Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Triangle Prosperity sebagai Pilar Reformasi Politik Epistemik Menuju Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat Era Prabowo

12 Oktober 2025   06:34 Diperbarui: 12 Oktober 2025   06:34 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika akar pengetahuan modern ditelusuri ke masa lalu, maka jejaknya akan berakhir bukan di Oxford atau Sorbonne, melainkan di Baghdad, Kairo, dan Cordoba. Di dunia Islam abad pertengahan, ilmu pengetahuan bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan bagian dari tata pemerintahan. Ilmu bukan sekadar ilmu untuk ilmu, melainkan ilmu untuk keputusan. Dalam konteks itu, ulama bukan hanya pengajar atau ahli tafsir, melainkan juga ahl al-ra'y --- penasehat kebijakan bagi khalifah dan amir, tempat bertemunya hukum, akal, dan moral kekuasaan.

Bayt al-Hikmah di Baghdad, yang didirikan pada abad ke-8 di masa Khalifah al-Ma'mun, menjadi simbol paling terang dari integrasi riset dan kekuasaan. Di tempat ini, naskah-naskah filsafat, astronomi, kedokteran, dan politik Yunani diterjemahkan, ditafsirkan, dan dikembangkan menjadi dasar ilmu baru. Para ilmuwan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina tidak bekerja di luar kekuasaan, melainkan di bawah perlindungan politik yang memahami nilai pengetahuan. Bayt al-Hikmah bukan sekadar perpustakaan, tetapi pusat riset negara---prototipe awal dari think tank modern. Di sana, pengukuran waktu, observasi langit, dan penyusunan peta bukan dilakukan demi ilmu semata, melainkan untuk kepentingan navigasi, kalender, perang, dan pertanian. Ilmu menjadi alat governance, bukan hanya simbol kemajuan.

Dunia Islam membangun satu prinsip epistemik yang radikal: ijtihad. Ijtihad adalah keberanian berpikir independen dengan dasar dalil dan akal untuk menjawab persoalan sosial dan politik. Dalam bahasa modern, ijtihad adalah research and policy analysis. Prinsip ini menegaskan bahwa wahyu tidak menutup jalan bagi akal, tetapi justru menantangnya untuk terus menafsirkan realitas baru. Dari sinilah muncul hubungan simbolik yang sangat penting: ijtihad - riset.

Demikian pula dengan konsep syura (musyawarah), yang secara substansial mendahului konsep parlemen. Dalam syura, keputusan politik diambil melalui pertimbangan kolektif yang melibatkan orang-orang berilmu, bukan hanya pejabat. Syura bukan hanya prosedur, melainkan bentuk epistemologi politik -- bahwa kebenaran politik lahir dari perdebatan ilmiah dan moral di ruang publik. Maka dalam struktur kekuasaan Islam klasik, ulama bukan oposisi bagi penguasa, melainkan intelektual organik yang menjaga keseimbangan antara moralitas dan rasionalitas kekuasaan.

George Makdisi dalam karya monumentalnya, The Rise of Colleges, menegaskan bahwa sistem pendidikan Islam abad pertengahan melahirkan model kurikulum, organisasi, dan tata kelola yang kelak diadopsi oleh universitas-universitas Eropa. Madrasah Nizamiyah di Baghdad adalah cikal bakal college system Oxford dan Paris. Sistem ijazah yang diberikan kepada murid (sebagai tanda kelayakan mengajar) diadopsi menjadi degree system di universitas Eropa. Makdisi menunjukkan bahwa istilah-istilah seperti chair, dean, dan faculty pertama kali muncul dari sistem Islam. Bahkan struktur debat ilmiah di kalangan fuqaha dan mutakallimun mengilhami metode disputation dan scholasticism di abad pertengahan Eropa.

Sementara itu, Franz Rosenthal dalam Knowledge Triumphant menjelaskan bahwa dalam Islam, pengetahuan bukan sekadar instrumen rasionalitas, tetapi pilar keberadaban. "Ilmu adalah rahmat yang mewujud dalam tatanan sosial," tulisnya. Pandangan ini menempatkan ilmu sebagai inti kekuasaan, bukan pelengkapnya. Kekuasaan yang tidak berakar pada ilmu dianggap zalim, sementara ilmu tanpa ruang politik dianggap lumpuh. Dari sini, kita dapat melihat bahwa dunia Islam membangun fondasi epistemologi pemerintahan berbasis ilmu -- knowledge-based governance -- jauh sebelum istilah itu muncul di abad modern.

Kejatuhan Baghdad tahun 1258 memang menandai akhir era klasik Islam, namun semangat epistemiknya tidak mati. Ia mengalir ke Eropa melalui Toledo Translation Movement di Spanyol dan Sisilia. Di kota Toledo, ratusan naskah Arab diterjemahkan ke Latin oleh para sarjana Kristen dan Yahudi. Karya Ibn Sina (Canon of Medicine), Ibn Rushd (Commentaries on Aristotle), dan Al-Farabi (On the Perfect State) menjadi bacaan wajib di universitas-universitas awal Eropa. Gerakan ini melahirkan intellectual bridge antara Islam dan Eropa --- sebuah arus balik ilmu yang memantik Renaissance.

Para pemikir seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Albertus Magnus belajar logika dan metodologi ilmiah dari karya filsuf Muslim. Konsep rasionalitas, observasi empiris, dan sintesis wahyu-akal yang menjadi ciri khas Enlightenment memiliki akar yang dalam dalam filsafat Islam. Eropa tidak hanya menyalin teks, tetapi juga mewarisi cara berpikir -- sistem epistemik yang memadukan etika, hukum, dan kebijakan dalam satu kesatuan.

Dengan kata lain, Pencerahan Eropa adalah buah dari dialog panjang peradaban ilmu dunia Islam. Dari Baghdad ke Toledo, dari Al-Qarawiyyin ke Bologna, dari Syura ke Parlemen---jejak epistemik ini membentuk dasar peradaban modern. Hubungan antara ulama dan penguasa dalam tradisi Islam klasik kemudian bermetamorfosis menjadi hubungan antara scholar dan statesman di dunia modern. Dari ijtihad lahir riset; dari syura lahir parlemen; dari ulama lahir intelektual.

Kini, ketika dunia memasuki abad pengetahuan dan pemerintahan berbasis data (knowledge-based governance), warisan Islam itu menemukan relevansi barunya. Pemerintahan modern, termasuk Indonesia di bawah Prabowo, menghadapi tantangan serupa dengan yang pernah dihadapi para khalifah dan ulama di Baghdad: bagaimana menggabungkan akal dan kekuasaan, riset dan keputusan, moralitas dan kebijakan.

Reformasi politik epistemik yang sedang kita bicarakan hari ini sebenarnya bukan sekadar proyek teknokratis, tetapi upaya menghidupkan kembali warisan intelektual peradaban Islam---bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang berilmu, dan ilmu sejati adalah ilmu yang berdaya guna bagi keadilan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun