Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Jejak Sang Penari [9]

11 Agustus 2017   06:16 Diperbarui: 22 Agustus 2017   18:12 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah Sebelumnya  http://www.kompasiana.com/elfat67/598b8b2cc2b9f9764c637532/novel-jejak-sang-penari-8

Bag. 9-Serpihan Cinta

Ini hari keenam aku dirawat di Rumah Sakit. Kondisi tubuhku sudah membaik. Infus juga sudah dilepas dari pergelangan tanganku. Dokter Suastika tampak gembira saat mengunjungiku pagi ini.

"Selamat pagi, Jansen. Wah, sudah terlihat lebih bugar rupanya," ia menyapa renyah.

"Sepertinya begitu, Dokter. Syukurlah," Papi yang menyahut.

"Jadi kapan saya boleh pulang, Dokter?" tanyaku tidak sabar.

"Hari ini kamu sudah boleh mengucapkan selamat tinggal padaku, Zoon," seloroh dokter yang ramah itu.

"Kukira aku akan merindukan Anda, Dokter," aku berkata bersungguh-sungguh. Dokter berkacamata itu tertawa. 

Sambil menunggu Papi menyelesaikan administrasi perawatanku, aku menghabiskan waktu duduk-duduk di bangku taman. Beberapa pasien juga melakukan hal yang sama sepertiku.

Pagi terasa lebih indah dari sebelumnya. Bunga-bunga di taman bermekaran. Kicau burung yang hinggap di atas dahan merdu bersahutan. Matahari juga tengah bermurah hati. Ia menebarkan kehangatan, mengusir dingin dan titik-titik embun yang menempel pada lembar dedaunan.

Pandanganku menyapu sekeliling. dan tanpa sengaja terpaku pada sesosok tubuh yang meringkuk tak jauh dari semak yang tumbuh di ujung taman. Oh, sosok itu, aku sepertinya mengenalnya! 

Aku menajamkan pandanganku. 

Ya, aku tak salah lagi. Dia---pedagang asongan yang pernah kujumpai di taman kota malam itu. Aku mengenalinya. Tampilannya tetap sama, belum berubah. Ia masih mengenakan topi kumal dan membebat wajahnya dengan kain.

Aku bergegas beranjak dari dudukku, berniat menghampirinya.

"Aha, rupanya kamu masih juga berkeliaran di sini. Dasar tidak tahu diri!" tiba-tiba sebuah suara melengking. Membuatku mundur beberapa langkah.

Laki-laki pemarah itu, ia sudah berdiri di sebelahku.

"Maaf, aku bicara dengan orang yang di sana itu," laki-laki itu menatapku sekilas. "Enyah kau dari hadapanku! Aku tidak sudi lagi melihat wajahmu!" pasien aneh itu berteriak-teriak lagi. Ribut sekali.

Sementara sosok yang meringkuk di dekat semak tetap diam tak bergerak.

"Huh, dasar tidak tahu malu!" laki-laki di sebelahku terus saja menyumpahinya.

"Jansen, Papi sudah rampung. Mari kita berkemas."  Suara Papi mengagetkanku.

"Baiklah, Pi." Aku siap berbalik badan. Tapi kemudian urung. Karena sekelebat kulihat sosok yang kukenal itu menoleh ke arah kami. Tapi hanya sesaat. Ia buru-buru memalingkan wajahnya kembali.

"Siapa dia, Jansen?"  Papi ternyata melihatnya juga.

"Oh, hanya seorang teman,"  jawabku sembari mengayun langkah.

"Teman? Kau berteman dengan orang semacam dia, Zoon?" nada suara Papi terdengar tidak suka.

Aku mengangguk.

***

Hari sudah siang ketika kami sampai di penginapan. Papi terlihat sangat gembira. Seperti aku, kukira ia tengah menikmati suasana Bali yang sekian lama ditinggalkannya.

"Bali belum berubah, Jansen. Setidaknya begitu menurutku. Papi masih bisa menyaksikan iring-iringan warga menuju Pura untuk beribadah. Juga kesenian tradisional semacam Tari Kecak dan upacara Ngurek, masih dipertahankan."

"Aku ingin berjalan-jalan menikmati keindahan Bali bersama Papi...."

"Kita pasti akan melakukannya, Zoon. Kalau kau sudah benar-benar sehat."

"Aku merasa sudah sehat, Pi." Aku mengecup pipi Papi yang keriput. Kulihat Papi tersenyum.

"Kukira ini sudah takdirku, Jansen. Harus kembali menginjakkan kaki ke Pulau Dewata ini. Semula Papi hanya ingin mengirim dirimu saja agar bisa bertemu Ni Kadek Resti. Sementara Papi---biarlah mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang Bali."

"Juga mengubur kenangan bersama penari cantik sialan itu?" aku menggoda Papi. Papi tertawa.

"Pi, apakah Bapa Made sudah mengatakan pada Papi, bahwa aku kehilangan jejak Ibu?" suaraku tiba-tiba berubah sedih. 

Papi terdiam. 

"Sepertinya kedatanganku ke Bali ini sia-sia, ya, Pi. Ibu raib entah ke mana."

Papi masih terdiam.

"Oh, aku harus menukar pakaianku!" aku mengalihkan pembicaraan. Udara siang cukup gerah. Aku butuh celana yang agak gombrong.

Aku menemukan celanaku di antara tumpukan baju yang kujejalkan di dalam kopor. Ketika menarik celana itu, sesuatu terjatuh. Menggelinding tepat di depan kaki Papi.

"Apa ini, Jansen?" Papi meraih benda berbentuk melingkar itu.

"Itu cincin pemberian temanku tadi, Pi. Pedagang asongan yang meringkuk di dekat semak," aku menjelaskan. Papi mengamati benda kecil itu dengan seksama.

Tiba-tiba air muka Papi berubah.

"Ada apa, Pi?"

"Jansen, cincin ini---bagaimana bisa kau mendapatkannya?" suara Papi bergetar.

"Sudah kubilang, pedagang asongan itu menghadiahkannya untukku."

"Jansen, pertemukan Papi dengan temanmu itu! Ia tahu, di mana Kadek Resti berada...."

Seketika aku terlonjak. Urung menukar celanaku.

***

Malang, 11 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun