Pertama, bebas bermain air, apalagi jauh dari penglihatan ayah dan ibu. Permainan yang paling kuingat, adalah menyusun bebatuan itu menjadi bendungan-bendungan kecil. Kemudian tertawa, saat bersama-sama menghancurkannya. Seru!
Kedua. Biasanya ini jika sudah bosan bermain, dan sepakat ingin pulang. Aku dan teman-teman akan mengangkat batu-batu itu ke bibir sungai. Ibu-ibu pemecah batu, biasanya menunggu momen itu.
Kemudian berjalan pulang sambil mengunyah sebatang tebu, hasil sangu yang diberikan ibu-ibu pemecah batu itu.
Tujuan kedua itulah yang menyelamatkanku dari omelan ibu. Jika pulang dengan wajah lelah dan mata merah, karena terlalu lama berendam dan menyelam di sungai. sebab, ada beberapa ibu-ibu pemecah batu itu, teman sekolah ibuku. Dulu. Sebelum ada aku.
***
Dari ibu, aku tahu. Saat ibuku masih sekolah dulu, jika Jembatan Kelapa itu terbuat dari bambu. Jika hujan deras dan banjir, mesti berhati-hati melewati. Karena licin dan agar tidak tergelincir.
Cerita ibuku. Ada orang teman sekelas ibuku mati. Ketika itu pagi dan hujan deras. Mereka nekat pergi ke sekolah, karena harus ikut ujian akhir sekolah. Mereka bukan tergelincir, tapi saat melewati jembatan itu, jembatan berbahan bambu hanyut terbawa banjir.
Ibuku selamat, karena jadwal ujiannya siang hari. Akibat jembatan putus karena banjir dan tak ikut ujian akhir. Ibuku dinyatakan putus sekolah.
Aku mengingat kalimat ibuku. Dua temannya itu pahlawan. Setara dengan para pejuang yang meregang nyawa saat mempertahankan Jembatan Kelapa dari serbuan tentara Belanda, saat Agresi Militer I.
Bagiku. Ibu adalah pahlawanku.
***