Baru-baru ini masyarakat dibikin gaduh oleh RUU TNI, setelah sebelumnya oleh kebijakan efisiensi anggaran dan kenaikan PPN sejumlah 12%. Pula beberapa gelagat anti-kritik dari pelarangan kerja-kerja kesenian seperti: pameran lukis Yos Suprapto di Gedung A Galeri Nasional pada 20 Desember 2024; pentas teater “Wawancara dengan Mulyono” milik kolektif Teater Payung Hitam di kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada 15 Februari 2025; lagu “Bayar Bayar Bayar” milik Sukatani pada 20 Februari 2025 hingga; terkait Film “Eksil” di CGV Samarinda pada 22 Februari 2025.
Perihal RUU TNI ini, bermula pada Jum’at 14 Maret lalu. Kala Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bersama Pemerintah secara tertutup di salah satu hotel bintang lima di kawasan Senayan, Jakarta. Rapat yang dilaksanakan dan digarap secara buru-buru serta rahasia ini, tampaknya disengaja, boleh jadi untuk menghindari kecaman masyarakat. Pasalnya, RUU TNI seolah mengulang Dwifungsi ABRI zaman Orde Baru yang pula berpotensi mengancam penegakan prinsip demokrasi, lantaran dahulu, kebijakan ini turut melanggengkan status quo oligarki. Selain itu, pula mengancam penegakan HAM.
Berdasarkan artikel yang dilansir pada situs Bbc.com dengan judul “Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?”, ada 3 pasal yang menjadi sorotan dalam revisi UU ini, yaitu:
Pasal 3, yang mengatur soal kedudukan TNI yang berada di bawah presiden dalam perkara pengerahan dan pengunaan kekuatan dan militer; dan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal kebijakan dan strategi serta dukungan administrasi;
Pasal 47, soal perluasan keterlibatan TNI dalam instansi sipil. Sebenarnya dalam Pasal 47 UU TNI, para prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Namun, dalam draf revisi, instansi yang bisa mereka rambah bertambah lima, menjadi 15 institusi. Lima lembaga sipil tambahan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung;
Pasal 53, yang berhubungan dengan perubahan batas usia pensiun. Sebagaimana dilaporkan Kompas.com, dalam draf revisi UU, usia pensiun perwira TNI paling tinggi 60 tahun. Sementara untuk bintara dan tamtama adalah 58 tahun.
Lalu, anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI TB Hasanuddin, menjelaskan bahwa ada tambahan satu badan lagi yang bakal diduduki oleh TNI aktif, yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Jadi totalnya sejumlah 16 institusi.
Bagi mereka yang sadar lantas mengecam kebijakan ini, barang kali belum lesap ingatannya soal tragedi Tanjung Priok tahun 1984 di masa Orde Baru, yang hingga kini belum mendapatkan keadilannya. Sejumlah korban pada tragedi tersebut pun belum diketahui pasti lantaran ada gelagat dari Pemerintah kepada media, menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dari hasil penelusuran saya sejauh ini, ada 400 orang korban meninggal dunia, menurut Abdul Qadir Djaelani dalam “Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia”.
Lain perkara soal kebijakan efisiensi, seiring naiknya harga-harga di pasaran akibat kenaikan PPN 12%. Hal ini akan menimbulkan dampak PHK, pemotongan beasiswa, hingga turunnya kualitas pelayanan publik. Mirisnya, efesiensi ini bahkan berlaku pada Kementerian atau Lembaga yang menjalankan fungsi pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), hanya untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pengangguran semakin ramai, sedangkan Pemerintah masih saja membungkus bualannya dengan optimisme sesat akan meningkatnya daya beli masyarakat demi memajukan perekonomian nasional. Atau optimisme lain semacamnya: mengatasi kemiskinan dengan memberi makan gratis. Alih-alih meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana yang menunjang proses belajar, serta menggratiskan pendidikan agar terciptanya kesempatan yang sama untuk bisa berdaya; suatu kiat yang, hemat saya lebih tepat untuk lepas dari jerat kemiskinan. Ini malah berpotensi bikin adik-adik atau orang tua siswa jadi punya mental kebergantungan.
Carut-marut berbagai kebijakan ini bikin saya muak. Memaksa imajinasi liar mencuat dan terburai dari kecemasan saya. Serupa teori “Edgework” dalam kajian Kriminologi Budaya oleh Steve Lying dan Jeff Ferrel. Bagaimana jika, kombinasi dari kepemimpinan rezim anti-kritik beserta perangkat TNI-nya, yang mendominasi segala lini bikin kita mengeluarkan semacam gerak-gerik aneh lagi menyimpang lantaran kerangkeng Negara yang terlampau merepresi mental dan dorongan hasrat kita. Gerak-gerik tersebut seolah hasil campur aduk antara keahlian dan bahaya. Menghadapi bahaya dengan cara-cara anomali demi kenikmatan adrenalin.
Saya membayangkan ini bermula dari seseorang yang bikin konten “Tutorial Maling Ayam dengan Jiwa Kesatria” di sosial media sembari mengenakan kaos bertuliskan: “Sayap Tanah Air". Seseorang lainnya yang bikin mural secara gelap-gelapan dengan corak loreng berwarna hijau, coklat dan hitam di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan di suatu kota. Kemudian, Balap tiarap liar yang diselenggarakan tiap malam, merebak di seluruh daerah.
Atau, di beberapa sekolah terbentang spanduk bertuliskan: “Gibran pernah berkunjung ke sini” ala copywriting desain marketing warung makan. Di tempat lainnya, lahir sekte aliran sesat yang punya tata ibadah memutar kepalan pergelangan tangan ke belakang sembari memukul pelan dada yang dibusungkan sambil meneriakkan “Shinzou Wo Sasageyo!”, persis dalam serial anime “Attack on Titan”. Lalu diulang-ulang sebanyak 20 kali, saban 5 waktu dalam sehari. Umatnya dijanjikan kebahagiaan hakiki di surga oleh para pendetanya, di mana bisa duduk di atas singgasana mewah bersama para Titan Shifter. Asal, rajin bayar iuran 3 juta per-orang.
Entahlah, apakah ini patut disebut distopia. Namun, agaknya upaya-upaya dalam menghentikan gerak-gerik anomali semacam di atas,—terlebih lagi yang memiliki corak perlawanan, justru akan semakin mengembangkan keahlian serta meningkatkan resiko bahayanya. Sebab, perlawanan atas hak hidup layak lagi manusiawi, abadi! Semakin dicegat, maka semakin gawat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI