Dalam konteks Indonesia, administrative overload terlihat dari banyaknya program dan subprogram di setiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang berjalan secara sektoral, tidak saling terhubung, dan tidak memiliki basis data yang sama. Ini bukan hanya persoalan koordinasi, melainkan persoalan epistemik --- negara tidak memiliki kesadaran reflektif tentang makna kebijakan itu sendiri.
Padahal, dalam sistem yang sehat, policy budgeting berarti anggaran disusun berdasarkan arah kebijakan yang terukur, berdasar hasil riset dan evaluasi jangka panjang. Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, policy brief dan white paper menjadi dasar utama pembiayaan publik. Di Indonesia, kebijakan sering dimulai dari anggaran, bukan dari riset. Maka yang terjadi adalah pembalikan logika: bukan pengetahuan yang membiayai kebijakan, tetapi kebijakan yang mencari pembenaran pengetahuan.
Birokrasi administratif, bukan reflektif, birokrasi Indonesia lahir dari warisan kolonial yang menekankan disiplin administratif, bukan kemampuan berpikir strategis. Setelah reformasi, birokrasi diperluas secara demokratis, tetapi tidak direformasi secara epistemik. Lembaga riset pemerintah --- seperti LIPI (sebelum menjadi BRIN), LAN, dan Bappenas --- menghasilkan banyak kajian bernilai, tetapi jarang menjadi bagian dari siklus kebijakan nasional. Riset lebih sering berhenti pada laporan proyek, bukan diintegrasikan dalam sistem keputusan negara.
Di sinilah konsep "reformasi epistemik" menjadi penting. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya berbicara tentang efisiensi atau digitalisasi, tetapi harus menata ulang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Birokrasi harus memiliki kapasitas reflektif --- mampu memahami konteks, menganalisis data, dan menyusun kebijakan berbasis ilmu, bukan sekadar mengikuti format anggaran.
Contoh kecil dapat dilihat dari bagaimana Korea Selatan dan Singapura menata lembaga perencanaan nasional mereka. Keduanya membangun policy unit strategis yang langsung berfungsi sebagai otak kebijakan negara. Lembaga-lembaga seperti KDI (Korea Development Institute) atau Civil Service College di Singapura tidak sekadar membuat laporan, melainkan mengontrol arah epistemik kebijakan nasional. Indonesia membutuhkan sistem serupa --- sebuah "mesin reflektif negara."
Politik tanpa pengetahuan gejala kehilangan arah ideologis. Krisis epistemik ini juga menyebabkan hilangnya arah ideologis dalam politik nasional. Partai dan pemerintah sering kali meniru slogan global seperti "transformasi digital", "green economy", atau "pembangunan berkelanjutan" tanpa kerangka epistemik nasional yang jelas. Akibatnya, arah kebijakan berubah-ubah sesuai tekanan donor, tren global, atau siklus politik lima tahunan.
Ketika kebijakan tidak lagi lahir dari refleksi ilmiah, ia berubah menjadi teknokrasi tanpa ideologi. Rakyat tidak tahu ke mana negara hendak menuju, dan pejabat pun sering kehilangan kemampuan untuk menjelaskan makna kebijakannya sendiri. Dalam situasi seperti ini, kekuasaan kehilangan "akal"-nya --- ia hanya berjalan, tanpa tahu mengapa dan untuk apa.
Jalan keluar, reformasi epistemik sebagai solusi struktural. Reformasi epistemik bukanlah slogan baru, melainkan keharusan struktural. Ia berarti mengubah paradigma kekuasaan: dari administratif menjadi reflektif, dari programatik menjadi kebijakan strategik.
Langkah pertama adalah membangun policy unit internal di parlemen dan partai politik. Unit ini berfungsi sebagai knowledge hub --- penghubung antara riset akademik, lembaga teknis, dan kepentingan publik. Langkah kedua adalah memperkuat fungsi lembaga seperti Bappenas, BRIN, LAN, dan universitas sebagai policy intelligence system negara. Langkah ketiga, memastikan setiap kebijakan dan anggaran harus memiliki dasar epistemik: argumentasi, data, dan kerangka nilai.
Dengan demikian, reformasi epistemik tidak hanya memperbaiki birokrasi, tetapi mengembalikan rasionalitas kekuasaan. Dalam konteks pemerintahan Prabowo, hal ini sangat relevan: kekuasaan nasional perlu membangun "mesin berpikir negara" yang mengintegrasikan militer, sipil, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dalam satu sistem reflektif nasional.
Krisis epistemik adalah akar dari banyak krisis turunan: korupsi, inefisiensi, fragmentasi kebijakan, hingga ketimpangan sosial. Indonesia tidak kekurangan sumber daya atau regulasi, melainkan kekurangan sistem berpikir yang menghubungkan ilmu dengan kekuasaan. Reformasi epistemik bukan sekadar tuntutan akademik, tetapi kebutuhan eksistensial negara modern. Sebab sebagaimana ditegaskan dalam amanat konstitusi, keadilan sosial dan kemakmuran rakyat hanya dapat dicapai oleh kekuasaan yang berakal --- kekuasaan yang berpengetahuan.