Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Wildlife in Crisis: Tari, Anak Gajah yang Pergi Terlalu Cepat

12 September 2025   13:00 Diperbarui: 12 September 2025   12:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi 10 September 2025 menjadi hari duka bagi dunia konservasi. Seekor anak gajah sumatera berusia dua tahun bernama Kalistha Lestari, atau akrab dipanggil Tari, ditemukan mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Pawang yang hendak memindahkan induknya, Lisa, dikejutkan dengan pemandangan memilukan: Tari sudah tergeletak tak bernyawa. Padahal, sehari sebelumnya, Tari masih terlihat sehat. 

Kepala TNTN, Heru Sutmantoro, memastikan tidak ada tanda kekerasan pada tubuh Tari. Hanya perutnya sedikit membesar. Sampel organ pun segera dikirim ke Bogor untuk mengetahui penyebab kematiannya, apakah keracunan atau sakit.

Kini, dari delapan gajah yang menghuni kawasan flying squad, hanya tersisa tujuh.

Tari, Ikon yang Terlalu Cepat Pergi

Bagi banyak orang, Tari bukan sekadar anak gajah. Ia adalah simbol harapan, ikon pelestarian, dan wajah manis konservasi gajah sumatera di Riau. Kehadirannya sering menghiasi media sosial TNTN, mengundang senyum, dan membuat masyarakat merasa dekat dengan satwa liar yang seharusnya bebas di hutan.

Maka, kematiannya bukan hanya kehilangan seekor gajah, melainkan hilangnya sebuah simbol. Tari menjadi pengingat pahit bahwa satwa liar tetaplah makhluk rapuh jika jauh dari habitat aslinya.

“Peristiwa ini akan menjadi pengingat bahwa gajah memiliki kemungkinan hidup yang lebih layak ketika berada di hutan,” ujar Annisa Rahmawati, Senior Wildlife Campaigner Geopix.

Krisis Satwa Liar yang Nyata

Kematian Tari membuka tabir persoalan besar: strategi konservasi gajah sumatera. Selama ini, banyak gajah yang berakhir dalam pemeliharaan setelah diselamatkan. Namun, pola ini tidak selalu menjamin kesejahteraan satwa.

Kontak fisik berlebihan antara manusia dan gajah, sebagaimana diingatkan Annisa, bisa meningkatkan risiko penyakit zoonosis yang berbahaya bagi manusia maupun satwa. Gajah bukan hewan jinak. Mereka butuh ruang luas, hutan utuh, dan interaksi alami dengan kawanan.

Geopix menekankan perlunya perubahan paradigma: dari pemeliharaan menuju rehabilitasi dan pelepasliaran. Beberapa negara seperti Laos dan Sri Lanka sudah melakukannya, memulihkan hutan sekaligus menjadikannya rumah baru bagi gajah yang diselamatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun