Mohon tunggu...
Den kiki Sunardi SH
Den kiki Sunardi SH Mohon Tunggu... Ide Penuntun

Bermain gitar akustik, Bernyanyi, Membaca, Sepakbola, Artwork, puisi, legal opinion

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ironi Tragis Guru Honorer, Pilar Rapuh Pendidikan Indonesia

23 Juni 2025   10:50 Diperbarui: 23 Juni 2025   10:50 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan:

Di tengah gembar-gembor pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dan cita-cita "Indonesia Emas," realitas pilu guru honorer adalah paradoks yang menyayat hati. Mereka, yang secara de facto menjalankan roda pendidikan di garda terdepan, justru diposisikan sebagai pekerja kelas dua, bahkan kelas tiga, dalam struktur ketenagakerjaan dan kesejahteraan. Kondisi ini bukan sekadar ketidakadilan individu, melainkan cerminan kegagalan sistemik negara dalam menghargai investasi paling fundamental: pendidikan.

1. Eksploitasi Terselubung dan Jerat Kemiskinan Sistemik:

  • Gaji Anomali dan Absurd: Gaji Rp 250.000 per bulan bukanlah "kurang," melainkan "absurd" dan "tidak manusiawi." Ini merupakan bentuk eksploitasi terang-terangan yang dibalut label "honorer." Gaji ini bahkan jauh di bawah upah buruh serabutan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup layak, apalagi di tengah inflasi yang tak terkendali. Ini bukan kemiskinan personal, melainkan kemiskinan yang dipaksakan oleh sistem.

  • Ketiadaan Jaminan Sosial: Memiskinkan di Masa Depan: Tanpa jaminan kesehatan, pensiun, atau tunjangan lain, guru honorer bukan hanya menderita saat ini, tetapi juga dipastikan akan menghadapi kesulitan finansial yang parah di masa tua. Negara, yang seharusnya melindungi warganya, justru membiarkan satu kelompok profesi vital dalam kondisi rentan sepetak tanpa jaring pengaman sosial.

  • Paradoks Pembangunan: Bagaimana mungkin negara bercita-cita maju ketika pilar utama pembangun SDM-nya justru terjerembap dalam jurang kemiskinan struktural? Ini adalah inkonsistensi kebijakan yang fatal.

2. Status Abu-Abu: Legalitas Semu, Kontribusi Nyata:

  • Formalitas Tanpa Substansi: Status "honorer" adalah formalitas legalistik yang melegitimasi gaji murah dan ketiadaan hak. Mereka diakui sebagai pengajar, memikul tanggung jawab penuh, namun tanpa pengakuan hak-hak layaknya pekerja profesional.

  • Dilema Moralis dan Administratif: Sekolah dan pemerintah daerah "membutuhkan" guru honorer untuk menutup defisit jumlah guru PNS, namun pada saat yang sama mereka "tidak mampu" atau "tidak mau" memberikan kompensasi dan status yang layak. Ini adalah lingkaran setan yang merugikan guru dan pada akhirnya, siswa.

  • Jalur Rekrutmen yang Menyesatkan: Proses P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang diharapkan menjadi solusi, seringkali justru menjadi labirin birokrasi dan kompetisi yang berat, dengan kuota terbatas, menyisakan ribuan guru honorer dalam ketidakpastian abadi setelah belasan bahkan puluhan tahun mengabdi.

3. Fragmentasi Profesionalisme: Menggerus Marwah Profesi Guru:

  • Ganda Standar Kualitas: Tuntutan profesionalisme (membuat RPP, evaluasi, mengikuti pelatihan) diberlakukan sama, bahkan terkadang lebih berat, namun penghargaan dan fasilitas jauh berbeda. Ini menciptakan standar ganda yang merusak marwah profesi guru secara keseluruhan.

  • De-motivasi dan Burnout yang Disamarkan: Dedikasi seringkali disalahartikan sebagai "panggilan jiwa" yang mengharuskan pengorbanan tanpa batas. Padahal, kondisi finansial yang memprihatinkan dapat memicu burnout kronis dan demotivasi tersembunyi, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kualitas pengajaran di kelas.

  • Pendidikan Sebagai Pelarian, Bukan Pilihan Utama: Kondisi honorer yang tidak menjanjikan ini membuat profesi guru (terutama di sektor publik) menjadi pilihan terakhir bagi banyak lulusan terbaik, bukan pilihan utama yang diminati dan dihargai. Ini mengancam kualitas input calon guru di masa depan.

4. Ancaman Nyata Terhadap Kualitas Pendidikan Nasional:

  • Fokus Terpecah: Antara Mengajar dan Bertahan Hidup: Sulit bagi guru untuk sepenuhnya fokus pada inovasi pengajaran, bimbingan siswa, atau pengembangan diri jika pikiran mereka terus terbebani oleh urusan dapur dan biaya hidup.

  • Siklus Kemiskinan Pengetahuan: Jika guru, sebagai penyampai ilmu, hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan akses pengembangan diri, bagaimana mereka bisa optimal dalam memperkaya pengetahuan dan keterampilan siswa? Ini menciptakan siklus kemiskinan pengetahuan yang berulang.

  • Krisis Kepercayaan Publik: Kebijakan yang membiarkan kondisi guru honorer seperti ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah terhadap pendidikan berkualitas.

Kesimpulan Radikal:

Kondisi guru honorer bukan sekadar "masalah kecil" atau "permasalahan teknis." Ini adalah luka terbuka dalam sistem pendidikan nasional yang secara fundamental menggerogoti keadilan sosial, profesionalisme guru, dan kualitas pendidikan itu sendiri. Negara tidak bisa terus-menerus membangun gedung-gedung megah atau mencanangkan kurikulum baru, jika pada saat yang sama, jantung pendidikannya, yaitu guru honorer, dibiarkan berjuang dalam kondisi yang memiskinkan dan tidak pasti. Solusi harus komprehensif, berani, dan berpihak pada kesejahteraan guru sebagai investasi utama bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun