Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Triangle Prosperity sebagai Pilar Reformasi Politik Epistemik Menuju Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat Era Prabowo

12 Oktober 2025   06:34 Diperbarui: 12 Oktober 2025   06:34 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menuju Politik Epistemik Indonesia untuk melampaui dilema tersebut, Indonesia perlu menciptakan sistem knowledge-policy nexus yang terintegrasi: think tank strategis di bawah koordinasi partai dan pemerintah harus menjadi ruang lintas ideologi yang produktif. Partai tidak lagi sekadar mesin elektoral, tetapi laboratorium kebijakan. Akademisi dan peneliti tidak lagi hanya menulis laporan, tetapi menjadi mitra strategis pengambil keputusan.

Model yang dapat dikembangkan adalah "Epistemic Council" di tingkat nasional maupun daerah---forum tetap yang mempertemukan lembaga riset, think tank, akademisi, dan pejabat publik dalam siklus kebijakan nasional. Dengan cara ini, arah pembangunan Indonesia bisa bergerak dari politik administratif menuju politik epistemik, di mana setiap kebijakan merupakan hasil sintesis antara ilmu, nilai, dan kepentingan publik.

Evolusi otoritas epistemik dari istana ke parlemen, dari partai ke think tank, memperlihatkan satu pelajaran universal: kekuasaan modern tidak dapat bertahan tanpa basis pengetahuan. Ilmu memberi legitimasi, strategi, dan arah moral bagi kebijakan publik. Jika abad ke-20 adalah era dominasi teknokrasi, maka abad ke-21 menuntut reintegrasi antara ilmu dan politik. Indonesia, dalam konteks pemerintahan Prabowo, memiliki peluang untuk menulis bab baru sejarah ini: membangun kekuasaan yang berpikir, dan ilmu yang berkuasa.

Indonesia dan Krisis Epistemik Kekuasaan

Sejak awal reformasi 1998, Indonesia telah berhasil membangun demokrasi prosedural, tetapi belum berhasil membangun demokrasi epistemik --- yakni sistem kekuasaan yang bertumpu pada pengetahuan, bukan sekadar angka elektoral atau akumulasi administratif. Dalam dua dekade terakhir, politik Indonesia cenderung bergerak di antara dua ekstrem: birokrasi teknokratis tanpa arah ideologis, dan politik elektoral tanpa basis epistemik. Akibatnya, kekuasaan menjadi kehilangan daya reflektifnya; ia sibuk menjalankan program, tetapi tidak memahami makna dari program itu sendiri.

Diagnosis Krisis Epistemik dalam Pemerintahan dan Partai Politik. Krisis epistemik ini berakar dari cara pandang terhadap kebijakan dan pengetahuan. Dalam banyak kasus, pengetahuan tidak dijadikan sumber kekuasaan, melainkan hanya alat legitimasi administratif. Pemerintah dan partai sering kali beroperasi dalam logika output administratif, bukan outcome epistemik.

Kita dapat melihat gejala ini dari praktik perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Selama ini, perencanaan masih bersifat program budgeting, bukan policy budgeting. Artinya, yang dihitung adalah jumlah program dan kegiatan yang dilaksanakan, bukan efektivitas kebijakan terhadap tujuan besar seperti pengurangan ketimpangan, peningkatan produktivitas nasional, atau transformasi struktur ekonomi.

Sebagai contoh, laporan Bappenas dan Kementerian Keuangan menunjukkan bagaimana ribuan kegiatan dan subkegiatan berjalan tiap tahun, tetapi tidak secara langsung menurunkan ketimpangan wilayah atau meningkatkan daya saing nasional secara signifikan. Di sinilah tampak bahwa administrasi telah menggantikan refleksi.

Partai politik pun mengalami krisis epistemik serupa. Ia tidak lagi berfungsi sebagai "ruang produksi ideologi dan kebijakan," tetapi sekadar sebagai mesin elektoral. Tidak ada unit riset internal yang kuat, tidak ada laboratorium ide, tidak ada dialektika substantif antara anggota dewan, akademisi, dan masyarakat sipil. Akibatnya, parlemen kehilangan daya pikir strategisnya --- ia menjadi "institusi prosedural" yang sibuk membahas anggaran, bukan arah bangsa.

Program sebagai Indikator, Bukan Kebijakan. Dalam sistem kebijakan publik Indonesia, kata "program" sering disakralkan, padahal secara epistemik, program hanyalah turunan dari kebijakan. Ketika orientasi politik pembangunan diarahkan pada tumpukan program dan kegiatan, maka yang terjadi adalah fragmentasi kebijakan nasional.

Gunnar Myrdal dalam karya monumentalnya Asian Drama (1968) menyebut fenomena ini sebagai "administrative overload." Negara-negara berkembang, tulis Myrdal, sering kali meniru bentuk birokrasi modern Barat tanpa menguasai logika epistemiknya. Akibatnya, terjadi penumpukan lembaga, laporan, dan proyek yang saling tumpang tindih, tetapi tidak menghasilkan perubahan struktural yang berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun