"Kamu bisa meninggalkan kehidupan sekarang. Biarkan itu menentukan apa yang anda lakukan, katakan, dan pikirkan."
- Marcus Aurelius
Banyak orang merasa tidak nyaman saat berbicara atau berpikir tentang kematian. Dalam buku The Secret, Rhonda Byrne bahkan menyarankan untuk menghindari pikiran seperti itu. Menurutnya, jika kita memikirkan penyakit atau kematian, maka itulah yang akan kita tarik ke dalam hidup. Ia percaya bahwa kekuatan pikiran dapat menciptakan kenyataan, sehingga lebih baik hanya memikirkan hal-hal yang baik dan positif.
Namun kenyataannya, kematian bukanlah sesuatu yang bisa kita hindari. Ia adalah satu-satunya kepastian dalam hidup. Edmund Wilson mengatakan bahwa kematian adalah ramalan yang tidak pernah gagal. Kita semua sudah memiliki diagnosis terminal sejak lahir. Maka, justru memikirkan kematian bukanlah hal yang keliru, melainkan bisa menjadi fondasi untuk hidup dengan lebih sadar dan bermakna.
Filsuf-filsuf besar sepanjang sejarah tidak pernah menghindari kematian, melainkan menjadikannya bagian penting dari refleksi hidup. Socrates pernah mengatakan bahwa tujuan utama seorang filsuf adalah berlatih untuk mati. Michelangelo mengaku bahwa setiap pikirannya selalu disertai kesadaran akan kematian. Begitu juga dengan Tolstoy yang menyatakan bahwa jika kita sungguh mengingat bahwa kita akan mati, hidup kita akan berubah secara drastis.
Dalam tradisi Romawi kuno, dikenal istilah memento mori, yang berarti “ingatlah bahwa kamu akan mati.” Ketika seorang jenderal meraih kemenangan dan diarak di jalan-jalan Roma, akan ada seorang ajudan yang berdiri di belakangnya, membisikkan kalimat itu di telinganya. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti atau merusak kebahagiaan, melainkan untuk menjaga kerendahan hati dan kesadaran akan kefanaan manusia.
Para filsuf Stoa seperti Seneca dan Epictetus memandang pemikiran tentang kematian sebagai sesuatu yang menyegarkan. Seneca menyarankan agar kita berkata pada diri sendiri sebelum tidur, “Kamu mungkin tidak akan bangun lagi besok.” Dan saat bangun, kita diingatkan, “Kamu mungkin tidak akan tidur lagi.” Dengan cara ini, kita tidak akan menunda-nunda untuk hidup dengan penuh dan tidak akan menyia-nyiakan waktu.
Epictetus juga menyarankan murid-muridnya untuk mengingat kematian setiap hari. Dengan begitu, seseorang tidak akan terlalu terpaku pada keinginan yang berlebihan dan tidak akan mudah goyah oleh penderitaan. Kesadaran akan kefanaan membuat seseorang bersikap lebih tenang, tidak berlebihan dalam ambisi, dan lebih menghargai saat ini.
Sebagaimana Samuel Johnson katakan, ketika seseorang tahu bahwa ia akan dihukum gantung dalam dua minggu, pikirannya akan menjadi sangat fokus. Ini menggambarkan bagaimana kematian dapat menjadi kekuatan yang memurnikan perhatian dan niat hidup kita. Kita berhenti menunda, berhenti mengeluh, dan mulai menjalani hidup dengan kesungguhan.
Pemikiran ini terlihat dalam tindakan nyata seorang pesenam Jepang bernama Shun Fujimoto pada Olimpiade 1976. Meskipun mengalami cedera lutut parah, ia tetap tampil sempurna dan membantu timnya meraih emas. Penampilannya bukan karena keajaiban, melainkan karena kekuatan mental dan keberanian menghadapi rasa sakit. Ia bertindak seolah itu adalah kesempatan terakhirnya, dan hal itu justru memperlihatkan makna terdalam dari ketabahan manusia.