Mohon tunggu...
048_B_SHINDY PUSPITA
048_B_SHINDY PUSPITA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Surabaya

Hallo aku shindy! hoby aku makeup dan cita" aku makeup artist!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arsa-Arsi (Kehendak atau Harapan)

2 Desember 2022   05:59 Diperbarui: 2 Desember 2022   06:04 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akan aku ceritakan kisah tragisku selama menjadi relawan erupsi gunung Anak Krakatau dua tahun silam. Aku sengaja mengajukan diri menjadi relawan dari pihak rumah sakit Bhayangkara tempatku bekerja. Saat itu evakuasi sudah berjalan dua minggu, para petugas dan relawan saling beradu tenaga mengevakuasi warga yang terkena dampak erupsi. 

Berada di dalam barak selama berjam-jam rasanya sangat sumpek, keluar barak untuk sekadar menghirup udara luar terdengar bagus pikirku. Baru beberapa menit berdiri, dari arah belakangku terdengar langkah kaki cepat setengah berlari. Aku balikkan badanku, alisku terangkat mendapati seorang laki-laki tinggi yang menggendong seekor kucing di dadanya berlari ke arahku dengan wajah khawatir.

"Dokter tolong dokter kucingnya terluka dokter!" begitu teriaknya ngos-ngosan setelah sampai di hadapanku.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, memproses apa yang terjadi. Astaga aku bukan dokter hewan, tapi tak apalah kuperhatikan juga kucingnya hanya luka kecil, malahan yang menggendong terluka juga.

"Kemari masuk ke barak saja, sepertinya bukan cuman kucing yang harus saya obati."

"Itu dahi Anda juga berdarah" ucapku menunjuk pada dahi kanannya yang terdapat luka gores yang sudah mengering.

"Oh iya kah?" tanyanya kaget, lalu memegang dahinya.

"Sudah, kemari masuk dulu."

Aku berbalik kemudian masuk ke barak di ikuti laki-laki itu di belakangku, mengekori.

"Silakan duduk dulu, saya mau ambil plester." Aku menunjuk sebuah kursi besi di depan meja periksa. Ia menurut, mendudukkan dirinya dengan kucing putih yang masih di gendongan, lucu sekali batinku. Hingga aku kembali ia tetap diam, sesekali mengecek kaki kucing yang ia gendong.

"Baik, coba saya periksa dulu kucingnya."

Ia mengelus lembut kepala kucingnya sebelum meletakkannya pada meja periksa, ah sepertinya dia laki-laki yang lembut. Kucingnya tidak terluka parah, hanya tergores sedikit, di bersihkan lukanya lalu di obati sudah cukup. Selama aku melakukan pekerjaanku, selama itu juga matanya tak pernah meninggalkan ke mana tanganku bergerak.

"Baik sudah selesai, sekarang giliran Anda yang saya obati."

Akhirnya ia mengalihkan pandangannya berganti padaku. "oh? I- iya dok." ia mencondongkan wajahnya ke depan, ini bukan posisi yang tepat.

"Anda tidak perlu seperti itu, biar saya saja yang duduk di depan Anda."

"Ohh iya, maaf."

Aku berdiri, lalu duduk di sebelahnya, ia juga langsung menghadapku, mengikis jarak di antara kami. Tak ada percakapan, kami sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Sudah selesai" Aku menempelkan plester coklat pada dahinya sebagai tahap akhir.

Dia tersenyum,

"Terima kasih dokter O-live Ma-issy." ia mengeja namaku dari tanda pengenal yang aku pakai.

"Panggil Olive saja, dan siapa nama mu?" Alisku terangkat mengisyaratkan bertanya siapa namanya.

"Roy, Roy Devara Gildan" dia mengulurkan tangannya, kami bersalaman kemudian ia juga tersenyum manis.

Setelah itu kami mengobrol sebentar, ternyata ia bukan warga setempat, ia kemari ingin mencari ibunya yang sempat tinggal di sini, ia juga meminta data korban jika ada. Aku memberi kartu namaku agar Roy bisa menghubungiku nanti, untuk mengirimkan data yang ia minta. Setelahnya ia memutuskan untuk pamit, mengembalikan kucing yang sudah berada di gendongannya.

"Sekali lagi terima kasih dokter Olive cantik, saya pamit dulu sampai bertemu kembali."

Astaga berani sekali memuji dengan lancar, Anda pikir Anda siapa? Membuat pipi saya memerah.

"Iyaaa sama-sama Roy."

