Puisi ini ditulis untuk menggambarkan perasaan kosong di dalam hati. Disaat orang yang ia kasihi, orang yang ia sayangi, orang yang selalu mewarnai hari-harinya dulu perlahan mulai hilang dan pergi. Berusaha memperbaiki segalanya, namun dirasa tak mungkin terjadi.
Kegelisahan sang penulis dituangkan dalam sebuah kalimat "Perlukah aku bangunkan rumah baru? Atau kau telah temukan sendiri yang baru?"
Tidakkah kau ingat pada malam,
Jika kau sudah nyaman pada siang?
Malam yang berikan mu angin dingin.
Gelapnya membawa risau dimana-mana.
Tapi semuanya menjadi indah kala bulan bersinar.
Bintang pun ikut menari di antara awan malam.
Apakah kamu secepat itu melupakannya?
Tidakkah kau ingat pada hujan,
Jika kau sudah nyaman memandang pelangi?
Hujan yang berikan mu ruang,
Dikala hatimu merasa penuh akan gundah.
Dikala pikirmu terasa penuh akan gulana.
Tapi semuanya berhasil kau tuang di antara derainya.
Guntur pun dengan tegas menyembunyikan isak tangisÂ
Apakah kamu secepat itu melupakannya?
Perihal memori malam saat siang,
Atau dekapan hujan saat kau nampak pelangi,
Apakah kamu tidak pernah merindukannya?
Andai saja kamu tau nada mereka,
Bersahutan berusaha menyita perhatianmu lagi.
Malam tak lagi jadi tempatmu bersimpuh.
Hujan tak lagi jadi tempatmu mengeluh.
Tapi keduanya masih tetap hadir jika kau tau.
Menunggu kau datang kembali saat kau mau.
Aku tidak tau apakah kau lupa atau baik saja.
Aku tidak tau apakah kau benar-benar acuh.
Memikirkannya saja membuat hatiku bergetar.
Kini bukan engkau yang risau,
Namun, aku yang semakin resah.
Perlukah aku bangunkan rumah baru?
Atau kau telah temukan sendiri yang baru?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI