Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Triangle Prosperity sebagai Pilar Reformasi Politik Epistemik Menuju Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat Era Prabowo

12 Oktober 2025   06:34 Diperbarui: 12 Oktober 2025   06:34 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dialog Istana: Prabowo dan Tokoh GNB (SinPo.id/Setpres)

Di Balik Banyaknya Dokumen Literatur dan Tradisi Keilmuan Dunia

Di banyak negara maju, sebuah kebijakan publik tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia adalah puncak dari sebuah gunung epistemik---tumpukan laporan riset, hasil konsultasi, policy brief, white paper, dan perdebatan panjang antara para ilmuwan, teknokrat, serta politisi. Di Amerika Serikat, setiap rancangan undang-undang atau kebijakan strategis umumnya disertai dokumen analisis kebijakan setebal ratusan halaman, yang menjadi fondasi argumen politik dan legitimasi publik. Dalam tradisi inilah Harold D. Lasswell menulis kalimat yang monumental: "Policy-making is knowledge in action." Kebijakan, kata Lasswell, bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pengetahuan yang dioperasionalkan dalam arena kekuasaan.

Fenomena ini menjelaskan mengapa tradisi kebijakan berbasis pengetahuan di Barat melahirkan peradaban politik yang stabil, inovatif, dan berdaya tahan. Lembaga seperti Brookings Institution, RAND Corporation, dan Heritage Foundation berdiri bukan sekadar untuk menulis laporan riset, tetapi untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan menjadi bagian dari mesin pengambilan keputusan. Setiap lembaga ini bekerja dalam apa yang disebut sebagai "knowledge--policy nexus" --- titik temu antara dunia ide dan dunia kekuasaan. RAND, misalnya, lahir dari kebutuhan strategis militer AS pasca Perang Dunia II, ketika negara menyadari bahwa kemenangan tidak lagi ditentukan oleh jumlah senjata, melainkan oleh kualitas analisis dan prediksi ilmiah. Di sisi lain, Brookings menjadi rujukan utama dalam reformasi fiskal dan sosial sejak era Roosevelt hingga kini, sementara Heritage Foundation menjadi mesin ideologis konservatif Partai Republik.

Ketiga lembaga ini menunjukkan satu hal penting: ilmu menjadi alat survival politik dan peradaban. Kekuasaan yang ingin bertahan dan berkembang membutuhkan legitimasi rasional---dan itu hanya bisa diperoleh melalui pengetahuan yang terinstitusionalisasi. Karena itu, di Barat, riset tidak berdiri di luar kekuasaan, melainkan berinteraksi langsung dengannya. Pemerintah memesan pengetahuan, universitas menjawabnya, dan lembaga riset menjadi jembatan epistemik di antara keduanya. Hubungan ini menciptakan ekosistem yang dinamis: ketika kekuasaan berubah, paradigma pengetahuan juga ikut bergeser, tetapi fondasi rasionalitasnya tetap dijaga.

Kontras dengan itu, di Indonesia, riset dan kebijakan sering berjalan pada rel yang berbeda. Penelitian lebih sering diperlakukan sebagai proyek, bukan instrumen kebijakan. Dokumen hasil kajian sering berakhir sebagai laporan akhir kegiatan---tersusun rapi di rak lembaga, namun tak pernah menjadi dasar keputusan publik. Bukan karena para penelitinya kurang berkualitas, melainkan karena sistem politik kita belum memiliki demand epistemik yang cukup kuat. Kekuasaan tidak meminta pengetahuan, dan pengetahuan tidak diarahkan untuk melayani kekuasaan secara etis.

Kondisi ini membuat Indonesia terjebak dalam paradigma administratif, bukan epistemik. Dokumen riset menjadi output kegiatan, bukan input keputusan. Laporan dihasilkan karena kewajiban anggaran, bukan kebutuhan kebijakan. Lembaga riset negara, universitas, bahkan think tank swasta masih berdiri di luar ruang pengambilan keputusan strategis. Akibatnya, banyak kebijakan kehilangan dasar analitik dan rasionalitas jangka panjang. Ketika kebijakan berganti arah setiap pergantian pejabat, kita tidak sedang melangkah di atas fondasi ilmu, melainkan di atas politik pragmatis yang berubah sesuai selera kekuasaan sesaat.

Dalam konteks globalisasi kebijakan, posisi Indonesia menjadi paradoks. Di satu sisi, kita hidup di era policy convergence --- di mana negara-negara belajar dari praktik terbaik antarnegara, saling mengadopsi kebijakan berbasis data dan bukti (evidence-based policy). Namun di sisi lain, banyak kebijakan nasional kita masih bergantung pada "dokumen administratif" ketimbang "dokumen ilmiah". Padahal, di negara-negara seperti Inggris dan Jerman, setiap keputusan pemerintah wajib melewati regulatory impact assessment (RIA) yang didasarkan pada kajian akademik. Di Amerika Serikat, setiap proposal kebijakan disertai policy memorandum yang menimbang dimensi sosial, ekonomi, dan hukum. Proses seperti ini menjadikan kebijakan bukan sekadar keputusan politik, melainkan hasil dialog antara kekuasaan dan pengetahuan.

Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang reformasi politik epistemik di era Prabowo, kita sebenarnya sedang berbicara tentang pergeseran paradigma kekuasaan itu sendiri: dari kekuasaan yang administratif menuju kekuasaan yang berbasis rasionalitas ilmiah. Pemerintahan Prabowo membawa potensi untuk mengembalikan posisi ilmu ke dalam jantung negara. Indikasi awalnya terlihat dari penguatan unit analisis strategis, pembentukan dewan ekonomi nasional, serta langkah awal membangun policy intelligence unit di berbagai kementerian. Namun langkah ini harus dilanjutkan dengan membangun permintaan epistemik yang sistemik, agar riset tidak lagi berhenti di meja laporan, melainkan menjadi alat navigasi bagi arah kebijakan nasional.

Inilah perbedaan fundamental antara "negara pembuat dokumen" dan "negara pembuat peradaban". Di negara pembuat dokumen, laporan adalah hasil akhir. Di negara pembuat peradaban, laporan adalah awal dari tindakan politik berbasis ilmu. Jika Prabowo ingin membawa Indonesia menuju revolusi kebijakan nasional, maka yang perlu dibangun bukan hanya infrastruktur fisik atau ekonomi, tetapi juga infrastruktur epistemik---ekosistem yang membuat setiap kebijakan lahir dari pengetahuan, bukan sekadar prosedur.

Akar Epistemik Dari Dunia Islam ke Pencerahan Eropa

Jika akar pengetahuan modern ditelusuri ke masa lalu, maka jejaknya akan berakhir bukan di Oxford atau Sorbonne, melainkan di Baghdad, Kairo, dan Cordoba. Di dunia Islam abad pertengahan, ilmu pengetahuan bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan bagian dari tata pemerintahan. Ilmu bukan sekadar ilmu untuk ilmu, melainkan ilmu untuk keputusan. Dalam konteks itu, ulama bukan hanya pengajar atau ahli tafsir, melainkan juga ahl al-ra'y --- penasehat kebijakan bagi khalifah dan amir, tempat bertemunya hukum, akal, dan moral kekuasaan.

Bayt al-Hikmah di Baghdad, yang didirikan pada abad ke-8 di masa Khalifah al-Ma'mun, menjadi simbol paling terang dari integrasi riset dan kekuasaan. Di tempat ini, naskah-naskah filsafat, astronomi, kedokteran, dan politik Yunani diterjemahkan, ditafsirkan, dan dikembangkan menjadi dasar ilmu baru. Para ilmuwan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina tidak bekerja di luar kekuasaan, melainkan di bawah perlindungan politik yang memahami nilai pengetahuan. Bayt al-Hikmah bukan sekadar perpustakaan, tetapi pusat riset negara---prototipe awal dari think tank modern. Di sana, pengukuran waktu, observasi langit, dan penyusunan peta bukan dilakukan demi ilmu semata, melainkan untuk kepentingan navigasi, kalender, perang, dan pertanian. Ilmu menjadi alat governance, bukan hanya simbol kemajuan.

Dunia Islam membangun satu prinsip epistemik yang radikal: ijtihad. Ijtihad adalah keberanian berpikir independen dengan dasar dalil dan akal untuk menjawab persoalan sosial dan politik. Dalam bahasa modern, ijtihad adalah research and policy analysis. Prinsip ini menegaskan bahwa wahyu tidak menutup jalan bagi akal, tetapi justru menantangnya untuk terus menafsirkan realitas baru. Dari sinilah muncul hubungan simbolik yang sangat penting: ijtihad - riset.

Demikian pula dengan konsep syura (musyawarah), yang secara substansial mendahului konsep parlemen. Dalam syura, keputusan politik diambil melalui pertimbangan kolektif yang melibatkan orang-orang berilmu, bukan hanya pejabat. Syura bukan hanya prosedur, melainkan bentuk epistemologi politik -- bahwa kebenaran politik lahir dari perdebatan ilmiah dan moral di ruang publik. Maka dalam struktur kekuasaan Islam klasik, ulama bukan oposisi bagi penguasa, melainkan intelektual organik yang menjaga keseimbangan antara moralitas dan rasionalitas kekuasaan.

George Makdisi dalam karya monumentalnya, The Rise of Colleges, menegaskan bahwa sistem pendidikan Islam abad pertengahan melahirkan model kurikulum, organisasi, dan tata kelola yang kelak diadopsi oleh universitas-universitas Eropa. Madrasah Nizamiyah di Baghdad adalah cikal bakal college system Oxford dan Paris. Sistem ijazah yang diberikan kepada murid (sebagai tanda kelayakan mengajar) diadopsi menjadi degree system di universitas Eropa. Makdisi menunjukkan bahwa istilah-istilah seperti chair, dean, dan faculty pertama kali muncul dari sistem Islam. Bahkan struktur debat ilmiah di kalangan fuqaha dan mutakallimun mengilhami metode disputation dan scholasticism di abad pertengahan Eropa.

Sementara itu, Franz Rosenthal dalam Knowledge Triumphant menjelaskan bahwa dalam Islam, pengetahuan bukan sekadar instrumen rasionalitas, tetapi pilar keberadaban. "Ilmu adalah rahmat yang mewujud dalam tatanan sosial," tulisnya. Pandangan ini menempatkan ilmu sebagai inti kekuasaan, bukan pelengkapnya. Kekuasaan yang tidak berakar pada ilmu dianggap zalim, sementara ilmu tanpa ruang politik dianggap lumpuh. Dari sini, kita dapat melihat bahwa dunia Islam membangun fondasi epistemologi pemerintahan berbasis ilmu -- knowledge-based governance -- jauh sebelum istilah itu muncul di abad modern.

Kejatuhan Baghdad tahun 1258 memang menandai akhir era klasik Islam, namun semangat epistemiknya tidak mati. Ia mengalir ke Eropa melalui Toledo Translation Movement di Spanyol dan Sisilia. Di kota Toledo, ratusan naskah Arab diterjemahkan ke Latin oleh para sarjana Kristen dan Yahudi. Karya Ibn Sina (Canon of Medicine), Ibn Rushd (Commentaries on Aristotle), dan Al-Farabi (On the Perfect State) menjadi bacaan wajib di universitas-universitas awal Eropa. Gerakan ini melahirkan intellectual bridge antara Islam dan Eropa --- sebuah arus balik ilmu yang memantik Renaissance.

Para pemikir seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Albertus Magnus belajar logika dan metodologi ilmiah dari karya filsuf Muslim. Konsep rasionalitas, observasi empiris, dan sintesis wahyu-akal yang menjadi ciri khas Enlightenment memiliki akar yang dalam dalam filsafat Islam. Eropa tidak hanya menyalin teks, tetapi juga mewarisi cara berpikir -- sistem epistemik yang memadukan etika, hukum, dan kebijakan dalam satu kesatuan.

Dengan kata lain, Pencerahan Eropa adalah buah dari dialog panjang peradaban ilmu dunia Islam. Dari Baghdad ke Toledo, dari Al-Qarawiyyin ke Bologna, dari Syura ke Parlemen---jejak epistemik ini membentuk dasar peradaban modern. Hubungan antara ulama dan penguasa dalam tradisi Islam klasik kemudian bermetamorfosis menjadi hubungan antara scholar dan statesman di dunia modern. Dari ijtihad lahir riset; dari syura lahir parlemen; dari ulama lahir intelektual.

Kini, ketika dunia memasuki abad pengetahuan dan pemerintahan berbasis data (knowledge-based governance), warisan Islam itu menemukan relevansi barunya. Pemerintahan modern, termasuk Indonesia di bawah Prabowo, menghadapi tantangan serupa dengan yang pernah dihadapi para khalifah dan ulama di Baghdad: bagaimana menggabungkan akal dan kekuasaan, riset dan keputusan, moralitas dan kebijakan.

Reformasi politik epistemik yang sedang kita bicarakan hari ini sebenarnya bukan sekadar proyek teknokratis, tetapi upaya menghidupkan kembali warisan intelektual peradaban Islam---bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang berilmu, dan ilmu sejati adalah ilmu yang berdaya guna bagi keadilan sosial.

Dengan menyadari akar sejarah ini, Indonesia tidak perlu meniru Barat secara membabi buta. Sebab, jejak epistemik yang kita cari sudah ada dalam DNA peradaban kita sendiri: integrasi antara ijtihad dan syura, antara ilmu dan kekuasaan, antara moralitas dan kemajuan.

Dari Parlemen ke Think Tank Evolusi Otoritas Epistemik

Perjalanan panjang antara ilmu dan kekuasaan di dunia modern menemukan momentum baru sejak abad ke-17, ketika Eropa Barat memasuki fase konsolidasi politik modern: munculnya parlemen sebagai ruang artikulasi kepentingan rakyat sekaligus laboratorium kebijakan. Namun, sebelum itu, otoritas epistemik---yakni sumber legitimasi pengetahuan---berada di tangan dua kutub: gereja dan istana. Gereja mengontrol moralitas dan penafsiran kebenaran, sementara istana memonopoli kebijakan. Ketika Revolusi Ilmiah dan Reformasi Protestan mengguncang tatanan lama, muncul kebutuhan akan struktur baru yang mengintegrasikan pengetahuan, hukum, dan kekuasaan: di sinilah parlemen modern dan think tank mulai berakar.

Parlemen sebagai Ruang Dialektika Pengetahuan dan Kekuasaan, Inggris menjadi contoh klasik bagaimana kekuasaan politik bertransformasi menjadi arena epistemik. Sejak abad ke-17, parlemen Inggris tidak hanya menjadi institusi legislasi, tetapi juga wadah pertarungan ide. Dalam sistem Westminster, keputusan politik bukan hasil "kemauan tunggal" eksekutif, melainkan hasil dialektika argumentatif antar pihak. Debat di parlemen Inggris pada masa awal Revolusi Industri memperlihatkan bahwa data, riset, dan laporan ilmiah mulai memengaruhi arah kebijakan publik---dari urusan perdagangan hingga kesejahteraan buruh.

Fungsi deliberatif ini berkembang lebih jauh dengan munculnya partai politik. Partai bukan sekadar wadah elektoral, melainkan juga rumah ideologi. Ia menggabungkan para pemikir, aktivis, dan politisi dalam satu ekosistem produksi pengetahuan politik. Model ini kemudian menjadi fondasi bagi konsep "governance through knowledge"---pemerintahan yang mengandalkan bukti ilmiah, bukan sekadar retorika kekuasaan.

Lahirnya Think Tank Rasionalisasi Kekuasaan Modern. Ketika industrialisasi melahirkan kompleksitas sosial-ekonomi baru, partai dan parlemen menghadapi keterbatasan epistemik. Dibutuhkan lembaga yang lebih fokus, sistematis, dan independen untuk menghasilkan policy brief, white paper, dan kajian kebijakan. Maka lahirlah think tank sebagai evolusi berikut dari hubungan antara ilmu dan kekuasaan.

Think tank bukan sekadar lembaga riset, melainkan "jembatan epistemik" antara dunia akademik dan dunia politik. Mereka menafsirkan data dalam bahasa kekuasaan. Di Inggris, Fabian Society menjadi pionir dengan mendorong ide-ide sosialisme demokratis ke dalam kebijakan Labour Party. Mereka tidak berjuang dengan massa, melainkan dengan makalah, seminar, dan riset kebijakan. Di Jerman, Konrad Adenauer Stiftung lahir dari kebutuhan menjaga kesinambungan ideologi partai Kristen Demokrat pasca-Perang Dunia II, dan berfungsi sebagai mesin intelektual konservatisme modern. Di Amerika Serikat, Brookings Institution dan RAND Corporation menunjukkan bentuk ekstrem profesionalisasi pengetahuan---mereka menjadi "arsitek kebijakan" yang bekerja langsung dengan pemerintah dan parlemen.

Setiap lembaga ini memperlihatkan satu pola umum: politik modern yang sukses selalu memiliki infrastruktur epistemik. Artinya, kekuasaan tidak hanya membutuhkan legitimasi elektoral, tetapi juga legitimasi ilmiah. Sistem dan Struktur Parlementer vs Presidensial, dalam sistem parlementer, seperti Inggris dan Jerman, think tank tumbuh melekat pada partai politik. Setiap partai besar memiliki jaringan lembaga riset yang berfungsi menyiapkan rancangan kebijakan sebelum partai berkuasa. Di sinilah konsep "intellectual hegemony" dari Antonio Gramsci menemukan relevansinya: kekuasaan sejati bukan hanya dominasi politik, tetapi kemampuan memproduksi dan mendistribusikan makna yang menentukan arah sosial.

Sebaliknya, dalam sistem presidensial seperti Amerika Serikat, think tank lebih dekat dengan eksekutif. Mereka berperan sebagai penasihat presiden, kementerian, dan lembaga negara. Model ini menciptakan kompetisi epistemik antar pusat riset, yang kemudian memperkaya ruang kebijakan publik. RAND misalnya, menjadi instrumen strategis pertahanan dan inovasi teknologi; Brookings berfokus pada ekonomi dan tata kelola; sementara Heritage Foundation memengaruhi arah kebijakan konservatif di era Reagan dan Trump.

Tantangan Indonesia Kekuasaan Tanpa Ekosistem Epistemik, Indonesia berada dalam dilema epistemik. Secara formal, negara memiliki ribuan lembaga riset, universitas, dan badan penelitian. Namun secara struktural, tidak ada sistem yang menjembatani riset, partai, dan kebijakan. Hasil kajian ilmiah sering berhenti pada seminar, laporan proyek, atau kewajiban administratif belaka. Partai politik tidak memiliki basis riset ideologis yang kuat, sementara pemerintah masih melihat riset sebagai pelengkap birokrasi, bukan fondasi keputusan.

Akibatnya, lahir politik tanpa epistemologi---kebijakan diambil berdasarkan tekanan politik jangka pendek, bukan hasil pengetahuan yang berkelanjutan. Inilah yang menjelaskan mengapa perencanaan pembangunan sering inkonsisten, tumpang tindih, atau tidak berbasis data. Dalam konteks inilah, gagasan "Triangle Prosperity" dalam era Prabowo dapat dibaca sebagai peluang historis: bagaimana tiga pilar---negara, pasar, dan masyarakat---dapat dikoneksikan melalui ekosistem pengetahuan yang solid.

Menuju Politik Epistemik Indonesia untuk melampaui dilema tersebut, Indonesia perlu menciptakan sistem knowledge-policy nexus yang terintegrasi: think tank strategis di bawah koordinasi partai dan pemerintah harus menjadi ruang lintas ideologi yang produktif. Partai tidak lagi sekadar mesin elektoral, tetapi laboratorium kebijakan. Akademisi dan peneliti tidak lagi hanya menulis laporan, tetapi menjadi mitra strategis pengambil keputusan.

Model yang dapat dikembangkan adalah "Epistemic Council" di tingkat nasional maupun daerah---forum tetap yang mempertemukan lembaga riset, think tank, akademisi, dan pejabat publik dalam siklus kebijakan nasional. Dengan cara ini, arah pembangunan Indonesia bisa bergerak dari politik administratif menuju politik epistemik, di mana setiap kebijakan merupakan hasil sintesis antara ilmu, nilai, dan kepentingan publik.

Evolusi otoritas epistemik dari istana ke parlemen, dari partai ke think tank, memperlihatkan satu pelajaran universal: kekuasaan modern tidak dapat bertahan tanpa basis pengetahuan. Ilmu memberi legitimasi, strategi, dan arah moral bagi kebijakan publik. Jika abad ke-20 adalah era dominasi teknokrasi, maka abad ke-21 menuntut reintegrasi antara ilmu dan politik. Indonesia, dalam konteks pemerintahan Prabowo, memiliki peluang untuk menulis bab baru sejarah ini: membangun kekuasaan yang berpikir, dan ilmu yang berkuasa.

Indonesia dan Krisis Epistemik Kekuasaan

Sejak awal reformasi 1998, Indonesia telah berhasil membangun demokrasi prosedural, tetapi belum berhasil membangun demokrasi epistemik --- yakni sistem kekuasaan yang bertumpu pada pengetahuan, bukan sekadar angka elektoral atau akumulasi administratif. Dalam dua dekade terakhir, politik Indonesia cenderung bergerak di antara dua ekstrem: birokrasi teknokratis tanpa arah ideologis, dan politik elektoral tanpa basis epistemik. Akibatnya, kekuasaan menjadi kehilangan daya reflektifnya; ia sibuk menjalankan program, tetapi tidak memahami makna dari program itu sendiri.

Diagnosis Krisis Epistemik dalam Pemerintahan dan Partai Politik. Krisis epistemik ini berakar dari cara pandang terhadap kebijakan dan pengetahuan. Dalam banyak kasus, pengetahuan tidak dijadikan sumber kekuasaan, melainkan hanya alat legitimasi administratif. Pemerintah dan partai sering kali beroperasi dalam logika output administratif, bukan outcome epistemik.

Kita dapat melihat gejala ini dari praktik perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Selama ini, perencanaan masih bersifat program budgeting, bukan policy budgeting. Artinya, yang dihitung adalah jumlah program dan kegiatan yang dilaksanakan, bukan efektivitas kebijakan terhadap tujuan besar seperti pengurangan ketimpangan, peningkatan produktivitas nasional, atau transformasi struktur ekonomi.

Sebagai contoh, laporan Bappenas dan Kementerian Keuangan menunjukkan bagaimana ribuan kegiatan dan subkegiatan berjalan tiap tahun, tetapi tidak secara langsung menurunkan ketimpangan wilayah atau meningkatkan daya saing nasional secara signifikan. Di sinilah tampak bahwa administrasi telah menggantikan refleksi.

Partai politik pun mengalami krisis epistemik serupa. Ia tidak lagi berfungsi sebagai "ruang produksi ideologi dan kebijakan," tetapi sekadar sebagai mesin elektoral. Tidak ada unit riset internal yang kuat, tidak ada laboratorium ide, tidak ada dialektika substantif antara anggota dewan, akademisi, dan masyarakat sipil. Akibatnya, parlemen kehilangan daya pikir strategisnya --- ia menjadi "institusi prosedural" yang sibuk membahas anggaran, bukan arah bangsa.

Program sebagai Indikator, Bukan Kebijakan. Dalam sistem kebijakan publik Indonesia, kata "program" sering disakralkan, padahal secara epistemik, program hanyalah turunan dari kebijakan. Ketika orientasi politik pembangunan diarahkan pada tumpukan program dan kegiatan, maka yang terjadi adalah fragmentasi kebijakan nasional.

Gunnar Myrdal dalam karya monumentalnya Asian Drama (1968) menyebut fenomena ini sebagai "administrative overload." Negara-negara berkembang, tulis Myrdal, sering kali meniru bentuk birokrasi modern Barat tanpa menguasai logika epistemiknya. Akibatnya, terjadi penumpukan lembaga, laporan, dan proyek yang saling tumpang tindih, tetapi tidak menghasilkan perubahan struktural yang berarti.

Dalam konteks Indonesia, administrative overload terlihat dari banyaknya program dan subprogram di setiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang berjalan secara sektoral, tidak saling terhubung, dan tidak memiliki basis data yang sama. Ini bukan hanya persoalan koordinasi, melainkan persoalan epistemik --- negara tidak memiliki kesadaran reflektif tentang makna kebijakan itu sendiri.

Padahal, dalam sistem yang sehat, policy budgeting berarti anggaran disusun berdasarkan arah kebijakan yang terukur, berdasar hasil riset dan evaluasi jangka panjang. Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, policy brief dan white paper menjadi dasar utama pembiayaan publik. Di Indonesia, kebijakan sering dimulai dari anggaran, bukan dari riset. Maka yang terjadi adalah pembalikan logika: bukan pengetahuan yang membiayai kebijakan, tetapi kebijakan yang mencari pembenaran pengetahuan.

Birokrasi administratif, bukan reflektif, birokrasi Indonesia lahir dari warisan kolonial yang menekankan disiplin administratif, bukan kemampuan berpikir strategis. Setelah reformasi, birokrasi diperluas secara demokratis, tetapi tidak direformasi secara epistemik. Lembaga riset pemerintah --- seperti LIPI (sebelum menjadi BRIN), LAN, dan Bappenas --- menghasilkan banyak kajian bernilai, tetapi jarang menjadi bagian dari siklus kebijakan nasional. Riset lebih sering berhenti pada laporan proyek, bukan diintegrasikan dalam sistem keputusan negara.

Di sinilah konsep "reformasi epistemik" menjadi penting. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya berbicara tentang efisiensi atau digitalisasi, tetapi harus menata ulang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Birokrasi harus memiliki kapasitas reflektif --- mampu memahami konteks, menganalisis data, dan menyusun kebijakan berbasis ilmu, bukan sekadar mengikuti format anggaran.

Contoh kecil dapat dilihat dari bagaimana Korea Selatan dan Singapura menata lembaga perencanaan nasional mereka. Keduanya membangun policy unit strategis yang langsung berfungsi sebagai otak kebijakan negara. Lembaga-lembaga seperti KDI (Korea Development Institute) atau Civil Service College di Singapura tidak sekadar membuat laporan, melainkan mengontrol arah epistemik kebijakan nasional. Indonesia membutuhkan sistem serupa --- sebuah "mesin reflektif negara."

Politik tanpa pengetahuan gejala kehilangan arah ideologis. Krisis epistemik ini juga menyebabkan hilangnya arah ideologis dalam politik nasional. Partai dan pemerintah sering kali meniru slogan global seperti "transformasi digital", "green economy", atau "pembangunan berkelanjutan" tanpa kerangka epistemik nasional yang jelas. Akibatnya, arah kebijakan berubah-ubah sesuai tekanan donor, tren global, atau siklus politik lima tahunan.

Ketika kebijakan tidak lagi lahir dari refleksi ilmiah, ia berubah menjadi teknokrasi tanpa ideologi. Rakyat tidak tahu ke mana negara hendak menuju, dan pejabat pun sering kehilangan kemampuan untuk menjelaskan makna kebijakannya sendiri. Dalam situasi seperti ini, kekuasaan kehilangan "akal"-nya --- ia hanya berjalan, tanpa tahu mengapa dan untuk apa.

Jalan keluar, reformasi epistemik sebagai solusi struktural. Reformasi epistemik bukanlah slogan baru, melainkan keharusan struktural. Ia berarti mengubah paradigma kekuasaan: dari administratif menjadi reflektif, dari programatik menjadi kebijakan strategik.

Langkah pertama adalah membangun policy unit internal di parlemen dan partai politik. Unit ini berfungsi sebagai knowledge hub --- penghubung antara riset akademik, lembaga teknis, dan kepentingan publik. Langkah kedua adalah memperkuat fungsi lembaga seperti Bappenas, BRIN, LAN, dan universitas sebagai policy intelligence system negara. Langkah ketiga, memastikan setiap kebijakan dan anggaran harus memiliki dasar epistemik: argumentasi, data, dan kerangka nilai.

Dengan demikian, reformasi epistemik tidak hanya memperbaiki birokrasi, tetapi mengembalikan rasionalitas kekuasaan. Dalam konteks pemerintahan Prabowo, hal ini sangat relevan: kekuasaan nasional perlu membangun "mesin berpikir negara" yang mengintegrasikan militer, sipil, ekonomi, dan ilmu pengetahuan dalam satu sistem reflektif nasional.

Krisis epistemik adalah akar dari banyak krisis turunan: korupsi, inefisiensi, fragmentasi kebijakan, hingga ketimpangan sosial. Indonesia tidak kekurangan sumber daya atau regulasi, melainkan kekurangan sistem berpikir yang menghubungkan ilmu dengan kekuasaan. Reformasi epistemik bukan sekadar tuntutan akademik, tetapi kebutuhan eksistensial negara modern. Sebab sebagaimana ditegaskan dalam amanat konstitusi, keadilan sosial dan kemakmuran rakyat hanya dapat dicapai oleh kekuasaan yang berakal --- kekuasaan yang berpengetahuan.

Jalan Reformasi Epistemik Dari Partai ke Lembaga Pengetahuan

Reformasi sejati tidak pernah berhenti pada pergantian sistem, tetapi pada perubahan cara berpikir. Reformasi yang sesungguhnya adalah reformasi epistemik---pergeseran dari cara kekuasaan memandang pengetahuan, dari sekadar pelengkap administrasi menjadi jantung pengambilan keputusan. Dalam banyak hal, yang dibutuhkan Indonesia bukan lagi revisi undang-undang atau perombakan birokrasi, melainkan pembentukan organ pengetahuan dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.

Selama dua dekade terakhir, kita hidup dalam sistem yang secara administratif demokratis, tetapi secara epistemik masih otoriter. Pengetahuan tetap dianggap sebagai alat legitimasi, bukan sebagai fondasi kebijakan. Setiap proyek riset sering berhenti pada laporan akhir yang hanya indah di sampul, tapi mati di meja birokrasi tanpa sempat bertransformasi menjadi keputusan publik. Di titik inilah muncul kebutuhan untuk menjadikan pengetahuan bukan sekadar produk akademik, melainkan infrastruktur politik: bagian dari mesin pengambilan keputusan, bukan asesoris yang bisa dihapus ketika anggaran habis.

Dalam model pemerintahan modern, think tank menjadi organ vital kekuasaan. Di Inggris, partai politik seperti Labour membangun Fabian Society untuk menyiapkan narasi sosialisme demokratik yang bisa diterjemahkan ke kebijakan. Di Amerika, Heritage Foundation melahirkan agenda konservatif era Reagan, sementara Center for American Progress menjadi ruang ide progresif Partai Demokrat. Di Jerman, Konrad Adenauer Stiftung dan Friedrich Ebert Stiftung menjadi pilar riset ideologis bagi partai-partai besar. Semua itu bukan lembaga akademis murni, melainkan institusi politik berbasis pengetahuan---tempat di mana riset dan kekuasaan berdialektika secara produktif.

Indonesia belum sampai pada tahap itu. Partai masih menjadi arena kontestasi elektoral, bukan ruang pembentukan gagasan. Parlemen sibuk memeriksa program, bukan kebijakan; sementara eksekutif dikepung laporan teknokratis tanpa dimensi ideologis. Akibatnya, keputusan sering fragmentaris dan jangka pendek. Kita hidup dalam sistem yang administratively busy but intellectually hollow. Karena itulah, gagasan tentang reformasi epistemik menjadi kebutuhan mendesak.

Reformasi ini menuntut lahirnya organ-organ baru dalam sistem kekuasaan---bukan hanya lembaga riset tambahan, tetapi jaringan epistemik yang saling mengisi. Setiap partai harus memiliki badan riset internal yang bertugas menyiapkan white paper ideologis, bukan sekadar survei elektabilitas. Parlemen harus memiliki unit riset nonpartisan seperti Congressional Research Service (CRS) di Amerika Serikat atau Parliamentary Office of Science and Technology (POST) di Inggris. Unit semacam ini tidak hanya menjawab pertanyaan teknis anggota parlemen, tapi juga menjadi penjaga epistemik agar setiap RUU disertai naskah akademik dan analisis dampak regulasi (RIA) yang sahih.

Di tingkat eksekutif, pemerintah perlu membangun Dewan Strategi Epistemik Nasional yang beranggotakan perwakilan lembaga riset, universitas, dan analis kebijakan lintas kementerian. Dewan ini bukan badan birokrasi baru, tetapi forum deliberatif pengetahuan yang memproduksi rekomendasi lintas sektor. Dalam konteks daerah, mekanisme ini dapat direplikasi sebagai Dewan Strategi Daerah yang menghubungkan Bappeda, DPRD, universitas lokal, dan pelaku ekonomi daerah. Melalui jejaring seperti ini, policy pipeline dari riset menuju kebijakan dapat berjalan secara sistemik---dari ruang akademik ke meja politik.

Namun, reformasi epistemik tidak cukup dengan menciptakan lembaga. Ia membutuhkan ekosistem kepercayaan antara ilmuwan dan politisi, antara pengetahuan dan kekuasaan. Agar hubungan ini tidak berubah menjadi transaksi, harus ada standar etik baru: setiap riset publik wajib melewati uji kepentingan publik, hasilnya terbuka, dan lembaganya diaudit secara independen. Ini bukan idealisme kosong; OECD sudah menegaskan bahwa evidence-informed policy hanya mungkin jika pemerintah membangun struktur insentif yang mendorong penggunaan bukti dalam siklus kebijakan, bukan sekadar mewajibkan laporan.

Lalu bagaimana menjamin independensi lembaga riset dalam sistem yang sarat kepentingan? Jawabannya bukan dengan memutuskan hubungan dengan kekuasaan, tetapi dengan menciptakan mekanisme keseimbangan institusional. Lembaga riset publik harus dibiayai dengan model campuran: sebagian dari anggaran negara, sebagian dari dana abadi (endowment), sebagian dari hibah kompetitif, dan sebagian dari kemitraan publik-swasta. Transparansi sumber dana menjadi fondasi moral. Di sisi lain, partai dan parlemen wajib mempublikasikan policy brief dan white paper yang menjadi dasar keputusan mereka---membuka ruang bagi publik untuk menilai rasionalitas kebijakan, bukan sekadar hasil akhirnya.

Reformasi epistemik juga mensyaratkan pembangunan kapasitas manusia. Tanpa policy fellowship antara akademisi dan pejabat publik, jurang antara riset dan kebijakan akan tetap lebar. Universitas perlu membuka sekolah kebijakan yang menyiapkan analis kebijakan daerah dan staf parlemen yang terlatih dalam metodologi ilmiah. Pemerintah pusat bisa memfasilitasi pertukaran staf antara BRIN, Bappenas, dan DPRD agar terbentuk mutual literacy: ilmuwan memahami ritme politik, dan pejabat memahami logika bukti.

Pada akhirnya, jalan reformasi epistemik adalah tentang menciptakan rantai legitimasi baru: pengetahuan menjadi dasar moral kekuasaan. Selama ini, legitimasi politik kita bersandar pada suara rakyat dan kekuatan hukum; kini harus ditambah satu pilar lagi --- legitimasi epistemik. Ketika sebuah kebijakan dilandasi bukti, disusun oleh lembaga riset kredibel, dan diuji secara publik, maka keputusan politik tak lagi menjadi sekadar hasil kompromi, tetapi perwujudan dari rasionalitas bersama.

Momentum ke arah itu sebenarnya sudah muncul di era Prabowo. Pembentukan kembali Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan penguatan unit analisa di Istana memberi sinyal bahwa negara mulai menyadari perlunya intelligence epistemik dalam perumusan kebijakan nasional. Langkah ini perlu diteruskan dengan membangun jejaring epistemik nasional yang menghubungkan partai, parlemen, universitas, dan masyarakat sipil. Jika ini dilakukan, maka Indonesia bisa menjadi contoh negara pasca-demokratis yang berhasil mentransformasikan politik menjadi ilmu, dan ilmu menjadi politik yang berpihak pada rakyat.

Reformasi epistemik bukan proyek jangka pendek, tapi revolusi sunyi yang menentukan arah peradaban. Ia menuntut kesabaran institusional, keberanian intelektual, dan kerendahan hati politik. Dan seperti kata Harold Lasswell: "Policy is knowledge in action." Maka mungkin inilah saatnya bagi Indonesia untuk benar-benar bertindak---bukan hanya berwacana---dengan pengetahuan sebagai sumber kekuasaan yang baru.

Triangle Prosperity Integrasi Negara--Pasar--Masyarakat sebagai Model Epistemik Baru

Reformasi epistemik sejatinya tak dapat berdiri di ruang hampa. Ia membutuhkan tubuh material tempat gagasan berakar dan bergerak. Dalam dunia modern, politik tanpa basis ekonomi hanyalah retorika; sementara ekonomi tanpa dasar epistemik hanyalah mekanika. Di sinilah titik temu antara pikiran dan produksi menjadi penting, ruang di mana pengetahuan menjelma menjadi kekuasaan yang menyejahterakan.

Dari kesadaran itu lahirlah gagasan Triangle Prosperity: sebuah arsitektur epistemik yang mengintegrasikan negara, pasar, dan masyarakat dalam satu sistem sosial-ekonomi yang hidup. Ia bukan sekadar teori pembangunan, melainkan upaya untuk menata ulang logika dasar ekonomi-politik Indonesia: bahwa kesejahteraan tidak mungkin lahir dari distribusi pasif, tetapi dari partisipasi produktif. Triangle Prosperity berangkat dari pertanyaan sederhana namun mendasar: bagaimana agar kekuasaan tidak tercerabut dari akal, dan ekonomi tidak terpisah dari moral? Jawabannya terletak pada integrasi --- bukan subordinasi --- antara tiga kekuatan utama peradaban: negara sebagai pengarah nilai, pasar sebagai penggerak efisiensi, dan masyarakat sebagai penghasil makna.

Latar filosofis: dari keadilan distributif ke ekosistem produktif. Sejak awal kemerdekaan, cita-cita "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi titik tumpu sistem kenegaraan kita. Namun dalam praktiknya, keadilan kerap dimaknai secara distributif --- sekadar berbagi hasil. Paradigma ini menimbulkan dilema: rakyat menjadi penerima, bukan pelaku; kesejahteraan menjadi kebijakan, bukan kapasitas. Konsep keadilan dalam Amartya Sen menawarkan jalan keluar dari kebuntuan itu. Dalam Development as Freedom, Sen menegaskan bahwa pembangunan sejati ialah kebebasan untuk berproduksi, berinovasi, dan memilih jalan hidup. Keadilan, dengan demikian, adalah soal memperluas kemampuan manusia --- bukan sekadar memberi mereka hasil.

Sementara John Rawls, dalam A Theory of Justice, memberikan landasan normatif bahwa struktur dasar masyarakat harus memastikan kesetaraan peluang bagi yang paling lemah. Di titik inilah, Triangle Prosperity mempertemukan keduanya: Sen sebagai basis produktif, Rawls sebagai basis normatif. Keadilan sosial tidak lagi berarti "bagi rata", tetapi "berdayakan semua". Negara tidak sekadar menyalurkan, tetapi mengatur agar pengetahuan, modal, dan kesempatan berpadu dalam satu ekosistem yang melahirkan produktivitas sosial. Dari makro ke mikro: KEK dan KEST sebagai dualisme ekosistem ekonomi. Struktur ekonomi nasional dewasa ini menampakkan dua kutub besar pembangunan: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Ekonomi Sosial Terpadu (KEST) --- dua ruang yang sesungguhnya bisa saling melengkapi dalam kerangka Triangle Prosperity.

KEK, sebagaimana diatur dalam UU No. 39/2009 dan PP No. 40/2021, dibangun sebagai mesin pertumbuhan makro: investasi, ekspor, dan industrialisasi. Ia menumbuhkan PDB dan memperkuat struktur ekonomi nasional. Namun seperti yang sering disadari para ekonom, pertumbuhan tidak otomatis berarti pemerataan. KEK menciptakan growth pole, tetapi tidak menjamin trickle down effect. KEST hadir untuk menjembatani jurang itu. Ia merupakan ekosistem mikro yang mengalirkan surplus makro ke masyarakat melalui tiga pilar: yayasan, koperasi, dan perusahaan rakyat. Yayasan menjadi sumber pengetahuan dan pendidikan, koperasi menjadi wadah produksi kolektif, dan perusahaan rakyat menjadi ruang inovasi serta kemandirian ekonomi.

Struktur ini menciptakan arus ganda antara modal dan moral: dari atas ke bawah (transfer pengetahuan dan investasi), dan dari bawah ke atas (arus inovasi dan produksi rakyat). Dalam sistem ini, pembangunan menjadi dialog --- bukan monolog. Yayasan--koperasi--perusahaan: model sosio-ekonomi konstitusional. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Kalimat ini bukan sekadar prinsip ekonomi, tetapi pernyataan epistemik --- bahwa ilmu, kerja, dan keadilan harus berjalan dalam satu logika kebersamaan.

Triangle Prosperity menerjemahkan amanat itu ke dalam tiga struktur fungsional. Yayasan menjadi pusat nilai dan pengetahuan, seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad yang menautkan riset dan kebijakan. Koperasi menjadi ruang kepemilikan bersama --- sarana pemerataan yang hidup. Sedangkan perusahaan rakyat menjadi manifestasi kreativitas individu dalam kerangka sosial yang adil. Ketiganya bekerja bukan dalam hierarki, tetapi dalam sirkulasi. Negara mengatur dan menjamin, masyarakat berinovasi dan memproduksi, pasar mengukur dan menggerakkan. Dalam relasi semacam ini, pembangunan tidak lagi berhenti pada "penyaluran bantuan", melainkan tumbuh menjadi "ekosistem produksi sosial".

Triangle prosperity sebagai doktrin kebijakan nasional. Sebagaimana Trisakti Soekarno memberi arah ideologis bagi kemandirian bangsa, Triangle Prosperity menawarkan arsitektur sistemik untuk mewujudkannya. Ia menjadi "Trisakti baru" yang bekerja di level kebijakan: berdikari dalam politik, efisien dalam ekonomi, berkeadilan dalam masyarakat. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, gagasan ini menemukan momentumnya. Arah kebijakan nasional menekankan tiga prioritas besar: 1. kedaulatan pangan dan energi, 2. hilirisasi industri dan kemandirian teknologi, 3. pemerataan ekonomi berbasis daerah.

Ketiganya memerlukan model integratif antara makro dan mikro, antara negara dan rakyat. KEK menjadi motor industrialisasi; KEST menjadi jantung pemerataan. Dari sinilah ekonomi tidak hanya tumbuh cepat, tetapi juga tumbuh cerdas dan adil. Dengan Triangle Prosperity, kebijakan publik mendapatkan logika epistemiknya: pengetahuan memimpin kekuasaan, kekuasaan melayani produksi, dan produksi menumbuhkan kesejahteraan. Inspirasi global dan akar teoretis. Secara global, gagasan ini berdiri sejajar dengan teori economic clusters Michael Porter dalam The Competitive Advantage of Nations --- bahwa daya saing lahir dari sinergi antara pemerintah, bisnis, dan lembaga pengetahuan. Namun Triangle Prosperity melangkah lebih jauh: ia menambahkan dimensi moral dan sosial, menjadikan efisiensi ekonomi tunduk pada tujuan keadilan epistemik.

Dari Amartya Sen, ia mewarisi gagasan capability approach; dari John Rawls, ia mengambil asas justice as fairness. Keduanya berpadu dalam tubuh konstitusi Indonesia, yang menempatkan manusia bukan sekadar faktor produksi, melainkan pusat dari seluruh proses pembangunan. Indonesia kini berdiri di persimpangan antara dua ekstrem: negara yang kuat namun kehilangan arah ideologis, dan pasar yang bebas namun tanpa fondasi moral. Triangle Prosperity menawarkan jalan tengah --- sintesis antara kekuasaan yang berakal, ekonomi yang berkeadilan, dan masyarakat yang berdaya. Ia bukan sekadar model ekonomi, tetapi doktrin epistemik tentang bagaimana pengetahuan, kekuasaan, dan kesejahteraan bisa berpadu dalam satu sistem yang saling menghidupkan. Di sinilah letak masa depan bangsa: ketika kekuasaan berpikir, dan pengetahuan bekerja.

Mengembalikan Akal Kekuasaan

Merupakan titik kulminasi dari seluruh gagasan tentang reformasi epistemik yang berupaya menyatukan kembali dua kekuatan besar dalam sejarah peradaban: ilmu dan kekuasaan. Dalam perjalanan politik modern, keduanya sering terpisah oleh sekat-sekat birokrasi, ideologi, atau kepentingan jangka pendek. Namun, peradaban yang bertahan lama dan melahirkan kemajuan selalu berdiri di atas harmoni antara pengetahuan yang reflektif dan kekuasaan yang rasional. Reformasi epistemik yang telah dibahas sebelumnya --- mulai dari peran partai dan parlemen hingga desain sistem ekonomi seperti KEK dan KEST --- sesungguhnya bermuara pada satu tujuan besar: mengembalikan akal dalam kekuasaan dan menghidupkan kembali kekuasaan dalam akal.

Sejarah politik dunia menunjukkan bahwa kemajuan bangsa tidak pernah lahir dari kekuasaan yang kosong dari ide, maupun dari pengetahuan yang steril dari tanggung jawab politik. Dalam konteks modern, konsep ini terwujud dalam simbiosis antara negara dan lembaga pengetahuan. Di Inggris, hubungan antara parlemen dan think tank seperti Fabian Society atau Institute for Public Policy Research (IPPR) menciptakan kebijakan progresif yang berakar pada riset sosial. Di Jerman, fondasi epistemik pemerintahan demokratis dijaga oleh jaringan Stiftung seperti Konrad Adenauer Stiftung dan Friedrich Ebert Stiftung, yang bukan hanya menjadi "mesin ideologi" partai, tetapi juga ruang intelektual bagi perdebatan dan pembaruan kebijakan publik. Di Amerika Serikat, lembaga seperti Brookings Institution, RAND Corporation, dan Center for American Progress menunjukkan bagaimana policy intelligence menjadi faktor pembeda antara kekuasaan yang berwawasan dan kekuasaan yang impulsif.

Dalam kerangka itu, Indonesia menghadapi tantangan epistemik yang khas. Demokrasi kita telah berhasil melahirkan mekanisme politik yang kompetitif, tetapi belum mampu menumbuhkan mekanisme pengetahuan yang kolektif. Partai politik masih lebih banyak berfungsi sebagai alat elektoral daripada laboratorium kebijakan; parlemen lebih reaktif terhadap isu dibandingkan proaktif dalam riset; birokrasi sering terjebak dalam logika administratif dan kepatuhan formal, bukan refleksi substantif. Inilah yang disebut krisis epistemik kekuasaan --- ketika kebijakan lahir bukan dari dialektika antara ide dan data, melainkan dari kalkulasi politik jangka pendek. Dalam kondisi demikian, reformasi epistemik menjadi keniscayaan, bukan pilihan. Ia adalah jalan satu-satunya untuk membangun kembali legitimasi dan rasionalitas kekuasaan dalam menghadapi kompleksitas zaman.

Reformasi epistemik berarti menempatkan lembaga pengetahuan --- think tank, universitas, lembaga masyarakat, dan yayasan --- sebagai mitra sejajar kekuasaan, bukan sekadar pelengkap administratif. Lembaga-lembaga ini harus diberi ruang dan otoritas untuk menguji, menilai, dan merumuskan kebijakan berdasarkan data, teori, dan refleksi moral. Dalam model seperti itu, ilmu tidak lagi menjadi alat pembenaran bagi kebijakan yang sudah diputuskan, melainkan kompas moral dan rasional bagi arah kebijakan itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan tidak lagi menjadi sekadar pelaksana ide, melainkan katalis bagi transformasi sosial yang diilhami oleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, policy making menjadi proses epistemik yang hidup --- dialogis, terbuka, dan berbasis pada bukti serta nilai.

Jika konsep Triangle Prosperity di bab sebelumnya menata hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat dalam dimensi ekonomi, maka bab ini menata relasi epistemik antara negara, intelektual, dan rakyat dalam dimensi politik dan moral. Di sinilah "akal kekuasaan" menemukan maknanya yang sesungguhnya: bukan sekadar kecerdikan strategis, tetapi kemampuan untuk menimbang secara rasional dan etis setiap keputusan publik. Dalam tradisi pemikiran klasik, konsep ini sejajar dengan gagasan phronesis Aristoteles --- kebijaksanaan praktis yang menggabungkan pengetahuan dan moralitas dalam tindakan. Dalam konteks modern, hal ini dapat diterjemahkan sebagai evidence-based governance, di mana setiap kebijakan diuji oleh data dan disaring oleh nilai kemanusiaan.

Reformasi epistemik juga mengandung makna politik kebudayaan. Ia mengajak bangsa untuk berpindah dari kultur retorika ke kultur refleksi; dari politik simbolik ke politik substantif; dari slogan ke argumentasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Antonio Gramsci, perjuangan ide bukan hanya berlangsung di parlemen atau media, tetapi juga dalam cara bangsa berpikir tentang dirinya sendiri. Reformasi epistemik dengan demikian adalah proses panjang untuk membangun hegemoni intelektual yang baru --- di mana rakyat tidak lagi menjadi objek kebijakan, tetapi subjek yang berpikir, berdialog, dan berpartisipasi dalam membangun arah bangsa.

Dalam skala lebih luas, mengembalikan akal kekuasaan berarti menghidupkan kembali etika tanggung jawab dalam kepemimpinan nasional. Dalam konteks era Prabowo dan arah kebijakan nasional yang menuju keadilan sosial dan kemakmuran rakyat, prinsip ini dapat menjadi pilar ideologis. Pemerintahan yang kuat bukanlah yang sekadar berani memutuskan, tetapi yang berani berpikir secara mendalam dan mendengarkan data serta nurani. Strength with reflection --- kekuatan yang berpikir --- adalah formula peradaban modern yang mampu menyeimbangkan efisiensi dan keadilan, kecepatan dan kebijaksanaan, otoritas dan legitimasi.

Sebagai penutup, seluruh gagasan dalam naskah ini berangkat dari kesadaran bahwa politik sejati adalah tindakan rasional untuk menciptakan keadilan sosial. Ilmu pengetahuan memberi legitimasi moral dan rasional bagi kekuasaan; kekuasaan memberi daya dan arah bagi ilmu untuk diwujudkan dalam kehidupan sosial. Keduanya tidak boleh berpisah, sebab tanpa hubungan yang hidup antara keduanya, bangsa hanya akan berputar dalam siklus kekuasaan tanpa pencerahan. Maka, sebagaimana kalimat penutup yang merangkum seluruh tesis reformasi epistemik ini: "Kekuasaan tanpa ilmu hanyalah otot; ilmu tanpa kekuasaan hanyalah suara. Pencerahan terjadi ketika keduanya saling mengakui dan bekerja bersama." Dalam kesatuan itu --- antara rasio dan tindakan, pengetahuan dan kekuasaan, rakyat dan negara --- masa depan Indonesia dapat diarahkan menuju peradaban yang tidak hanya kuat secara politik dan ekonomi, tetapi juga tercerahkan secara epistemik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun