Sudah berkali-kali perempuan itu mencoba berdamai dengan kesepian. Baginya, hari-hari yang sunyi bukanlah hal baru. Sudah lebih dari lima tahun ia memutuskan untuk menjaga jarak dari laki-laki—sebuah keputusan yang ia ambil demi menjaga hatinya dari luka yang sama. Namun, pada Januari 2024, ia memberanikan diri untuk membuka lembaran baru. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu itu, ia mencoba percaya bahwa mungkin, kali ini akan berbeda.
Laki-laki itu datang membawa banyak cerita. Tentang hidupnya, tentang keluarganya, bahkan tentang mantan kekasihnya. Ia mengaku telah diselingkuhi, dan perempuan itu, ia yang juga pernah merasakan luka serupa, mencoba memahami. Ia mendengarkan tanpa menghakimi, mencoba logis dalam menanggapi, karena emosinya terhadap masa lalu telah selesai. Ia ingin mencari tahu, bukan untuk menilai, melainkan agar bisa memahami dari mana luka itu bermula.
Hari demi hari berlalu, dan ia mulai mempercayai laki-laki itu. Semua cerita yang keluar dari mulutnya diterima dengan hati yang terbuka. Ia belajar melihat dunia dari sudut pandang orang lain, meski sesekali ia harus menekan kekhawatiran dalam dirinya: Apakah ini akan membuatku patah hati lagi?
Sayangnya, waktu membuktikan bahwa yang ia tahu hanyalah seujung kuku dari keseluruhan kisah. Ia baru menyadari, di balik kejujuran yang ditunjukkan, tersimpan kebohongan yang tak kecil jumlahnya. Saat laki-laki itu mulai mendekatinya, ternyata komunikasi dengan sang mantan belum benar-benar usai. Bahkan, panggilan kesayangan masih terucap—"Nada," begitu ia memanggil mantan kekasihnya.
Perempuan itu merasa hancur. Betapa tidak? Ia telah berusaha menerima, menemani, dan bahkan memperbaiki, tetapi ternyata bayang-bayang masa lalu masih hidup dalam hubungan mereka. Ia bertanya-tanya, mengapa ia tidak menyadarinya sejak awal? Mungkin karena iba. Laki-laki itu tampak begitu membutuhkan perhatian dan validasi. Maka ia pun mengabaikan hal-hal yang mengganggunya, demi tetap berada di sisi orang yang ia kira membutuhkannya.
Tapi, seperti yang sering dikatakan orang, pikiran seorang perempuan tak pernah benar-benar tenang, bahkan ketika ia memilih untuk diam. Peduli ataupun tidak, segalanya tetap menjadi persoalan yang bergema dalam pikirannya sendiri. Yang paling menyedihkan dari semuanya adalah kenyataan bahwa selama satu tahun penuh, perempuan itu tidak pernah benar-benar mendapatkan kepastian bahwa mereka memang menjalin sebuah hubungan. Bukan karena ia tidak pernah bertanya—ia sudah melakukannya. Namun, sampai kapan ia harus mengulang pertanyaan yang sama? Sampai seberapa dalam ia harus menekan harga dirinya hanya untuk memastikan bahwa keberadaannya memang berarti?
Ia menyayangi laki-laki itu, karena ia percaya bahwa kerusakan dalam dirinya bukanlah hasil dari pilihannya sendiri. Ia ingin membantu, tapi pada akhirnya ia sadar, menolong orang yang tak ingin ditolong hanyalah sebuah kesalahan.
Perempuan itu adalah seseorang yang sangat membutuhkan kehadiran. Ia tidak bisa dibiarkan terlalu lama sendiri, apalagi ditinggalkan. Ketika ia merasa tak dianggap, ia akan mencoba berbicara. Namun sayangnya, respon yang ia terima tak pernah berupa pelukan hangat atau kata-kata pengertian. Yang datang hanyalah bentakan dan konflik yang tak kunjung selesai.
Puncaknya terjadi pada suatu malam. Laki-laki itu, entah karena amarah atau yang lainnya, menyebutnya "tukang selingkuh" dan "standar TikTok." Ia tak paham, tapi ia tersinggung. Esok harinya mereka tetap bertemu, namun tanpa sepatah kata maaf. Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Ketika ia diam, laki-laki itu pun ikut diam. Ketika ia marah, laki-laki itu ikut marah. Tak ada yang mau mengalah.
Lalu ia melihat sesuatu yang membuat hatinya runtuh. Sebuah unggahan di akun Instagram kedua milik laki-laki itu—foto berdua dengan seorang perempuan. Tanpa izin. Ia mencoba membicarakannya, tetapi hanya dianggap berlebihan. “Aku hanya menghargai .” Lalu bagaimana dengan menghargaiku?
Perempuan itu merasa diremehkan. Ia hanya ingin dimengerti atas rasa cemburunya. Tapi yang ia dapat hanyalah pernyataan menyakitkan, “Apa aku harus mengikuti hidupmu sebagai mahasiswa kupu-kupu dan nolep? Aku punya kehidupanku sendiri. Ini adalah tanggung jawabku.” Ia terdiam. Bukan karena tidak mampu membalas, tetapi karena hatinya seketika runtuh oleh ucapan yang begitu tajam. Ia tidak marah—tidak juga tersinggung. Ia hanya kecewa. Seseorang yang selama ini ia jaga dan pahami itu sanggup mengucapkannya tanpa rasa bersalah.
Padahal, bukan itu maksudnya. Perempuan itu sama sekali tidak berniat membatasi atau memotong ruang tumbuh laki-laki yang disayanginya. Ia bukan tipe yang akan melarang seseorang berkembang dalam dunianya sendiri. Ia tahu benar bahwa setiap orang berhak bertumbuh dalam lingkungannya, menemukan makna di luar hubungan. Tentu saja ia mengerti. Ia hanya berharap, di tengah kesibukan dan tanggung jawab itu, perasaannya tetap diberi tempat yang layak.
Yang menyedihkan, perempuan itu selalu menyesuaikan dirinya. Ia menunggu saat laki-laki itu menyelesaikan semua kegiatanya-kuliah, organisasi, bahkan menempuh perjalanan jauh dari dua kota. Namun ketika ada waktu luang, bukan dia yang dipilih, melainkan teman-teman yang mengisi hari-harinya.
Kecemburuan yang dirasakan perempuan itu bukan muncul tanpa alasan—ia tahu betul dari mana akarnya. Laki-laki itu pernah bercerita bahwa mantan kekasihnya berselingkuh. Dan ia pun, dalam kisah hidupnya sendiri, pernah dikhianati oleh temannya sendiri. Maka ketika foto. Foto bersama seorang perempuan yang jelas juga merupakan temannya, luka-luka lama itu kembali terbuka.
Ia pernah mengatakan bahwa ia tak keberatan jika laki-laki itu berfoto dengan lawan jenis, selama memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Tapi foto itu? Tidak lebih dari sekadar hiburan—"for fun" katanya. Dan bukankah dulu, ketika pertama kali mendekatinya, laki-laki itu juga menggunakan alasan yang sama? For fun.
Maka wajar jika pikirannya mulai menyusun kemungkinan. Bukan tidak mungkin ia juga melakukan hal serupa. Jika dulu ia dikhianati oleh temannya sendiri, mengapa tidak dengan cara yang sama kali ini? Jika hubungan ini dulu dimulai tanpa keseriusan, mungkinkah hal serupa kini terulang dengan orang yang berbeda? Semua ketakutan itu sangat masuk akal.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah foto itu, melainkan kenyataan bahwa tak ada satu pun dari ketakutannya yang didengarkan. Ia tidak diyakinkan, tidak juga diberi rasa aman. Yang ia harapkan hanyalah kejujuran dan perlindungan—bukan pembelaan diri yang mengabaikan perasaannya.
Pada akhirnya, perempuan itu sampai pada satu kesadaran yang tak bisa lagi ia abaikan: bahwa dirinya tidak pantas diperlakukan dengan kasar, apalagi diabaikan tanpa penghargaan sedikit pun. Setelah segala upaya yang ia lakukan—menerima, memahami, dan bertahan—ia memutuskan untuk berhenti. Ia memilih untuk melepaskan, membiarkan mereka menempuh jalan masing-masing.
Begitulah kisah cintanya berakhir. Bukan karena kehabisan rasa, melainkan karena ia akhirnya belajar menghargai dirinya sendiri.
Ia meninggalkannya, meski dihantui rasa bersalah hingga hari ini. Ia pernah berjanji akan menemani, tapi ia tidak menepatinya. Janji, baginya, adalah hutang.
Ia sempat mencoba menghubunginya kembali, berharap ada penyelesaian. Namun tak ada lagi sambutan hangat. Mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan posisinya. Padahal, dulu laki-laki itu berkata, “Kalau butuh aku, cari saja.” Nyatanya, itu hanya sekadar omong kosong.
Perempuan itu mengirimkan pesan panjang—terpanjang yang pernah ia kirimkan dalam hidupnya. Sebuah penutup. Tapi karena takut akan balasannya, ia memilih memblokir kontak itu. Hanya sementara. Kini sudah ia buka kembali. Tapi ia berharap tak ada balasan. Karena ia telah berjanji, tidak akan mengganggu laki-laki itu lagi.
Kini, ia tahu laki-laki itu menjalani hidupnya dengan baik. Seolah tak ada yang pernah terjadi. Sementara dirinya masih terjebak dalam upaya kecil untuk memvalidasi perasaan yang tak pernah dihargai. Ia berusaha merayakan diri sendiri, meskipun dunia tak berpihak padanya.
Ia bersyukur pernah menjadi bagian kecil dari hidup laki-laki itu. Ia senang bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Tapi di titik inilah kisah mereka berakhir.
Ia tetap menyayanginya—meski berkali-kali hatinya dibuat terluka. Ia tahu, mungkin suatu hari nanti ia akan kembali merasakan perih, saat harus menyaksikan laki-laki itu menggenggam tangan perempuan lain. Tapi anehnya, ia tidak membenci kemungkinan itu. Sebaliknya, ia bersyukur. Bersyukur karena setidaknya kini ada seseorang yang menemani laki-laki yang pernah ia cintai sepenuh hati.
Suatu hari, mungkin ia bisa memaafkan dan menerima kembali. Karena setiap orang punya ruang untuk berubah, bukan?
Tapi untuk saat ini, yang bisa ia katakan hanyalah: "I once said I would miss you someday, but the truth is—I miss you every single day."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI