Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jembatan

20 Mei 2021   17:09 Diperbarui: 20 Mei 2021   17:21 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jembatan Kayu (sumber gambar: pixabay.com)

Jembatan itu bernama Jembatan Kelapa. Jangan heran, jika tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan pohon kelapa. Atau, tak usah berharap melihat bagian terkecil pohon kelapa, semisal tumpukan sabut, batok atau seikat sapu lidi di jembatan itu.

Akan aku ceritakan alasannya kepadamu. Tapi, nanti.

***

Jembatan itu terletak di Desa Tabarenah. Berjarak dua ratus meter dari rumah ibuku. Hampir setiap pagi minggu, aku dan beberapa teman akan berlari menuju jembatan itu. Bukan untuk berolahraga, tapi untuk bermain sekaligus mandi.

Menurut cerita ayahku. Aliran sungai yang terkapar lebar di bawah jembatan itu, merupakan anak sungai. Bapak sungainya adalah Sungai Musi. Jauh di Palembang. Ibu sungainya lautan. Letaknya lebih jauh lagi. Di Lampung! Ini Ayahku yang bilang.

Saat itu, aku tak sempat berpikir atau bertanya, kenapa bapak, ibu dan anak sungai saling berjauhan? Sebab, aku juga belum mengerti perbedaan Palembang dan Lampung. Selain itu, kenapa harus berpikir tentang sungai?

Ayah hanya mengingatkan. Jika bermain di sekitar Jembatan Kelapa, jangan merusak satu bangunan batu terletak di bawah jembatan. Berjarak lima puluh meter dari bibir sungai. Itu adalah Tugu Sejarah. Milik negara, bukan milik daerah.

Aku mematuhi peringatan Ayahku. Di tugu itu memang ada tulisan yang sudah mulai kabur oleh waktu. TUGU PERINGATAN AGRESI MILITER I TAHUN 1947. Aku dan teman-teman hanya menggunakan tugu itu untuk meletakkan baju juga celana. Saat mandi.

Kau pasti mengerti, kalau sekadar menitip baju, apalagi baju anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar, tak akan mampu merusak tugu peringatan itu, kan?

***

Jika kau berpikir, sungai di bawah jembatan kelapa itu tempat pertama kali aku belajar berenang, kau keliru. Sungai itu berarus deras dan berbatu. Mungkin perlu kuberitahu. Saat itu, ada dua tujuan, bersama teman-teman ke sungai itu.

Pertama, bebas bermain air, apalagi jauh dari penglihatan ayah dan ibu. Permainan yang paling kuingat, adalah menyusun bebatuan itu menjadi bendungan-bendungan kecil. Kemudian tertawa, saat bersama-sama menghancurkannya. Seru!

Kedua. Biasanya ini jika sudah bosan bermain, dan sepakat ingin pulang. Aku dan teman-teman akan mengangkat batu-batu itu ke bibir sungai. Ibu-ibu pemecah batu, biasanya menunggu momen itu.

Kemudian berjalan pulang sambil mengunyah sebatang tebu, hasil sangu yang diberikan ibu-ibu pemecah batu itu.

Tujuan kedua itulah yang menyelamatkanku dari omelan ibu. Jika pulang dengan wajah lelah dan mata merah, karena terlalu lama berendam dan menyelam di sungai. sebab, ada beberapa ibu-ibu pemecah batu itu, teman sekolah ibuku. Dulu. Sebelum ada aku.

***

Dari ibu, aku tahu. Saat ibuku masih sekolah dulu, jika Jembatan Kelapa itu terbuat dari bambu. Jika hujan deras dan banjir, mesti berhati-hati melewati. Karena licin dan agar tidak tergelincir.

Cerita ibuku. Ada orang teman sekelas ibuku mati. Ketika itu pagi dan hujan deras. Mereka nekat pergi ke sekolah, karena harus ikut ujian akhir sekolah. Mereka bukan tergelincir, tapi saat melewati jembatan itu, jembatan berbahan bambu hanyut terbawa banjir.

Ibuku selamat, karena jadwal ujiannya siang hari. Akibat jembatan putus karena banjir dan tak ikut ujian akhir. Ibuku dinyatakan putus sekolah.

Aku mengingat kalimat ibuku. Dua temannya itu pahlawan. Setara dengan para pejuang yang meregang nyawa saat mempertahankan Jembatan Kelapa dari serbuan tentara Belanda, saat Agresi Militer I.

Bagiku. Ibu adalah pahlawanku.

***

Aku tak tahu, apakah kisah ini ada di buku sejarah atau di gugel. Awalnya, menurut Ayahku, jembatan yang mengangkangi lebar sungai nyaris dua puluh meter itu, terbuat dari susunan pohon kelapa.

Orang tua-tua dulu sengaja menanam banyak pohon kelapa di sekitar sungai. Siapa pun boleh menikmati buah atau mengambil nira juga daun dan lidinya. Namun, tak boleh ditebang. Kecuali untuk perbaikan jembatan.

Di masa agresi tentara Belanda, jembatan kelapa berulang kali dihancurkan dan dibangun ulang. Tujuannya, untuk menghambat Tentara Belanda. Tak terhitung nyawa yang menemui kematian. saat mempertahankan atau membangun ulang jembatan.

Tak usah kau bertanya. Kenapa dihancurkan jika akan dibangun ulang? Kau harus ingat! Saat itu masa peperangan. Menghancurkan dan membangun adalah strategi perjuangan!

Seiring berjalan waktu, persediaan pohon kelapa jadi terbatas untuk bahan jembatan. Akhirnya diganti bambu. Selain lebih mudah menyusun bambu, walau tak sekokoh pohon kelapa, rumpun bambu lebih cepat tumbuh dari pada pohon kelapa.

Itu alasan penamaan jembatan itu, disebut Jembatan Kelapa.

Awal tahun tujuh puluhan, beberapa tahun sebelum aku lahir. Jembatan itu dibangun dengan kerangka besi. Jalannya sudah beraspal, walau tak mulus. Pembangunan jembatan itu bantuan dari kerajaan Belanda.

Aku mendengar ini dari ibuku, yang tahu kisah itu dari Kepala Desa. Dia teman mengaji ibuku semasa kecil dulu. Tapi, ibu berpesan, "ini rahasia". Hingga kini, aku masih mematuhi pesan ibuku. Menjaga rahasia Jembatan Kelapa itu.

***

Tadi pagi. Dengan nada sedikit riang, temanku menelpon. Memastikan jika Jembatan Kelapa itu hancur akibat banjir. Aku ingat, dalam sepuluh tahun terakhir, sudah dua kali dilakukan perbaikan. Dan, temanku itu memenangkan lelang proyek perbaikan itu.

Barusan, aku baca di koran terbitan lokal. Seorang pakar lingkungan berpendapat. Jembatan itu hancur, akibat perilaku masyarakat di sekitar sungai. Terutama Ibu-ibu pemecah batu setiap hari mengambil batu di sekitar sungai. Itu mengganggu konstruksi dasar jembatan.

Di koran yang sama. Kulihat wajah anak muda yang sangat kukenal. Karena ia seorang aktivis. Fotonya terpampang di bawah judul berita, "Mungkinkah ada Kongkalingkong dalam Proyek Jembatan Kelapa?"

Sore ini, anak muda itu duduk di hadapku di ruang tamu. Tersenyum sambil menyodorkan sebungkus rokok.

"Dua tahun lalu, jembatan itu butuh berapa kubik batu, Pak?"

"Lupa! Pokoknya ribuan!"

"Punya Bapak, bisa siapkan berapa?"

"Belum tahu. Usai Pilkada, izin tambangku belum diperpanjang."

"Itu biar aku yang atur!"

Anak muda itu bergerak ke arah pintu. Mataku menatap potret usang Mendiang Ayah, Ibu dan aku yang masih lugu di bawah tugu. Kenangan empat puluh tahun lalu.

Curup, 20.05.2021

Zaldy Chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

selamat Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun