalah otot; ilmu tanpa kekuasaan hanyalah suara. Pencerahan terjadi ketika keduanya saling mengakui dan bekerja bersama." Dalam kesatuan itu --- antara rasio dan tindakan, pengetahuan dan kekuasaan, rakyat dan negara --- masa depan Indonesia dapat diarahkan menuju peradaban yang tidak hanya kuat secara politik dan ekonomi, tetapi juga tercerahkan secara epistemik.