Ku tatap punggung lebar itu  yang semakin menjauh.

Singkat cerita, Roy menghubungiku kuberikan data para korban yang ia minta, ternyata ibunya bukan korban, entah bagaimana selanjutnya aku tidak tahu. Keesokannya, Roy mengunjungi tendaku lagi, ia mengatakan ingin menjadi relawan juga.

"Sepertinya saya ingin menjadi relawan di sini juga, bagaimana menurutmu?"

Aku menanggapi dengan antusias, ini hal baik, tentu saja.

"Bagus sekali, biar saya daftarkan, jadi nanti kamu bisa dapat arahan dan tugas-tugas dari pimpinan."

Roy tersenyum semringah, senyum miliknya benar-benar meneduhkan.

"Terima kasih banyak dok, saya sudah banyak dibantu dari kemarin."

"Sama-sama, sudah menjadi tugas saya untuk membantu sesama." balasku ikut tersenyum.

Roy benar-benar menjalankan tiap tugas dengan baik, ia selalu sigap dan siaga saat dibutuhkan. Kami berdua juga semakin dekat, dia bertugas mengevakuasi sedangkan aku bertugas memeriksa korban. Ke mana-mana kami juga berdua, bak amplop dan prangko, ada Olive pasti ada Roy.

"Dokter Olive, setelah ini selesai tolong jangan lupakan Aku ya? Dokter harus mengingatku"

Celetuknya saat kami sedang makan roti di depan tenda, beristirahat.

"Tentu saja Roy, lagi pula kita masih bisa berhubungan kan? Memang kamu mau ke mana ha?" jawabku terkekeh, tanpa tahu maksud asli dari kalimatnya.

Proses evakuasi selesai dilakukan, Roy dan aku benar-benar berpisah. Namun kami masih berhubungan via telepon atau jalan-jalan berdua saat Aku libur bekerja, entah kami pergi ke pantai, atau sekedar naik motor malam-malam untuk melepas penat. Aku akui, aku mulai nyaman dengan Roy, atau mungkin aku sudah jatuh pada pesonanya. Entah karena terbiasa dan nyaman, atau karena memang sudah lama aku tidak merasakan dekat dengan laki-laki. Aku banyak bercerita dengan Roy, namun sebaliknya ia tidak pernah menceritakan hal apa pun kepadaku. Yang aku tahu hanya namanya, nomor ponselnya, dan alamat rumahnya, selebihnya aku tidak diberitahu.

"Olive kalau hari minggu jadi, tolong jemput aku ya, kukirim kan alamatnya nanti, aku sedang tidak di rumah biasanya."

Begitu katanya di telepon, aku masih ingat dengan jelas. Entah kenapa Roy sering pindah-pindah tempat tinggal. Mungkin masalah pekerjaan, entahlah. Seminggu kami dekat, kemudian di minggu berikutnya Roy menghilang. Bagai ditelan bumi keberadaannya seperti dihapus dari peradaban. Jangankan telepon, kusambangi setiap tempat yang pernah ia tinggali pun dia tidak ada. Tanpa penjelasan, dan tanpa aba-aba. Sakit sekali rasanya, dia yang jahat atau aku yang terlalu bodoh, mudah sekali menaruh rasa pada orang tak dikenal. Bulan selanjutnya, Aku ditugaskan menjadi pendamping terdakwa hukuman mati kasus narkoba di Pulau Nusa Kambangan. Ini adalah kali pertamaku selama menjadi Dokpol. Terdakwa akan di eksekusi tiga hari lagi, dan sebelum itu Aku bertugas memantau kesehatannya, ia juga diberi tiga permintaan terakhir. Setelah menginjakkan kaki di sana, aku diberi pengarahan dan ditunjukkan ruangan terdakwa untuk melakukan tugasku. Aku ditemani oleh dua penjaga bersenjata yang berjalan di belakangku. Bagai tersambar petir di siang hari, tubuhku meremang tatkala aku masuk ke dalam bilik ber-cat abu-abu tempat terdakwa di isolasi. Wajah yang hampir sebulan tak kulihat, kembali mengisi pandanganku.

"Jumpa kembali dokter cantik." sapanya tersenyum. Senyum itu, senyum yang kuanggap meneduhkan, nyatanya sekarang mendatangkan air mata.

"Roy?" lirihku, tak sanggup rasanya menyebut namanya lagi.

"Iya dokter, ini Roy. Maaf sudah membuat dokter terkejut."

