"Ibu mengajari saya untuk mencintai badai."
Kira-kira seperti  itu judul artikel yang ditulis oleh seorang kolumnis berkebangsaan Amerika bernama Ernie Meyer. Aku lupa persis judulnya. Bertahun lalu, artikel itu begitu populer. Karena ditulis pada hari kematian ibunya. Â
Sang kolumnis, bukan menceritakan tentang rasa sedih atau ungkapan kehilangan. Namun menulis tentang satu momen kenangan masa kecilnya dengan sang ibu.
Dikisahkan, umumnya anak kecil akan ketakutan pada kilat atau petir di saat hujan. Meyer kecil biasanya akan berlari sembunyi ke kamar, menutup kedua telinga dengan tubuh gemetar dan getar jantung yang berdegup kencang.
Namun ibunya menghampiri dan mengajaknya ke teras rumah. Memeluknya sambil menceritakan sebab-sebab terjadinya petir, kekuatan dan akibat yang ditimbulkan serta cara paling aman bagi manusia, jika  ada petir tersebut.
ibu mengajari bahwa peristiwa itu tak hanya tentang perbandingan kekuatan alam dan kelemahan manusia. Tapi hak istimewa yang dimiliki manusia dalam kehidupan. Walaupun  ada bahaya di dalamnya.
Pada penutup artikel, Meyer menuliskan. Berkat ibu, ia belajar dan tahu tak mungkin terus menghindar. Tapi mencintai badai dengan segala bahaya yang hadir dalam kehidupannya. Kontroversi, perlawanan, kritikan termasuk peristiwa kematian ibunda, tak lagi menakutkan.
Berkaca dari kisah di atas, dengan kondisi teknologi nuklir yang dahsyatnya dianggap mampu mengalahkan petir alami. Mampukah orangtua menyiapkan bekal bagi anaknya sebuah keberanian?
Banyak ungkapan, keadaan saat ini sangat mengerikan untuk membesarkan anak. Dengan berbagai isu viral yang disajikan. Penculikan, jual beli organ, pelecehan seksual, perundungan dan sebagainya. Apakah dengan alasan itu, kemudian anak tak lagi lahir?