Dengan menyadari akar sejarah ini, Indonesia tidak perlu meniru Barat secara membabi buta. Sebab, jejak epistemik yang kita cari sudah ada dalam DNA peradaban kita sendiri: integrasi antara ijtihad dan syura, antara ilmu dan kekuasaan, antara moralitas dan kemajuan.
Dari Parlemen ke Think Tank Evolusi Otoritas Epistemik
Perjalanan panjang antara ilmu dan kekuasaan di dunia modern menemukan momentum baru sejak abad ke-17, ketika Eropa Barat memasuki fase konsolidasi politik modern: munculnya parlemen sebagai ruang artikulasi kepentingan rakyat sekaligus laboratorium kebijakan. Namun, sebelum itu, otoritas epistemik---yakni sumber legitimasi pengetahuan---berada di tangan dua kutub: gereja dan istana. Gereja mengontrol moralitas dan penafsiran kebenaran, sementara istana memonopoli kebijakan. Ketika Revolusi Ilmiah dan Reformasi Protestan mengguncang tatanan lama, muncul kebutuhan akan struktur baru yang mengintegrasikan pengetahuan, hukum, dan kekuasaan: di sinilah parlemen modern dan think tank mulai berakar.
Parlemen sebagai Ruang Dialektika Pengetahuan dan Kekuasaan, Inggris menjadi contoh klasik bagaimana kekuasaan politik bertransformasi menjadi arena epistemik. Sejak abad ke-17, parlemen Inggris tidak hanya menjadi institusi legislasi, tetapi juga wadah pertarungan ide. Dalam sistem Westminster, keputusan politik bukan hasil "kemauan tunggal" eksekutif, melainkan hasil dialektika argumentatif antar pihak. Debat di parlemen Inggris pada masa awal Revolusi Industri memperlihatkan bahwa data, riset, dan laporan ilmiah mulai memengaruhi arah kebijakan publik---dari urusan perdagangan hingga kesejahteraan buruh.
Fungsi deliberatif ini berkembang lebih jauh dengan munculnya partai politik. Partai bukan sekadar wadah elektoral, melainkan juga rumah ideologi. Ia menggabungkan para pemikir, aktivis, dan politisi dalam satu ekosistem produksi pengetahuan politik. Model ini kemudian menjadi fondasi bagi konsep "governance through knowledge"---pemerintahan yang mengandalkan bukti ilmiah, bukan sekadar retorika kekuasaan.
Lahirnya Think Tank Rasionalisasi Kekuasaan Modern. Ketika industrialisasi melahirkan kompleksitas sosial-ekonomi baru, partai dan parlemen menghadapi keterbatasan epistemik. Dibutuhkan lembaga yang lebih fokus, sistematis, dan independen untuk menghasilkan policy brief, white paper, dan kajian kebijakan. Maka lahirlah think tank sebagai evolusi berikut dari hubungan antara ilmu dan kekuasaan.
Think tank bukan sekadar lembaga riset, melainkan "jembatan epistemik" antara dunia akademik dan dunia politik. Mereka menafsirkan data dalam bahasa kekuasaan. Di Inggris, Fabian Society menjadi pionir dengan mendorong ide-ide sosialisme demokratis ke dalam kebijakan Labour Party. Mereka tidak berjuang dengan massa, melainkan dengan makalah, seminar, dan riset kebijakan. Di Jerman, Konrad Adenauer Stiftung lahir dari kebutuhan menjaga kesinambungan ideologi partai Kristen Demokrat pasca-Perang Dunia II, dan berfungsi sebagai mesin intelektual konservatisme modern. Di Amerika Serikat, Brookings Institution dan RAND Corporation menunjukkan bentuk ekstrem profesionalisasi pengetahuan---mereka menjadi "arsitek kebijakan" yang bekerja langsung dengan pemerintah dan parlemen.
Setiap lembaga ini memperlihatkan satu pola umum: politik modern yang sukses selalu memiliki infrastruktur epistemik. Artinya, kekuasaan tidak hanya membutuhkan legitimasi elektoral, tetapi juga legitimasi ilmiah. Sistem dan Struktur Parlementer vs Presidensial, dalam sistem parlementer, seperti Inggris dan Jerman, think tank tumbuh melekat pada partai politik. Setiap partai besar memiliki jaringan lembaga riset yang berfungsi menyiapkan rancangan kebijakan sebelum partai berkuasa. Di sinilah konsep "intellectual hegemony" dari Antonio Gramsci menemukan relevansinya: kekuasaan sejati bukan hanya dominasi politik, tetapi kemampuan memproduksi dan mendistribusikan makna yang menentukan arah sosial.
Sebaliknya, dalam sistem presidensial seperti Amerika Serikat, think tank lebih dekat dengan eksekutif. Mereka berperan sebagai penasihat presiden, kementerian, dan lembaga negara. Model ini menciptakan kompetisi epistemik antar pusat riset, yang kemudian memperkaya ruang kebijakan publik. RAND misalnya, menjadi instrumen strategis pertahanan dan inovasi teknologi; Brookings berfokus pada ekonomi dan tata kelola; sementara Heritage Foundation memengaruhi arah kebijakan konservatif di era Reagan dan Trump.
Tantangan Indonesia Kekuasaan Tanpa Ekosistem Epistemik, Indonesia berada dalam dilema epistemik. Secara formal, negara memiliki ribuan lembaga riset, universitas, dan badan penelitian. Namun secara struktural, tidak ada sistem yang menjembatani riset, partai, dan kebijakan. Hasil kajian ilmiah sering berhenti pada seminar, laporan proyek, atau kewajiban administratif belaka. Partai politik tidak memiliki basis riset ideologis yang kuat, sementara pemerintah masih melihat riset sebagai pelengkap birokrasi, bukan fondasi keputusan.
Akibatnya, lahir politik tanpa epistemologi---kebijakan diambil berdasarkan tekanan politik jangka pendek, bukan hasil pengetahuan yang berkelanjutan. Inilah yang menjelaskan mengapa perencanaan pembangunan sering inkonsisten, tumpang tindih, atau tidak berbasis data. Dalam konteks inilah, gagasan "Triangle Prosperity" dalam era Prabowo dapat dibaca sebagai peluang historis: bagaimana tiga pilar---negara, pasar, dan masyarakat---dapat dikoneksikan melalui ekosistem pengetahuan yang solid.