Ia masih tersenyum, seakan tidak terjadi apa-apa. Gila.

Tak ada percakapan lagi, aku memalingkan wajahku saat menyadari bulir air mata sudah jatuh membasahi pipiku. Kurasakan, tangan dinginnya mengusap lembut, menghapus jejak air mata tadi.

"Dokter tak perlu memikirkanku cukup ingat saja aku, lakukan tugasmu dan aku akan menjalankan hukumanku." tenangnya seraya menggenggam tanganku, sesekali ia usap lembut.

Aku masih memalingkan wajah, enggan menatap wajahnya. Berengsek sekali pikirku, dalam situasi seperti ini masih saja berlaku manis.

"Ehem dokter Olive? Tolonglah tetap profesional." tegur pengawal di belakang menyadarkanku dari lamunan bodoh.

"Ah iya maaf." aku segera tersadar kembali.

"Baik tuan, di sini saya Dokter Olive Maissy Adeva, yang akan bertugas memantau kesehatan Anda selama tiga hari ke depan, selama itu pula Anda diberi tiga permintaan terakhir sebelum menerima hukuman."

"Tiga permintaan ya, sebelumnya boleh saya bercerita sedikit?"

Aku mengangguk "Silahkan."

Ia tersenyum lagi.

"Sebenarnya saya tidak ingin melakukan pekerjaan ini, namun orang tua saya memaksa untuk melanjutkan bisnis haram yang sudah mereka bangun, setiap hari saya dipaksa menjual barang haram, namun tidak sekalipun saya menggunakannya, kemudian ayah saya meninggal ibu saya memaksa untuk saya yang melanjutkan, demi hidup mewah pastinya, meskipun ini bukan kehendak saya, namun tindakan saya tidak dapat dibenarkan, saya menyerahkan diri, saya sudah lelah bermain kucing-kucingan dengan polisi" Roy terkekeh di akhir kalimat. Aku menatapnya tak percaya, jahat sekali orang tuanya.

"Untuk tiga permintaan itu, aku hanya ambil satu, saya cuman ingin dipeluk saja. Menghabiskan sisa waktu saya dengan kamu sudah cukup membuat saya merasa hidup kembali, saya sangat bersyukur dokter sudi menemani saya di sisa waktu saya, dan maaf jika saya tidak memberitahu apa pun sebelumnya."

Lagi, entah sudah air mata ke berapa yang jatuh. Segera kurengkuh tubuh yang lama kurindukan itu. Kuluapkan yang terpendam, sekaligus kujalankan tugasku. Saat yang aku takutkan tiba, hari eksekusi. Roy diminta berganti baju berwarna putih.

Kemudian di ikat di sebuah tiang, dia juga di tanya ingin di tutup matanya atau tidak? Tidak katanya.

Di depannya sudah berdiri 12 penembak jitu, di antara mereka entah siapa yang senapannya berisi peluru. Proses eksekusi disaksikan hakim, pengawas dan beberapa penjaga. Akulah yang bertugas mengecek dan mengawasi terdakwa. Tiba saatnya eksekusi dimulai. Para penembak jitu mulai mempersiapkan diri, menunggu aba-aba dari ketua.

"Tiga.. dua.. satu.."

Pelatuk ditarik, peluru pertama mengenai atas telinga Roy, ia jatuh terduduk dilantai. Aku mendekat dengan perasaan campur aduk, detak jantungnya masih ada, dia melihatku seperti ingin mengatakan sesuatu, mengucur darah dari telinga dan hidungnya.

"Terdakwa dinyatakan masih hidup"

Aku menjauh lagi, kembali ditembakkan peluru kedua, kali ini tepat mengenai jantungnya. Roy jatuh tersungkur ke depan. Aku kembali bertugas mengecek apakah ia sudah meninggal atau belum, kubalikkan badannya. Kubawa kepalanya pada kakiku. Ia masih tersenyum, bibirnya membiru, namun masih sempat mengucapkan terima kasih. Roy sudah meninggal.

"Terdakwa dinyatakan meninggal pada pukul 04.15 Waktu Indonesia Barat (WIB)"

Air mataku tak terbendung lagi, bahuku bergetar, kudekap ia dalam pelukanku, untuk yang terakhir kali. Hingga saat ini, setiap bulan Oktober aku tidak pernah lupa berziarah ke makamnya. Tenang saja Roy sesuai perintahmu, aku tidak akan pernah melupakanmu, dirimu juga akan selalu punya tempat tersendiri dalam hatiku dan juga hidupku.

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun