Jalan Reformasi Epistemik Dari Partai ke Lembaga Pengetahuan
Reformasi sejati tidak pernah berhenti pada pergantian sistem, tetapi pada perubahan cara berpikir. Reformasi yang sesungguhnya adalah reformasi epistemik---pergeseran dari cara kekuasaan memandang pengetahuan, dari sekadar pelengkap administrasi menjadi jantung pengambilan keputusan. Dalam banyak hal, yang dibutuhkan Indonesia bukan lagi revisi undang-undang atau perombakan birokrasi, melainkan pembentukan organ pengetahuan dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.
Selama dua dekade terakhir, kita hidup dalam sistem yang secara administratif demokratis, tetapi secara epistemik masih otoriter. Pengetahuan tetap dianggap sebagai alat legitimasi, bukan sebagai fondasi kebijakan. Setiap proyek riset sering berhenti pada laporan akhir yang hanya indah di sampul, tapi mati di meja birokrasi tanpa sempat bertransformasi menjadi keputusan publik. Di titik inilah muncul kebutuhan untuk menjadikan pengetahuan bukan sekadar produk akademik, melainkan infrastruktur politik: bagian dari mesin pengambilan keputusan, bukan asesoris yang bisa dihapus ketika anggaran habis.
Dalam model pemerintahan modern, think tank menjadi organ vital kekuasaan. Di Inggris, partai politik seperti Labour membangun Fabian Society untuk menyiapkan narasi sosialisme demokratik yang bisa diterjemahkan ke kebijakan. Di Amerika, Heritage Foundation melahirkan agenda konservatif era Reagan, sementara Center for American Progress menjadi ruang ide progresif Partai Demokrat. Di Jerman, Konrad Adenauer Stiftung dan Friedrich Ebert Stiftung menjadi pilar riset ideologis bagi partai-partai besar. Semua itu bukan lembaga akademis murni, melainkan institusi politik berbasis pengetahuan---tempat di mana riset dan kekuasaan berdialektika secara produktif.
Indonesia belum sampai pada tahap itu. Partai masih menjadi arena kontestasi elektoral, bukan ruang pembentukan gagasan. Parlemen sibuk memeriksa program, bukan kebijakan; sementara eksekutif dikepung laporan teknokratis tanpa dimensi ideologis. Akibatnya, keputusan sering fragmentaris dan jangka pendek. Kita hidup dalam sistem yang administratively busy but intellectually hollow. Karena itulah, gagasan tentang reformasi epistemik menjadi kebutuhan mendesak.
Reformasi ini menuntut lahirnya organ-organ baru dalam sistem kekuasaan---bukan hanya lembaga riset tambahan, tetapi jaringan epistemik yang saling mengisi. Setiap partai harus memiliki badan riset internal yang bertugas menyiapkan white paper ideologis, bukan sekadar survei elektabilitas. Parlemen harus memiliki unit riset nonpartisan seperti Congressional Research Service (CRS) di Amerika Serikat atau Parliamentary Office of Science and Technology (POST) di Inggris. Unit semacam ini tidak hanya menjawab pertanyaan teknis anggota parlemen, tapi juga menjadi penjaga epistemik agar setiap RUU disertai naskah akademik dan analisis dampak regulasi (RIA) yang sahih.
Di tingkat eksekutif, pemerintah perlu membangun Dewan Strategi Epistemik Nasional yang beranggotakan perwakilan lembaga riset, universitas, dan analis kebijakan lintas kementerian. Dewan ini bukan badan birokrasi baru, tetapi forum deliberatif pengetahuan yang memproduksi rekomendasi lintas sektor. Dalam konteks daerah, mekanisme ini dapat direplikasi sebagai Dewan Strategi Daerah yang menghubungkan Bappeda, DPRD, universitas lokal, dan pelaku ekonomi daerah. Melalui jejaring seperti ini, policy pipeline dari riset menuju kebijakan dapat berjalan secara sistemik---dari ruang akademik ke meja politik.
Namun, reformasi epistemik tidak cukup dengan menciptakan lembaga. Ia membutuhkan ekosistem kepercayaan antara ilmuwan dan politisi, antara pengetahuan dan kekuasaan. Agar hubungan ini tidak berubah menjadi transaksi, harus ada standar etik baru: setiap riset publik wajib melewati uji kepentingan publik, hasilnya terbuka, dan lembaganya diaudit secara independen. Ini bukan idealisme kosong; OECD sudah menegaskan bahwa evidence-informed policy hanya mungkin jika pemerintah membangun struktur insentif yang mendorong penggunaan bukti dalam siklus kebijakan, bukan sekadar mewajibkan laporan.
Lalu bagaimana menjamin independensi lembaga riset dalam sistem yang sarat kepentingan? Jawabannya bukan dengan memutuskan hubungan dengan kekuasaan, tetapi dengan menciptakan mekanisme keseimbangan institusional. Lembaga riset publik harus dibiayai dengan model campuran: sebagian dari anggaran negara, sebagian dari dana abadi (endowment), sebagian dari hibah kompetitif, dan sebagian dari kemitraan publik-swasta. Transparansi sumber dana menjadi fondasi moral. Di sisi lain, partai dan parlemen wajib mempublikasikan policy brief dan white paper yang menjadi dasar keputusan mereka---membuka ruang bagi publik untuk menilai rasionalitas kebijakan, bukan sekadar hasil akhirnya.
Reformasi epistemik juga mensyaratkan pembangunan kapasitas manusia. Tanpa policy fellowship antara akademisi dan pejabat publik, jurang antara riset dan kebijakan akan tetap lebar. Universitas perlu membuka sekolah kebijakan yang menyiapkan analis kebijakan daerah dan staf parlemen yang terlatih dalam metodologi ilmiah. Pemerintah pusat bisa memfasilitasi pertukaran staf antara BRIN, Bappenas, dan DPRD agar terbentuk mutual literacy: ilmuwan memahami ritme politik, dan pejabat memahami logika bukti.
Pada akhirnya, jalan reformasi epistemik adalah tentang menciptakan rantai legitimasi baru: pengetahuan menjadi dasar moral kekuasaan. Selama ini, legitimasi politik kita bersandar pada suara rakyat dan kekuatan hukum; kini harus ditambah satu pilar lagi --- legitimasi epistemik. Ketika sebuah kebijakan dilandasi bukti, disusun oleh lembaga riset kredibel, dan diuji secara publik, maka keputusan politik tak lagi menjadi sekadar hasil kompromi, tetapi perwujudan dari rasionalitas bersama.