Pagi 10 September 2025 menjadi hari duka bagi dunia konservasi. Seekor anak gajah sumatera berusia dua tahun bernama Kalistha Lestari, atau akrab dipanggil Tari, ditemukan mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Pawang yang hendak memindahkan induknya, Lisa, dikejutkan dengan pemandangan memilukan: Tari sudah tergeletak tak bernyawa. Padahal, sehari sebelumnya, Tari masih terlihat sehat.
Kepala TNTN, Heru Sutmantoro, memastikan tidak ada tanda kekerasan pada tubuh Tari. Hanya perutnya sedikit membesar. Sampel organ pun segera dikirim ke Bogor untuk mengetahui penyebab kematiannya, apakah keracunan atau sakit.
Kini, dari delapan gajah yang menghuni kawasan flying squad, hanya tersisa tujuh.
Tari, Ikon yang Terlalu Cepat Pergi
Bagi banyak orang, Tari bukan sekadar anak gajah. Ia adalah simbol harapan, ikon pelestarian, dan wajah manis konservasi gajah sumatera di Riau. Kehadirannya sering menghiasi media sosial TNTN, mengundang senyum, dan membuat masyarakat merasa dekat dengan satwa liar yang seharusnya bebas di hutan.
Maka, kematiannya bukan hanya kehilangan seekor gajah, melainkan hilangnya sebuah simbol. Tari menjadi pengingat pahit bahwa satwa liar tetaplah makhluk rapuh jika jauh dari habitat aslinya.
“Peristiwa ini akan menjadi pengingat bahwa gajah memiliki kemungkinan hidup yang lebih layak ketika berada di hutan,” ujar Annisa Rahmawati, Senior Wildlife Campaigner Geopix.
Krisis Satwa Liar yang Nyata
Kematian Tari membuka tabir persoalan besar: strategi konservasi gajah sumatera. Selama ini, banyak gajah yang berakhir dalam pemeliharaan setelah diselamatkan. Namun, pola ini tidak selalu menjamin kesejahteraan satwa.
Kontak fisik berlebihan antara manusia dan gajah, sebagaimana diingatkan Annisa, bisa meningkatkan risiko penyakit zoonosis yang berbahaya bagi manusia maupun satwa. Gajah bukan hewan jinak. Mereka butuh ruang luas, hutan utuh, dan interaksi alami dengan kawanan.
Geopix menekankan perlunya perubahan paradigma: dari pemeliharaan menuju rehabilitasi dan pelepasliaran. Beberapa negara seperti Laos dan Sri Lanka sudah melakukannya, memulihkan hutan sekaligus menjadikannya rumah baru bagi gajah yang diselamatkan.
Indonesia pun perlu melangkah ke arah itu.
Dari Tari untuk Masa Depan Gajah Sumatera
Tari memang sudah pergi. Tetapi, kematiannya seharusnya tidak berlalu begitu saja. Ia adalah alarm keras bagi kita semua; pemerintah, LSM, dan masyarakat, bahwa konservasi gajah tidak cukup berhenti pada penyelamatan.
Diperlukan strategi berkelanjutan yang mengutamakan:
- Perlindungan habitat alami dari deforestasi dan perambahan.
- Rehabilitasi gajah yang pernah diselamatkan agar siap kembali ke hutan.
- Pelepasliaran ke habitat yang pulih, bukan sekadar pemeliharaan jangka panjang.
- Kesadaran publik bahwa satwa liar bukanlah tontonan, tetapi bagian dari ekosistem.
Tari mungkin hanya seekor gajah kecil, tetapi kisahnya telah menyentuh hati banyak orang. Ia bukan sekadar ikon konservasi, melainkan simbol pentingnya perubahan cara kita menjaga satwa.
Wildlife in Crisis
Kita sering menganggap satwa karismatik seperti gajah, harimau, dan orangutan akan selalu ada. Padahal, kenyataannya mereka berada di tepi jurang kepunahan. Tari telah pergi, tetapi pesannya tertinggal: tanpa hutan yang terjaga, tanpa strategi konservasi yang berbasis habitat, masa depan gajah sumatera akan terus terancam.
Kematian Tari adalah kehilangan, tapi juga momentum. Momentum untuk bertanya: apakah kita hanya akan berduka setiap kali seekor satwa ikonik mati, atau berani mengubah arah agar tragedi serupa tidak terulang?
Wildlife in crisis. Dan kita sedang berpacu dengan waktu. Salam Lestari! (Yy).
Rest in Love, Tari...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI