Aku tak tahu, apakah kisah ini ada di buku sejarah atau di gugel. Awalnya, menurut Ayahku, jembatan yang mengangkangi lebar sungai nyaris dua puluh meter itu, terbuat dari susunan pohon kelapa.
Orang tua-tua dulu sengaja menanam banyak pohon kelapa di sekitar sungai. Siapa pun boleh menikmati buah atau mengambil nira juga daun dan lidinya. Namun, tak boleh ditebang. Kecuali untuk perbaikan jembatan.
Di masa agresi tentara Belanda, jembatan kelapa berulang kali dihancurkan dan dibangun ulang. Tujuannya, untuk menghambat Tentara Belanda. Tak terhitung nyawa yang menemui kematian. saat mempertahankan atau membangun ulang jembatan.
Tak usah kau bertanya. Kenapa dihancurkan jika akan dibangun ulang? Kau harus ingat! Saat itu masa peperangan. Menghancurkan dan membangun adalah strategi perjuangan!
Seiring berjalan waktu, persediaan pohon kelapa jadi terbatas untuk bahan jembatan. Akhirnya diganti bambu. Selain lebih mudah menyusun bambu, walau tak sekokoh pohon kelapa, rumpun bambu lebih cepat tumbuh dari pada pohon kelapa.
Itu alasan penamaan jembatan itu, disebut Jembatan Kelapa.
Awal tahun tujuh puluhan, beberapa tahun sebelum aku lahir. Jembatan itu dibangun dengan kerangka besi. Jalannya sudah beraspal, walau tak mulus. Pembangunan jembatan itu bantuan dari kerajaan Belanda.
Aku mendengar ini dari ibuku, yang tahu kisah itu dari Kepala Desa. Dia teman mengaji ibuku semasa kecil dulu. Tapi, ibu berpesan, "ini rahasia". Hingga kini, aku masih mematuhi pesan ibuku. Menjaga rahasia Jembatan Kelapa itu.
***
Tadi pagi. Dengan nada sedikit riang, temanku menelpon. Memastikan jika Jembatan Kelapa itu hancur akibat banjir. Aku ingat, dalam sepuluh tahun terakhir, sudah dua kali dilakukan perbaikan. Dan, temanku itu memenangkan lelang proyek perbaikan itu.
Barusan, aku baca di koran terbitan lokal. Seorang pakar lingkungan berpendapat. Jembatan itu hancur, akibat perilaku masyarakat di sekitar sungai. Terutama Ibu-ibu pemecah batu setiap hari mengambil batu di sekitar sungai. Itu mengganggu konstruksi dasar jembatan.