Mohon tunggu...
Anisa Qotrunnada
Anisa Qotrunnada Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga 2021

Kecintaannya terhadap literasi mendorongnya untuk menuangkan isi pikirannya dalam berbagai artikel. Dengan berbagai perspektif yang ia miliki, penulis berusaha memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan sosial, serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi keseharian kita.

Selanjutnya

Tutup

Roman

What Am I to Say When You Had the Best of Me

27 Juli 2025   17:07 Diperbarui: 8 September 2025   21:23 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua orang mampu meminta maaf dengan tulus. Dalam banyak hubungan, mengucapkan kata "maaf" bukan sekadar soal menyadari kesalahan, tapi juga soal keberanian untuk mengakui luka yang telah ditimbulkan, tanpa mencoba membenarkan diri. Di balik satu kata sederhana itu, tersimpan banyak emosi yang kompleks: penyesalan, kerendahan hati, dan keinginan untuk memperbaiki. Dan sering kali, permintaan maaf justru lahir di titik paling sunyi-saat seseorang akhirnya menyadari bahwa yang paling menyakitkan bukanlah perpisahan, melainkan kehilangan dirinya sendiri dalam proses bertahan yang terlalu lama.

Ada kalanya seseorang menggenggam sesuatu yang dulunya penuh makna, tapi kini perlahan berubah menjadi luka. Ia tetap bertahan, meski luka-luka kecil terus tumbuh tanpa disadari. Ia mulai kehilangan arah, bukan karena tidak tahu ke mana harus melangkah, melainkan karena kelelahan telah menghabisi semangatnya. Perasaan hampa menjadi teman sehari-hari, dan apatisme tumbuh dari luka yang terlalu lama disimpan rapat-rapat. Dalam diam, ia masih menyimpan satu hal-bukan harapan untuk kembali, tapi keinginan untuk memahami kebenaran. Mengapa semua ini terjadi? Mengapa sesuatu yang dulu begitu hangat kini hanya menyisakan dingin dan perih?

Di tengah pertanyaan-pertanyaan itu, hadir kesadaran bahwa ada saatnya seseorang perlu berhenti. Ia tahu ia tidak ingin pergi, tetapi ia sadar bahwa tetap tinggal hanya akan membuatnya semakin terluka. Bukan karena ia tak lagi mencintai, melainkan karena ia mulai memahami bahwa dirinya pun layak diselamatkan. Dan dalam langkah mundur itu, ia tidak membawa dendam, hanya sisa-sisa keberanian untuk berkata jujur-terutama pada dirinya sendiri.

Ia tahu ia telah banyak berubah. Mungkin menjadi seseorang yang bahkan tak lagi ia kenali. Ia mengakui bahwa hubungan yang dijalaninya perlahan bergeser ke arah yang salah, dan ia pun turut berperan di dalamnya. Namun bukan pembenaran yang ia cari. Ia tidak sedang ingin menang. Ia hanya ingin jujur. Ia hanya ingin mengatakan bahwa ia menyesal.

Ungkapan "Aku akan memperbaiki semuanya" atau "Jika aku bisa memulai dari awal, akan kubuang semua kesalahan itu" bukanlah janji kosong. Itu adalah ungkapan kerinduan akan kesempatan kedua. Bukan untuk kembali pada masa lalu, tetapi untuk menciptakan versi baru dari dirinya yang lebih layak untuk dicintai. Ia tahu bahwa waktu tak bisa diulang, dan kesalahan tak bisa dihapus begitu saja. Tapi ia tetap ingin mencoba, karena orang yang ia sakiti itu terlalu berarti untuk dibiarkan pergi tanpa di perjuangkan.

Ia hanya ingin mengakui kesalahannya dengan "tangan di dada", sebuah simbol dari ketulusan-tanda bahwa permintaan maaf ini bukan sekadar kata-kata, tetapi lahir dari hati yang benar-benar menyesal. Ia tahu mungkin segalanya sudah terlambat. Ini adalah upaya terakhir untuk menyampaikan bahwa ada bagian dari dirinya yang benar-benar ingin berubah. Dan bahwa cinta, meski salah arah, masih menyimpan sisa keberanian untuk memperbaiki.

Mengakui kelemahan bukan hal yang mudah. Kadang kita hanya mampu berbisik lirih dalam hati, berharap ada yang mendengar doa kita di tengah hening yang menggema. Rasa bersalah dan keraguan datang silih berganti-apakah ini semua salahku? Apakah aku yang terlalu lemah?, terlalu berharap? Tapi manusiawi rasanya untuk bingung, untuk merasa tersesat. Bahkan ketika kita ingin percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, ada malam-malam di mana semuanya terasa gelap, kosong, dan menyakitkan.

Namun, justru di situlah letak kekuatannya. Ketika seseorang memilih untuk pergi, bukan karena berhenti mencintai, tetapi karena mulai mencintai dirinya sendiri. Melepaskan, pada akhirnya, bukan tentang berbalik arah dan melupakan semuanya. Ini adalah bentuk pendewasaan untuk berdamai dengan luka, dengan kenangan, dengan harapan yang pernah tumbuh. Karena tidak semua yang rusak harus diperbaiki, dan tidak semua yang jatuh harus dipungut kembali. Ada saatnya membiarkan segalanya tetap di tempatnya, agar kita bisa melangkah dengan lebih ringan.

Dan melepaskan bukan berarti menyerah. Ia adalah bentuk keberanian paling sunyi-dan paling jujur. Dalam ketulusan itulah, seseorang mungkin bisa menunjukkan sisi terbaik dari dirinya. Meski tak sempat terucap, meski hanya bisa dikenang dalam hati. Karena sering kali, bagian terbaik dari diri kita justru tersembunyi dalam hal-hal yang tak pernah sempat untuk kita katakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun