Ada semacam pemakaman di dalam kepala.
Kuburan-kuburan kecil yang tak ditandai. Isinya bukan jasad, tapi gagasan-gagasan yang tak pernah sempat dilahirkan. Cerita-cerita yang mati dalam kandungan. Puisi-puisi yang gugur sebelum sempat menghirup napas pertamanya.
Mereka pernah hidup.
Saya merasakannya. Dulu. Mereka pernah menjadi kupu-kupu yang beterbangan di ruang pikiran, denyut yang mendesak untuk diberi bentuk. Bisikan-bisikan di tengah malam. Kilas-kilas bayangan di sudut mata. Mereka menunggu untuk dipungut, untuk diberi rumah di dalam sebaris kalimat.
Saya bilang pada mereka, "Tunggu."
Tunggu sampai saya punya waktu yang tepat. Tunggu sampai saya menemukan kata yang paling puitis. Tunggu sampai saya lebih siap.
Saya keliru.
Gagasan tidak bisa menunggu. Mereka adalah makhluk yang rapuh. Terlalu lama diabaikan, mereka akan layu. Terlalu lama disimpan di dalam gelap, cahaya di mata mereka akan padam.
Waktu. Itulah musuhnya.
Waktu adalah geolog yang sabar. Ia bekerja dalam diam. Perlahan, ia mengubah apa yang pernah hidup dan hangat menjadi fosil yang dingin. Gagasan yang tadinya cair dan berdenyut, mengeras menjadi batu. Indah, mungkin, saat digali bertahun-tahun kemudian. Tapi sudah mati. Tak bernyawa.