Mohon tunggu...
Zuhdi Ilham Nadjir
Zuhdi Ilham Nadjir Mohon Tunggu... buruh tulis

cuman buruh tulis yang hoby filsafat dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebelum Kata Menjadi Batu Nisan

30 Agustus 2025   09:28 Diperbarui: 2 September 2025   09:21 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
By John Everett Millais - Google Arts & Culture --- -wGU6cT4JixtPA Tate Images (http://www.tate-images.com/results.asp?image=N01506&wwwflag=3&imagepos=2

Ada semacam pemakaman di dalam kepala.

Kuburan-kuburan kecil yang tak ditandai. Isinya bukan jasad, tapi gagasan-gagasan yang tak pernah sempat dilahirkan. Cerita-cerita yang mati dalam kandungan. Puisi-puisi yang gugur sebelum sempat menghirup napas pertamanya.

Mereka pernah hidup.

Saya merasakannya. Dulu. Mereka pernah menjadi kupu-kupu yang beterbangan di ruang pikiran, denyut yang mendesak untuk diberi bentuk. Bisikan-bisikan di tengah malam. Kilas-kilas bayangan di sudut mata. Mereka menunggu untuk dipungut, untuk diberi rumah di dalam sebaris kalimat.

Saya bilang pada mereka, "Tunggu."

Tunggu sampai saya punya waktu yang tepat. Tunggu sampai saya menemukan kata yang paling puitis. Tunggu sampai saya lebih siap.

Saya keliru.

Gagasan tidak bisa menunggu. Mereka adalah makhluk yang rapuh. Terlalu lama diabaikan, mereka akan layu. Terlalu lama disimpan di dalam gelap, cahaya di mata mereka akan padam.

Waktu. Itulah musuhnya.

Waktu adalah geolog yang sabar. Ia bekerja dalam diam. Perlahan, ia mengubah apa yang pernah hidup dan hangat menjadi fosil yang dingin. Gagasan yang tadinya cair dan berdenyut, mengeras menjadi batu. Indah, mungkin, saat digali bertahun-tahun kemudian. Tapi sudah mati. Tak bernyawa.

Dan kata-kata yang seharusnya menjadi pakaian mereka? Kata-kata yang tak pernah sempat saya tuliskan itu?

Mereka menjadi batu nisan.

Setiap penundaan memahat satu huruf di atasnya. Setiap keraguan menambahkan baris berikutnya. Tertulis di sana nama-nama dari apa yang tak pernah ada. Epitaf untuk sebuah penyesalan.

Maka, menulis bukan lagi seni. Bukan lagi umtuk mencari keindahan.

Menulis adalah urgensi.

Perlombaan melawan pembusukan. Upaya penyelamatan. Menarik paksa setiap gagasan dari cengkeraman waktu sebelum ia membatu. Memberinya napas, memberinya suara, sekasar dan sesederhana apa pun itu.

Lebih baik tulisan yang janggal tapi hidup, daripada mahakarya yang sempurna tapi telah menjadi fosil di dalam kepala.

Maka saya menulis. Malam ini. Dengan sedikit panik. Dengan kesadaran bahwa pemakaman itu terus meluas. Ada liang-liang baru yang digali setiap hari, menanti untuk diisi.

Saya menulis. Menyelamatkan satu per satu.

Sebelum kata menjadi batu nisan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun