Momentum ke arah itu sebenarnya sudah muncul di era Prabowo. Pembentukan kembali Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan penguatan unit analisa di Istana memberi sinyal bahwa negara mulai menyadari perlunya intelligence epistemik dalam perumusan kebijakan nasional. Langkah ini perlu diteruskan dengan membangun jejaring epistemik nasional yang menghubungkan partai, parlemen, universitas, dan masyarakat sipil. Jika ini dilakukan, maka Indonesia bisa menjadi contoh negara pasca-demokratis yang berhasil mentransformasikan politik menjadi ilmu, dan ilmu menjadi politik yang berpihak pada rakyat.
Reformasi epistemik bukan proyek jangka pendek, tapi revolusi sunyi yang menentukan arah peradaban. Ia menuntut kesabaran institusional, keberanian intelektual, dan kerendahan hati politik. Dan seperti kata Harold Lasswell: "Policy is knowledge in action." Maka mungkin inilah saatnya bagi Indonesia untuk benar-benar bertindak---bukan hanya berwacana---dengan pengetahuan sebagai sumber kekuasaan yang baru.
Triangle Prosperity Integrasi Negara--Pasar--Masyarakat sebagai Model Epistemik Baru
Reformasi epistemik sejatinya tak dapat berdiri di ruang hampa. Ia membutuhkan tubuh material tempat gagasan berakar dan bergerak. Dalam dunia modern, politik tanpa basis ekonomi hanyalah retorika; sementara ekonomi tanpa dasar epistemik hanyalah mekanika. Di sinilah titik temu antara pikiran dan produksi menjadi penting, ruang di mana pengetahuan menjelma menjadi kekuasaan yang menyejahterakan.
Dari kesadaran itu lahirlah gagasan Triangle Prosperity: sebuah arsitektur epistemik yang mengintegrasikan negara, pasar, dan masyarakat dalam satu sistem sosial-ekonomi yang hidup. Ia bukan sekadar teori pembangunan, melainkan upaya untuk menata ulang logika dasar ekonomi-politik Indonesia: bahwa kesejahteraan tidak mungkin lahir dari distribusi pasif, tetapi dari partisipasi produktif. Triangle Prosperity berangkat dari pertanyaan sederhana namun mendasar: bagaimana agar kekuasaan tidak tercerabut dari akal, dan ekonomi tidak terpisah dari moral? Jawabannya terletak pada integrasi --- bukan subordinasi --- antara tiga kekuatan utama peradaban: negara sebagai pengarah nilai, pasar sebagai penggerak efisiensi, dan masyarakat sebagai penghasil makna.
Latar filosofis: dari keadilan distributif ke ekosistem produktif. Sejak awal kemerdekaan, cita-cita "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi titik tumpu sistem kenegaraan kita. Namun dalam praktiknya, keadilan kerap dimaknai secara distributif --- sekadar berbagi hasil. Paradigma ini menimbulkan dilema: rakyat menjadi penerima, bukan pelaku; kesejahteraan menjadi kebijakan, bukan kapasitas. Konsep keadilan dalam Amartya Sen menawarkan jalan keluar dari kebuntuan itu. Dalam Development as Freedom, Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati ialah kebebasan untuk berproduksi, berinovasi, dan memilih jalan hidup. Keadilan, dengan demikian, adalah soal memperluas kemampuan manusia --- bukan sekadar memberi mereka hasil.
Sementara John Rawls, dalam A Theory of Justice, memberikan landasan normatif bahwa struktur dasar masyarakat harus memastikan kesetaraan peluang bagi yang paling lemah. Di titik inilah, Triangle Prosperity mempertemukan keduanya: Sen sebagai basis produktif, Rawls sebagai basis normatif. Keadilan sosial tidak lagi berarti "bagi rata", tetapi "berdayakan semua". Negara tidak sekadar menyalurkan, tetapi mengatur agar pengetahuan, modal, dan kesempatan berpadu dalam satu ekosistem yang melahirkan produktivitas sosial. Dari makro ke mikro: KEK dan KEST sebagai dualisme ekosistem ekonomi. Struktur ekonomi nasional dewasa ini menampakkan dua kutub besar pembangunan: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Ekonomi Sosial Terpadu (KEST) --- dua ruang yang sesungguhnya bisa saling melengkapi dalam kerangka Triangle Prosperity.
KEK, sebagaimana diatur dalam UU No. 39/2009 dan PP No. 40/2021, dibangun sebagai mesin pertumbuhan makro: investasi, ekspor, dan industrialisasi. Ia menumbuhkan PDB dan memperkuat struktur ekonomi nasional. Namun seperti yang sering disadari para ekonom, pertumbuhan tidak otomatis berarti pemerataan. KEK menciptakan growth pole, tetapi tidak menjamin trickle down effect. KEST hadir untuk menjembatani jurang itu. Ia merupakan ekosistem mikro yang mengalirkan surplus makro ke masyarakat melalui tiga pilar: yayasan, koperasi, dan perusahaan rakyat. Yayasan menjadi sumber pengetahuan dan pendidikan, koperasi menjadi wadah produksi kolektif, dan perusahaan rakyat menjadi ruang inovasi serta kemandirian ekonomi.
Struktur ini menciptakan arus ganda antara modal dan moral: dari atas ke bawah (transfer pengetahuan dan investasi), dan dari bawah ke atas (arus inovasi dan produksi rakyat). Dalam sistem ini, pembangunan menjadi dialog --- bukan monolog. Yayasan--koperasi--perusahaan: model sosio-ekonomi konstitusional. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Kalimat ini bukan sekadar prinsip ekonomi, tetapi pernyataan epistemik --- bahwa ilmu, kerja, dan keadilan harus berjalan dalam satu logika kebersamaan.
Triangle Prosperity menerjemahkan amanat itu ke dalam tiga struktur fungsional. Yayasan menjadi pusat nilai dan pengetahuan, seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad yang menautkan riset dan kebijakan. Koperasi menjadi ruang kepemilikan bersama --- sarana pemerataan yang hidup. Sedangkan perusahaan rakyat menjadi manifestasi kreativitas individu dalam kerangka sosial yang adil. Ketiganya bekerja bukan dalam hierarki, tetapi dalam sirkulasi. Negara mengatur dan menjamin, masyarakat berinovasi dan memproduksi, pasar mengukur dan menggerakkan. Dalam relasi semacam ini, pembangunan tidak lagi berhenti pada "penyaluran bantuan", melainkan tumbuh menjadi "ekosistem produksi sosial".
Triangle prosperity sebagai doktrin kebijakan nasional. Sebagaimana Trisakti Soekarno memberi arah ideologis bagi kemandirian bangsa, Triangle Prosperity menawarkan arsitektur sistemik untuk mewujudkannya. Ia menjadi "Trisakti baru" yang bekerja di level kebijakan: berdikari dalam politik, efisien dalam ekonomi, berkeadilan dalam masyarakat. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, gagasan ini menemukan momentumnya. Arah kebijakan nasional menekankan tiga prioritas besar: 1. kedaulatan pangan dan energi, 2. hilirisasi industri dan kemandirian teknologi, 3. pemerataan ekonomi berbasis daerah.