Padahal, bukan itu maksudnya. Perempuan itu sama sekali tidak berniat membatasi atau memotong ruang tumbuh laki-laki yang disayanginya. Ia bukan tipe yang akan melarang seseorang berkembang dalam dunianya sendiri. Ia tahu benar bahwa setiap orang berhak bertumbuh dalam lingkungannya, menemukan makna di luar hubungan. Tentu saja ia mengerti. Ia hanya berharap, di tengah kesibukan dan tanggung jawab itu, perasaannya tetap diberi tempat yang layak.
Yang menyedihkan, perempuan itu selalu menyesuaikan dirinya. Ia menunggu saat laki-laki itu menyelesaikan semua kegiatanya-kuliah, organisasi, bahkan menempuh perjalanan jauh dari dua kota. Namun ketika ada waktu luang, bukan dia yang dipilih, melainkan teman-teman yang mengisi hari-harinya.
Kecemburuan yang dirasakan perempuan itu bukan muncul tanpa alasan—ia tahu betul dari mana akarnya. Laki-laki itu pernah bercerita bahwa mantan kekasihnya berselingkuh. Dan ia pun, dalam kisah hidupnya sendiri, pernah dikhianati oleh temannya sendiri. Maka ketika foto. Foto bersama seorang perempuan yang jelas juga merupakan temannya, luka-luka lama itu kembali terbuka.
Ia pernah mengatakan bahwa ia tak keberatan jika laki-laki itu berfoto dengan lawan jenis, selama memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Tapi foto itu? Tidak lebih dari sekadar hiburan—"for fun" katanya. Dan bukankah dulu, ketika pertama kali mendekatinya, laki-laki itu juga menggunakan alasan yang sama? For fun.
Maka wajar jika pikirannya mulai menyusun kemungkinan. Bukan tidak mungkin ia juga melakukan hal serupa. Jika dulu ia dikhianati oleh temannya sendiri, mengapa tidak dengan cara yang sama kali ini? Jika hubungan ini dulu dimulai tanpa keseriusan, mungkinkah hal serupa kini terulang dengan orang yang berbeda? Semua ketakutan itu sangat masuk akal.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah foto itu, melainkan kenyataan bahwa tak ada satu pun dari ketakutannya yang didengarkan. Ia tidak diyakinkan, tidak juga diberi rasa aman. Yang ia harapkan hanyalah kejujuran dan perlindungan—bukan pembelaan diri yang mengabaikan perasaannya.
Pada akhirnya, perempuan itu sampai pada satu kesadaran yang tak bisa lagi ia abaikan: bahwa dirinya tidak pantas diperlakukan dengan kasar, apalagi diabaikan tanpa penghargaan sedikit pun. Setelah segala upaya yang ia lakukan—menerima, memahami, dan bertahan—ia memutuskan untuk berhenti. Ia memilih untuk melepaskan, membiarkan mereka menempuh jalan masing-masing.
Begitulah kisah cintanya berakhir. Bukan karena kehabisan rasa, melainkan karena ia akhirnya belajar menghargai dirinya sendiri.
Ia meninggalkannya, meski dihantui rasa bersalah hingga hari ini. Ia pernah berjanji akan menemani, tapi ia tidak menepatinya. Janji, baginya, adalah hutang.
Ia sempat mencoba menghubunginya kembali, berharap ada penyelesaian. Namun tak ada lagi sambutan hangat. Mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan posisinya. Padahal, dulu laki-laki itu berkata, “Kalau butuh aku, cari saja.” Nyatanya, itu hanya sekadar omong kosong.
Perempuan itu mengirimkan pesan panjang—terpanjang yang pernah ia kirimkan dalam hidupnya. Sebuah penutup. Tapi karena takut akan balasannya, ia memilih memblokir kontak itu. Hanya sementara. Kini sudah ia buka kembali. Tapi ia berharap tak ada balasan. Karena ia telah berjanji, tidak akan mengganggu laki-laki itu lagi.