Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hati Perempuan (Bagian 3: Mereguk Sisa Cinta)

27 Februari 2020   08:52 Diperbarui: 27 Februari 2020   09:00 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepuluh  Pebruari dua ribu tujuh adalah hari Sabtu tapi tak ada sesuatu yang ditunggu. Khalisa berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan musik dari laptopnya. Lagu Umbrella yang dibawakan Rihanna mengingatkan Khalisa pada Gea, anaknya yang telah beranjak remaja. Gea sangat menyukai lagu itu dan menyanyikannya hampir setiap saat. 

Ketika lagu itu berganti ke lagu Wind of Change dari  The Scorpions tiba-tiba ia tersentak oleh ingatannya tentang Dion the lawyer. Lagu itulah yang samar-samar terdengar pada pertemuan terakhirnya dengan Dion di teras rumahnya beberapa bulan yang lalu. Lelaki yang tatapan matanya selalu berbinar itu menyampaikan kabar akan ke Makasar sekitar  sebulan. Ia akan menangani kasus tanah yang melibatkan banyak pejabat pemerintah.

Entah sudah berapa bulan Khalisa tak menjalin komunikasi dengan lelaki yang hatinya penuh luka itu. Terakhir kali ketika Dion mengirim SMS mengisyaratkan kalau ia tinggal di sekitar Jawa Barat. Khalisa tak berusaha mendapatkan jawaban pasti tentang keberadaannya. 

Khalisa memang pantang mendesak apalagi  memaksa seseorang untuk mengaku  atau berkata jujur jika orang itu tak ingin melakukannya. Dion pun akhirnya menghilang entah ke mana. Bagaikan burung yang bebas terbang ke sana ke mari ia tak pernah menemukan sarang yang tepat untuk kembali. Saat letih atau lelah di dahan manapun ia bisa hinggap sesaat lalu terbang lagi menantang teriknya matahari dan dinginnya hujan.

Handphone  yang tergeletak di sampingnya bergetar beberapa lama tanpa disadarinya. Segera ia meraihnya, mengamati layarnya sekilas kemudian matanya menatap tak percaya mengetahui Dion yang menelponnya. Sejurus lamanya ia ragu antara menerima atau mengabaikan saja.  Setelah mempertimbangkan beberapa saat Khalisa akhirnya menerimanya.

         "Hai apa kabar Lisa? Lagi di mana sekarang?" suara Dion terdengar ringan seolah tak pernah terjadi perpisahan yang lama di antara mereka.

        "Aku di Bogor sekarang, kamu di mana? Menghilang sekian lama tanpa kabar berita," Khalisa menekan rasa kecewanya dengan mencoba terkesan ramah.

         "Maaf, aku sibuk sekali akhir-akhir ini. Sekarang aku di Jakarta. Aku ingin sekali ketemu kamu.  Kapan kita bisa ketemu?" Dion sungguh-sungguh berharap.

         "Datang saja ke Bogor sore ini !"  pinta Khalisa tanpa tekanan.

        "Tolong carikan hotel . Aku akan sampai di Bogor sekitar jam lima ."

       "Oke, nanti kukabari."

Khalisa seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dion menghubunginya lagi tanpa rasa bersalah. Ia dengan mudah bisa datang dan pergi kapan saja ia mau karena Khalisa selalu menerimanya kembali dengan sepenuh hati. 

Benar kata Trinita, ia akan selalu membuka hatinya untuk lelaki yang hatinya pernah terluka begitu dalam itu. Ia ragu menyebutnya sebagai kekuatan cinta karena teringat pada kata-kata Edward yang memberikan label kepadanya sebagai pengayom untuk menunjukkan superioritas atas laki-laki.

Dion datang kepadanya dengan setumpuk luka yang tak kunjung sembuh hingga kini. Lima tahun pernikahannya bagaikan drama yang sempurna dimainkan bersama istrinya. Semua orang terkesan pada keharmonisan yang ditampilkan mereka berdua di hadapan siapa saja. Mereka tak sungkan mengumbar kemesraan di depan banyak orang. 

Bergandengan tangan, berpelukan, saling menatap mesra, saling  melontarkan canda dan selalu saling panggil dengan ucapan sayang. Mereka kerap berangkat dan pulang kerja bersama. Wajah sumringah seolah menjadi pertanda kehidupan pernikahan mereka bahagia. Namun siapa yang tahu malam-malam panjang terlewat begitu saja. Anisa tertidur dengan linangan air mata sementara Dion berusaha keras meredakan bara di hatinya.

Berulangkali istrinya gagal melayani. Wajah cantik dan otak cemerlang  ternyata tak berarti apa-apa  jika menganiaya perasaan suami sekian lama. Anisa selalu berdalih merasa tidak nyaman tinggal serumah  dengan mertua. Dion mengajaknya berlibur dan menyewa vila tapi tak juga membawa perubahan. Kini makin parah lagi dengan halusinasi Anisa yang seolah melihat raksasa bermata merah pada diri  suaminya setiap kali berusaha  melakukan penetrasi. 

Anisa hanya menikmati cumbuannya tetapi begitu intensitas permainan meningkat ke penyatuan diri membuat perempuan itu ketakutan setengah mati. Dion tak pernah tahu apa yang tersembunyi jauh di hati istrinya. Beberapa teman yang mendengar kisahnya menduga istrinya mengalami trauma di masa kecil atau mungkin mendapatkan pendidikan seks yang salah. 

Pengetahuan yang salah itu membuatnya menabukan seks karena menganggapnya bernilai rendah. Mungkin juga ia membayangkan rasa sakit yang terjadi sesudahnya. Malah ada  juga yang berteori kalau bisa saja Anisa sudah tidak perawan sehingga untuk menyembunyikan keadaannya selalu menolak melayani Dion. 

Sebagian yang lain mengira Anisa terobsesi oleh pribadi neurotis yang memahami seks sebagai sarana untuk menaklukkan orang lain atau pendewaan diri sendiri. Karena itulah ia tak ingin menyerahkan dirinya kepada Dion. Ah, entahlah mana yang benar, sudah beberapa kali Dion membujuknya agar Anisa mau diajak berkonsultasi ke psikiater tetapi dengan keras menolaknya.  

        "Cinta tidak selalu harus diungkapkan lewat  hubungan seksual. " kilah Anisa.

        "Cinta dalam perkawinan memiliki dua jalan untuk diwujudkan. Yang sifatnya langgeng atau batiniah adalah melalui komitmen untuk saling setia, memberi perhatian, meneguhkan, membantu, berbagi suka dan duka, menjadi partner atau sahabat. Yang sifatnya fisik atau temporal adalah melalui hubungan seks. Itulah dua jalan cinta dalam hidup perkawinan,"  Dion mengulasnya panjang lebar.

        "Lalu apa arah dan tujuan hubungan seks?" dengan naif Anisa melemparkan pertanyaan itu.

        "Dalam konteks perkawinan hubungan seks memiliki dua aspek yaitu untuk keturunan dan untuk mengungkapkan cinta personal," terang Dion berharap istrinya mau mengerti dan rela melakukan penyerahan diri untuk cinta. "Mungkin kamu mereduksi hubungan seksual sebagai epithymia bukan eros. Hubungan seksual akan membahagiakan jika dilandasi oleh cinta seksual  atau eros dan dan bukannya insting seksual atau epithymia, " lanjutnya masih dengan harapan yang sama namun nampaknya Anisa malah tak ingin lagi membicarakannya setelah Dion mengungkapkan banyak hal tentang  hubungan seksual.

Ketika Anisa memperoleh beasiswa untuk melanjutkan program master di Kanada, Dion yang kala itu adalah dosen di Perguruan Tinggi swasta terkemuka di Yogya memilih meninggalkan pekerjaannya agar bisa menyertai sang istri. Ia masih memendam harapan dan hasrat bercinta yang menggebu. 

Ternyata dalih-dalih Anisa hanyalah apologi atas ketidakrelaannya  menyerahkan diri pada suami. Di negeri asing itu mereka tinggal di apartemen yang tentu saja tak ada gangguan dari siapapun seperti jika tinggal serumah dengan mertua di Yogya. Ternyata Anisa tetap membeku sementara Dion yang berkali-kali ditolak mulai kehilangan gairah menjelang penetrasi. 

Keduanya hanya bisa  bercumbu tanpa diakhiri penyatuan diri. Padahal Dion mendambakan saat-saat ekstasi dalam hubungan seksual, saat ia meninggalkan dunia dan kehilangan diri sendiri. Ia ingin menikmati saat-saat kesedihan yang terpuaskan itu.

Meskipun kesepian adalah bagian dari kondisi manusia yang harus ditanggung seumur hidup, kita tidak bisa hidup sendiri. Atas dasar itu pula Dion mencari pendamping hidup kemudian menikah. Hubungan seks menegaskan kodrat  bahwa kita terarah pada orang lain dan orang lain ada untuk melengkapi kekurangan atau kesepian kita. 

Di sini terjadi proses saling memberikan keseluruhan diri. Ah, sayang sekali, Anisa tak pernah siap secara fisik maupun mental untuk memberikan dirinya. Rupanya Dion harus menanggung kekecewaan berkepanjangan                                                                                    

Jauh sebelum Dion bertemu Khalisa, ia sudah mengisahkan kehidupan pernikahannya  lewat beberapa kali chatting. Waktu itu Dion masih di Kanada bersama Anisa. Khalisa yang kemudian sibuk dengan kuliah pascasarjana hampir saja melupakan Dion ketika menerima SMS di akhir semester pertama. 

Ketika ada kesempatan pulang ke Yogya setelah ujian akhir semester, mereka berjanji untuk bertemu. Dion mengajak Khalisa makan siang di sebuah restoran ikan yang terletak di sekitar Kaliurang. Dari sana mereka bisa menatap  Merapi  begitu jelas.

         "Kenapa kamu nggak bercerai saja?" dengan enteng Khalisa menanggapi kisah yang dituturkan Dion.

         "Aku tak ingin menguatkan anggapan bahwa anak dari pasangan yang bercerai kelak juga akan bercerai, " ucapnya tegas.

         "Hanya itu alasannya?" reaksi Khalisa agak sinis

         "Aku juga tak ingin mempermalukan kedua orangtua Anisa di Singkawang sana. Ibu Anisa meraih predikat Ibu Teladan se-Kalimantan Barat, apa kata orang jika mengetahui salah satu anak si Ibu Teladan ini diceraikan suaminya. "

        "Orang lain hanya penonton dan wajar bila berkomentar sesuka hatinya.  Apakah kamu rela mengorbankan kebahagiaanmu hanya untuk menyenangkan orang lain ?"

Dion memang terkesan kurang tegas untuk mencari solusi bagi masalah yang dihadapinya. Khalisa menyebutnya sebagai lelaki yang menikmati luka yang diciptakannya sendiri. Dion tak pernah marah disebut seperti itu. Hubungannya dengan Khalisa makin lama makin dekat.

Manusia memang memiliki kerinduan akan relasi yang intim untuk mencari rasa aman atau untuk mengisi kekosongan hidup. Dion juga membutuhkan sosok yang bisa menutupi kesepian, kekosongan atau kekurangan dalam dirinya

Setiap kali Khalisa pulang ke Yogya pasti mereka bertemu. Gea pun tidak keberatan melihat ibunya dekat dengan lelaki lain. Apalagi Dion sering membawakan makanan. Pertama datang dengan dua bungkus coklat, kemudian burger, siomay, kebab, pizza dan beberapa jenis makanan kesukaan Gea yang lain. 

Namun lama kelamaan Gea mulai curiga pada kebaikan Dion yang nampak berlebihan. Setelah secara tidak sengaja ia membaca SMS  mesra dari Dion  untuk ibunya, barulah ia sadar akan maksud yang tersembunyi di balik kebaikan lelaki itu.

         "Ternyata semua kebaikannya itu ada pamrihnya ya Ma?"

Khalisa hanya terdiam merasa dihakimi oleh anak semata wayangnya yang baru sebelas tahun umurnya. Hubungannya dengan Dion memang berkembang menjadi semakin dekat dan mesra tetapi di antara mereka tak pernah ada komitmen apapun. Mengalir saja bagaikan air yang melewati bebatuan dan entah akan berakhir di mana setelah menempuh perjalanan panjang dan berliku.

         "Kalau Mama menikah dengan dia aku mau minggat !" teriak Gea melengking tinggi dan berakhir dengan isak tangisnya.

Khalisa mendekap gadis kecilnya itu. "Mama tidak akan meninggalkanmu sendirian. Bagi Mama, kamu yang paling berharga di seluruh muka bumi ini."

          "Mama nggak boleh menikah lagi. Aku malu, Ma,"  ujarnya kemudian.

Janjinya pada Gea tak menghalangi Khalisa untuk tetap berhubungan dengan Dion. Mereka masih sering bertemu dan pergi berdua yang dilakukannya ketika Gea bersekolah. Khalisa dan Dion berjanji bertemu di suatu tempat lalu pergi berdua. 

Jika Dion datang ke rumah Khalisa, ada banyak mata yang melihat dan beritanya akan sampai ke telinga Gea. Salah seorang teman Gea pernah menanyakan apakah Dion akan menjadi Papa barunya. Pertanyaan itu membuat Gea malu karena merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain.

        "Mbak ada acara nggak nanti sore?" Trinita  tiba-tiba telah berada di kamarnya dan serta merta membuyarkan lamunannya.

       "Aku mau ketemu lawyer ," jawabnya datar tanpa ekspresi.

        "Hai... mimpi apa? Datang dari mana dia kok tiba-tiba ke Bogor?" Trinita terkaget-kaget sembari membelalakkan kedua bola matanya yang sinarnya terkesan galak bagi sebagian orang. Dipandanginya wajah Khalisa untuk mencari ekspresi yang menggetarkan seluruh isi alam semesta tapi tak juga ditemukannya. "Mbak nginep ya?" selidiknya.

       "Belum pasti, Ta. Tapi dia minta di-booking-kan hotel. Dia ada kerjaan di Jakarta jadi bisa mampir ke Bogor."

       "Aku juga mau ketemu Mr. Baldi nanti sore," mata Trinita berbinar bahagia dan kegembiraan membuat wajahnya terlihat begitu cerah.

       "Wah, asyik dong, bisa melepas rindu," kata Khalisa kemudian.

       "Nanti kontak-kontak ya Mbak, kalau nginep di sana  bilang ya biar aku bisa ke sana juga, " pesan Trinita setengah berbisik.

        "Ta, kamu mau ngajak dia nginep di hotel di Bogor? "Khalisa menatapnya tajam, "Hotel itu dekat dengan rumah dia. Lagipula Ta, kamu gila ya?  Kamu punya suami dan dia juga punya istri. Jangan ganggu suami orang. Apalagi dia itu laki-laki baik-baik."

Trinita menunduk terdiam. Sudut matanya basah. Cinta dan rindu telah mengharu biru kehidupannya. Ia mulai ragu apakah sedang berhadapan dengan eros atau ephithymia. 

Apakah  dirinya memiliki pribadi schizoid ?  Kini ia melihat seks merupakan kesempatan untuk memperoleh kedekatan dan kehangatan fisik yang menjadi dasar pertahanan hidup. Gambaran kehidupan suram yang akan dijalani dengan suaminya membuatnya lemah tak berdaya. Agar bertahan hidup ia membutuhkan kedekatan dan kehangatan dari pribadi yang kuat seperti Mr. Baldi.

       "Mbak kok nggak takut hamil?" Trinita memandangnya tajam menembus ke hati terdalam ingin menguak rahasia itu.

      "Kamu tahu bagaimana dia kan?" Khalisa mengerling nakal. Trinita mengingat-ingat sesuatu lalu terpingkal. Ya, lelaki itu telah berulangkali mengalami penolakan dari istrinya sehingga melumpuhkan kelelakiannya.

       "Waduh..pusing dong Mbak," ledek Trinita sambil tertawa.

Khalisa ikut tertawa tapi hanya di bibir karena hatinya ikut luka melihat Dion dalam kondisi seperti itu. Sudah tak kurang Dion berusaha. Berkonsultasi dengan psikiater, dokter dan mencoba berbagai ramuan. Entah bagaimana hasilnya kini. Ketika bersamanya Dion masih tak sanggup membuktikan dirinya laki-laki sejati.

Perasaan Khalisa berubah setelah Dion akhirnya bisa mengakhiri pernikahannya dengan Anisa. Kini dirinya dan Dion benar-benar bebas dari ikatan dengan siapapun. Jadi apapun yang akan mereka lakukan tak lagi menyisakan rasa bersalah yang berkepanjangan. Rasa seperti dikejar-kejar dosa yang ancaman hukumannya begitu mengerikan selalu muncul setiap terlintas saat-saat keduanya bercinta. Zina itu perbuatan dosa yang azabnya sangat pedih. 

Kadang ia bertanya-tanya sendiri kenapa penyatuan diri antara dua manusia berbeda jenis itu harus dilegalkan lewat pernikahan. Kalau alasannya adalah menghindari keturunan yang tak punya identitas karena tidak tahu siapa bapaknya, bukankah masih bisa mencegah kehamilan? Barangkali memang manusia tidak selayaknya bersikap seperti hewan yang bisa berganti-ganti pasangan sesukanya. Tidak boleh mengalah pada insting  hewani seperti libido yang hanya akan menurunkan derajat manusia.

Hotel Permata terletak tak jauh dari terminal Baranang Siang. Dari sana terlihat sisi samping  Kebun Raya. Jalan raya di depannya padat oleh angkot biru dan hijau. Orang sering menjuluki Bogor kota sejuta angkot karena pemandangan hijau bukan dari banyaknya tumbuh-tumbuhan tetapi dari angkot yang ratusan jumlahnya dan setiap hari bertebaran di jalan raya

Khalisa  belum mem-booking kamar tetapi sudah memastikan ada banyak kamar kosong di situ. Seperempat jam menunggu membuatnya mulai jemu. Ia membunuh waktu dengan mengirim SMS ke beberapa teman termasuk Trinita yang kini juga sedang menunggu.  Tanpa disadarinya telah berdiri Dion di depannya

       "Kamu bisa menemaniku malam ini?" lirih Dion bertanya.

      "Entahlah," Khalisa ragu.

Dion terperangah. Ia seperti tak lagi mengenali perempuan ini. Khalisa yang dulu selalu menghambur ke pelukannya kini menatapnya tanpa ekspresi. Ke manakah perginya  binar indah penuh gairah cinta itu ? Mata yang menyihirnya agar berada dalam  dunia dongeng penuh cinta. Sudah sedemikian dalamkah luka di hati perempuan ini?

      "Kamu tidak ingin memelukku?" tanya Dion setengah berbisik yang berbalas senyum hampa.

      "Dion, untuk apa kamu ketemu aku ?" pertanyaan Khalisa terasa menusuk.

        Dion terkejut mendenggar pertanyaan seperti itu. Khalisa selalu menerimanya dengan riang setiap kali ia datang tetapi kini kenapa ia seperti meradang.

      "Ada banyak hal yang ingin kukatakan kepadamu," ujarnya dengan suara ditahan.

      "Oke, sekarang kamu check in dulu  lalu kita ke luar cari makan dan di sana kamu bisa mengatakan banyak hal yang ingin kamu katakan kepadaku," sahutnya ketus.

     "Lisa, ada apa denganmu?" sorot mata Dion menghujam tajam. Khalisa mengelak dari sorot itu. "Oke, aku ikuti kamu." Dion terpaksa mengalah karena ia tahu Khalisa bisa saja berubah pikiran nanti.

Setelah berada di dalam kamar Khalisa duduk terdiam di atas tempat tidur.  Dion mengikuti duduk di sebelahnya. Udara yang mengaliri ruangan menyejukkan hati keduanya kini namun entah apa yang terjadi nanti.

      "Apa yang ingin kamu katakan kepadaku?" desaknya.

Dion menghela napas panjang. Ia tak menduga akan secepat ini sampai pada persoalan utama. Tadinya ia berharap bisa bermesraan terlebih dulu. Ingin mendekap erat merasakan kehangatan tubuh Khalisa dan ciuman dahsyatnya yang tak akan pernah didapatkan dari perempuan mana pun

     "Kamu mau makan dulu?" tawarnya mencoba menenangkan Khalisa. "Kita pesan saja ya?"

     "Kita ke luar saja. Inter Nusa ada di sebelah hotel ini," Khalisa beranjak dari sisi tempat tidur diikuti Dion dengan keraguan di wajahnya.

Keduanya melangkah pelan meninggalkan kamar. Berjalan menyusuri trotoar di depan hotel Permata hingga habis di ujungnya. Dari situ sudah terlihat Inter Nusa Building. Hanya dengan beberapa langkah kaki di jalan beraspal keduanya bisa segera mencapai mall itu. Dari luar sudah kelihatan banyak restoran fast food  yang ramai diserbu pembeli. Kebanyakan remaja dan keluarga dengan anak-anak Balita.

      "Mau makan apa?" Dion menatap Khalisa sesaat sebelum memasuki mall itu.

      "Apa sajalah yang penting kenyang. Aku sedang puasa juga jadi sekalian buka puasa."

     "Wah, rajin sekarang ya?" goda Dion sambil mencoba mengusir kecanggungan yang sempat terasa beberapa saat tadi.  Khalisa hanya tersenyum tanpa berkata apapun.

      " Aduh, itu  teman-temanku ," keluhnya setelah mereka masuk mall. Ada Melki yang sedang dikerumuni Dini, Ica , Rinta dan Peggy. Melki baru saja pulang dari Ambon lalu ditodong teman-teman untuk menraktir makan malam. Khalisa dan Trinita tidak bisa bergabung dnegan mereka karena mempunyai acara sendiri.

     "Terus mau makan di mana ?" Dion menanggapi dengan cepat.

      "Cari tempat lain aja yuk ! Kita  naik angkot saja. Makan di Rumah Makan Padang dekat terminal Baranangsiang," usul Khalisa sambil melangkah pelan meninggalkan mall.

       "Tapi keburu nggak waktunya? Sebentar lagi mau adzan Maghrib lho," Dion meminta pertimbangan.

     "Naik angkot nggak sampai lima menit kok,' jawab Khalisa tenang.

Akhirnya mereka pindah ke tempat lain. Angkot berwarna hijau banyak sekali yang melintas di depan Inter Nusa. Semuanya menuju terminal. Tak ada kesulitan sedikit pun untuk mencapai tujuan mereka. Bisa berhenti tepat di seberang rumah makan itu.

Khalisa memesan sop buntut sebagai menu utama buka puasanya. Dion memilih gulai kepala ikan yang kelihatan penuh bumbu dengan kuah kentalnya. Keduanya makan tanpa banyak bicara. Nampaknya memang benar-benar lapar. Suasana rumah makan yang lengang membuatnya bisa menikmati makanan tanpa gangguan.

Di luar lampu-lampu jalanan mulai menyala. Angkot hijau berseliweran tak henti menambah ramai suasana kota Bogor menjelang malam. Khalisa menarik tangan Dion menaiki angkot untuk kembali ke hotelnya. Setelah melewati tugu kujang  dan Kebun Raya tak lama lagi mereka pun sampai. Hotel bercat putih itu tegak di tengah keramaian kota

         "Aku sudah siap untuk mendengarkan apa yang akan kamu katakan," Khalisa menantangnya.

Dion menghindari tatapannya yang dirasakan sebagai pemaksaan. Sejenak ia ragu untuk mulai bicara. Menghadapi Khalisa saat ini amat beda dengan Khalisa yang dikenal sebelumnya. Entah apa yang telah mengubahnya. Tapi ia tak bisa menunda lagi. Sepahit apapun kenyataan itu harus diungkapkan agar Khalisa tak lagi berharap padanya.

         "Maafkan aku Lisa jika apa yang kukatakan nanti akan melukaimu," suaranya setengah berbisik. Berat rasanya harus mengatakan apa yang tersimpan di hatinya.

          "Sudahlah Dion nggak usah  ragu, katakan saja !" potong Khalisa tak sabar.

Dilihatnya lelaki itu bangkit dari duduknya lalu menghampiri Khalisa yang duduk di hadapannya. Tangannya yang kokoh terasa  sedikit memberati bahu namun tak lama karena ia rupanya menyadari ketidaknyamanan yang dirasakan Khalisa sesaat tadi.

         "Ibuku tidak menyetujui hubunganku denganmu," gumamnya dengan tatapan kosong ke dinding-dinding kamar. "Katanya jarak usia kita cukup jauh. Ibu takut kamu tidak lagi bisa mempunyai anak. Padahal Ibuku sangat menginginkan segera mempunyai cucu dariku sebagai anak sulungnya."

        "Sudah kuduga. Itulah alasan yang paling tepat untuk  melepaskan diri dariku," sahut Khalisa ringan. Tak peduli pada ekspresi wajah Dion yang berubah pias dan tertunduk.

         "Maafkan aku, Lisa, " ucapnya lagi seakan kata maaf tak pernah cukup untuk membenarkan semua tindakannya. "Aku tak ingin mengecewakan Ibuku. Sudah terlalu banyak kekecewaan yang dialaminya."

         "Aku bisa mengerti itu," suara Khalisa menahan tangis. Kenapa ia rela dipermainkan lelaki ini? Kekagumannya pada Dion memudar pelan-pelan. Teringat bagaimana ia telah menyerahkan dirinya dengan mudah. Ini sekedar epithymia bukan cinta yang sesungguhnya. Tapi ia lantas meragukannya ketika Dion menyodorkan sebuah pertanyaan.

          "Aku bukan laki-laki yang pantas untukmu Lisa. Hidupku masih belum mapan. Apalagi aku bermasalah juga dengan kemampuan seksualku. Aku belum mampu memuaskan pasanganku," tutur Dion pelan sambil menatap lembut Khalisa . "Apa yang  membuatmu tertarik padaku? Coba kamu pikirkan lagi. Aku tidak layak untuk kamu cintai."

Kelemahanmu dan kekuranganmu itulah yang membuatku ingin terus bersamamu, batin Khalisa. Aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membuatmu kembali merasa berharga dan layak dikagumi sebagai lelaki sejati. Aku ingin menyembuhkan luka-lukamu itu. Di situlah daya tariknya. 

Khalisa sungguh ingin membebaskan Dion dari masalah-masalahnya. Jika ia berhasil melakukannya akan timbul rasa puas yang tak terkatakan. Merasa dibutuhkan dan menjadi orang yang paling berjasa dalam kehidupan Dion. Seakan ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu. Ingin menyelamatkan Bapak yang terus menerus dikalahkan oleh Ibu.

Dominasi Ibu terhadap Bapak membuatnya merasa tak nyaman. Khalisa kasihan pada Bapak tapi sebagai anak kecil ia tak bisa berbuat apa-apa. Dalam pandangannya sebagai anak-anak, Bapak adalah sosok yang hebat dan harus bisa dibanggakan di depan teman-temannya. 

Tapi apa yang dilihatnya setiap hari membuatnya kehilangan kebanggaan itu. Ibu selalu mau menang sendiri. Suka mengatur dan memerintah Bapak. Rumah tangga dikontrol dan dikendalikan sepenuhnya oleh Ibu. Bapak hanya menurut meski kerap mengeluh. Mengalah demi menjaga ketentraman rumah tangganya. 

Khalisa menyimpan keinginan yang begitu kuat untuk bisa mengungguli Ibunya. Ia bertekad akan bersikap lebih baik kepada laki-laki. Ia akan melakukan apa yang tidak bisa dilakukan Ibunya. Tanpa sadar ia telah memposisikan diri sebagai penyelamat bagi lelaki bermasalah. Itu sama dengan yang terjadi pada mantan suaminya dulu. 

Ia memilih seorang laki-laki yang membutuhkan pertolongan dan sepertinya bergantung padanya.Dengan begitu lelaki itu tidak ingin meninggalkannya. Ketergantungan laki-laki itu kepadanya menimbulkan rasa menguasai yang ia butuhkan.

Orang lain melihat Khalisa telah menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik. Ia ingin membangkitkan kembali Bapaknya dan menunjukkan bahwa dirinya merupakan perempuan yang lebih baik dari pada Ibunya. Di balik semua itu, Khalisa memiliki keinginan agar bisa diselamatkan juga. 

Jadi ia mengira setelah berjuang sendirian menghidupi keluarga maka ketika suaminya telah menyelesaikan kuliahnya bisa menggantikan perannya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Sayangnya harapan itu tak pernah terwujud. Adi memilih tetap menjalani peran sebagai orang yang  harus  selalu diselamatkan.  

Mestinya Khalisa menyadari bahwa hubungan mereka tidak sehat ketika pernikahan mereka menginjak tahun ke lima tapi entah kenapa ia bertahan hingga tahun ke sepuluh. Baru disadari apa yang dikatakan Bu Dimeng dulu memang benar. Ad bukan laki-laki yang baik untuk menjadi suaminya.

       "Kenapa diam saja ?" Dion menunggu jawabannya.

       "Entahlah aku nggak tahu," sekenanya Khalisa menjawab karena tak ingin Dion mengetahui alasannya.

Memang semua itu di luar kesadarannya, ia selalu jatuh cinta pada lelaki yang pernah terluka. Laki-laki terluka yang dicintainya itu adalah seseorang yang mempunyai potensi tapi belum digunakan. 

Laki-laki itu juga mewakili Bapaknya  karena telah memaksakan kenangan-kenangan dan semua perasaan pada Bapaknya ia rasakan pula pada lelaki itu. Khalisa melihat dalam diri Dion penonjolan dan refleksi dari Bapaknya. Keduanya saling megikat di dalam alam bawah sadarnya.

       "Jangan-jangan kamu tertarik padaku  karena aku lelaki yang penuh masalah," tebak Dion seperti bisa melihat isi hati Khalisa.

Bayangan ketika mereka gagal bercinta kembali berkelebat. Dion merasa tak berharga dan mulai putus asa pada kekurangannya. Tapi Khalisa memeluknya erat sambil menenangkannya. Ia merasa begitu nyaman berada dalam dekapan Khalisa. Suatu perasaan yang sudah lama tak dirasakannya. 

Sejak ia terpaksa harus berpisah dengan Bapak Ibunya setelah keduanya bercerai. Tinggal bersama Kakek Nenek yang kemudian mengirimnya ke pesantren. Kasih sayang orangtua itu begitu jauh dari jangkauannya. Seolah tak mampu diraihnya hingga kini. 

Meskipun akhirnya Ibu menikah lagi, Bapak pun demikian juga, Dion tak berkesempatan merasakan kasih sayang mereka. Memang kedua pasangan suami istri itu selalu hangat menerima kehadirannya di rumah mereka tapi Dion tak merasakannya sebagai sambutan yang tulus.

Kenapa sekarang ia ingin mengabaikan perhatian dan kasih sayang Khalisa hanya untuk menyenangkan Ibunya? Ia sendiri tak tahu. Apakah ini sebatas epithymia bukan eros yang menggerakkan hasratnya? Dion bingung sendiri mengartikannya.  Bisa jadi dalam eros terdapat unsur epithymia. Eros  adalah dorongan untuk bersatu dengan seseorang yang menariknya. 

Dorongan untuk menyatukan diri dengan orang yang dicintai melibatkan epithymia  seperti ingin memeluk, mencium dan berhubungan seksual. Jadi eros tidak bisa dikaitkan begitu saja dengan objek nafsu seksual. Orang yang jatuh cinta selalu ingin merasakan kesatuan dengan orang yang dicintainya.

Ah, Khalisa yang malang. Sungguh bukan maksudku menuntaskan epithymia, sensual love  atau libido  semata. Kedamaian bersamamu tak ternilai buatku. Tapi aku bukan lelaki yang pantas untuk bersanding denganmu. 

Mengertilah aku dan kamu akan melepaskanku dengan kerelaan hati. Ada banyak laki-laki lain yang lebih baik dariku. Kamu berrhak mendapatkan salah satu dari laki-laki baik itu. Bukan aku lelaki baik yang kamu cari selama ini. Dion terdiam dengan perasaan tak menentu.

        "Dion," panggil Khalisa hampir tak terdengar.

       "Ada apa?" Dion segera menyahut.

       "Kamu menyadarkanku akan tipe cinta yang kujalani. Kelemahanmu itu menjadi daya tarikmu yang mampu mengikatku untuk selalu bersamamu dan menjagamu," Khalisa mengaku juga pada akhirnya.

Sesaat Dion mencoba tersenyum lalu dengan serius ia berkata "Kamu jangan membuang waktumu dan menyia-nyiakan hidupmu untuk mencintai lelaki seperti aku. Apa yang akan kamu dapatkan nanti cuma kecewa dan sakit hati."

       "Lalu aku harus bagaimana?"

        "Kamu mestinya mencari laki-laki kaya tapi  yang galak," sarannya kemudian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Khalisa masih kesulitan membedakan kapan Dion serius dan kapan bercanda.

        "Kenapa begitu?"

       "Dia akan bisa mengarahkan kamu karena kekuasaannya. Uang dan usia yang lebih tua memberinya otoritas untuk mengaturmu."

       "Tapi aku tidak suka diatur laki-laki," bantahnya sengit.

       "Padahal itu baik untukmu. Karena itu selain kaya laki-laki itu juga harus galak supaya kamu tidak berani membantahnya."

       "Hubungan seperti itu akan menyiksaku," ujar Khalisa tanpa minat.

        "Cobalah kamu pikirkan segi positifnya. Laki-laki ditakdirkan untuk menjadi pemimpin tapi kamu tak mau dipimpin. Seorang pemimpin bisa menggunakan segala cara untuk membuat yang dipimpinnya mau mengikuti aturannya. Kamu yang pada dasarnya tak mau diatur membutuhkan pemimpin yang sedikit otoriter. Untuk mengimbangi sikap otoriternya dia haruslah kaya. Uang dan kekuasaan kukira sanggup melunakkan hatimu, Kalau kamu kecewa pada sikapnya yang otoriter kamu bisa bersenang-senang dengan uangnya."

       "Celakanya kalau dia pelit. Aku bakal sengsara sepanjang hidupku," sambung Khalisa tak bersemangat.

Dion tersenyum mencoba memahami Khalisa. Suara lembut pendingin ruangan menyelinap ke gendang telinganya. Menyadarkan keberadaannya dengan perempuan yang dirindukannya. Tapi bagaimana kerinduan untuk menyatukan diri itu bisa mendapatkan sambutan sesuai harapan jika Khalisa kecewa pada sikapnya. 

Dengan susah payah ia meredam dorongan-dorongan epithymia. Bibir merah merekah dan mata yang sesekali mengerjap dengan binar penuh gairah benar-benar menguji keteguhannya sebagai lelaki baik. Lelaki yang tidak akan memperalat cinta untuk tujuan rendah pemuas hasrat seksual sesaat. Ia malu pernah dididik dan tinggal di pesantren lantas melanggar aturan agama demi nafsu rendah hewani. 

Meski Sigmund Freud mengkategorikan eros dalam wujud libido sebagai sesuatu yang konstruktif, ada rasa sesal kenapa dirinya bisa dengan mudah menyerah dikuasai nafsunya.

Hukuman bagi pezina sepertinya menurut Islam adalah dirajam sampai mati. Kenikmatan sesaat itu tak pernah diridhoi olehNya. Maka pernikahan adalah jalan untuk mengubah eros dan epithymia menjadi ibadah. Dion tak ingin membayangkan pernikahan dengan Khalisa. Sebetulnya ia tak pernah menginginkan keterikatan formal lewat legalitas pernikahan. 

Ia sendiri pun tak paham kenapa bisa seperti itu. Barangkali karena pernikahan dengan Anisa hanya meninggalkan luka. Pergulatan batin yang berkepanjangan akhirnya memang memisahkan mereka sebagai pasangan suami istri. Eros tak cukup mempertahankan legalitas hubungan mereka. Terjebak dalam legalitas selama tujuh tahun membuatnya harus berpikir lebih dalam sebelum memutuskan pernikahan lagi.

       "Lisa, kamu menemaniku tidur malam ini kan?"

       "Ya, aku akan bersamamu malam ini."

Tangan lelaki itu meraih tubuhnya. Khalisa membiarkan Dion mendekapnya erat dan lama. Hangat nafasnya  menjalar hingga ke pipi Khalisa. Menderu menunggu peresapan yang dalam. Keduanya menyatu dalam ciuman yang memabukkan. Hangat dan basah melingkupi daerah sekitar bibir. Penyatuan yang terus meningkat intensitasnya hingga keduanya tak lagi ingat bumi mana yang dipijak.  

Saat-saat ekstasi yang lama dirindukannya membawanya melayang meninggalkan raga yang tak lagi menjadi bagian utama permainan.  Tapi kenapa Dion kehilangan gairahnya lagi? Ia harus menghentikan separuh permainan dengan sisa-sisa nafas yang masih memburu. Khalisa meraih kepalanya. Membenamkan ke dadanya sambil mengusap-usap kepala Dion.

      "Kamu akan bisa melakukannya nanti. Mungkin kamu dikejar perasaan berdosa karena kita tak terikat pernikahan." 

       "Mungkin saja begitu," gumamnya sendu.

Sprei putih yang semula rapi membalut spring bed kusut masai tapi tubuh keduanya bisa merasakan lembutnya kain sprei itu. Sejuknya pendingin ruangan perlahan menyerap tetes-tetes keringat yang melumuri tubuh telanjang kedua makhluk berbeda jenis itu. Makhluk beradab yang kehilangan etika melupakan norma dan ajaran agama. Namun di depan publik menjelma menjadi sosok berkharisma yang selalu mengelak dari dosa.

       "Maafkan aku Lisa."

      "Kenapa lagi?"

      "Aku selalu mengecewakanmu."

     "Hmm.. sudahlah. Kita mencobanya lagi nanti."

     "Benar?"

    "Ya. Mungkin ini terakhir kalinya kita bisa melakukannya."

    "Kenapa?"

     "Kamu akan meninggalkan aku," Khalisa berkata dengan nada sedih.

     "Bukan begitu," Dion tak tega menatap bening mata Khalisa."Kita masih bisa bertemu sesering yang kita mau."

     "Tapi tidak akan pernah menjadi suami istri?"

     "Perlukah legalitas  itu?"

     "Jika kamu sudah menikah lagi kita tak akan bisa seperti ini lagi," ucap Khalisa menahan kekecewaan.

    "Kenapa?'

    "Kamu akan menyakiti hati istrimu."

    "Hanya itu saja alasannya?"

    "Aku tak ingin melukai hati sesama perempuan. Aku juga takut semakin banyak berbuat dosa."

    "Ya, lakukan sholat Taubat dan kita akhiri semuanya," Dion berkata datar.  Dipungutinya baju dan celananya. Bersiap akan memakainya . Tiba-tiba Khalisa menariknya hingga wajah keduanya beradu. Permainan itu pun diulangi lagi.Mengabaikan semua isi percakapan tentang etika dan moral yang baru saja terucap dari mulut keduanya. Namun lagi-lagi Dion kalah sebelum penetrasi. Semakin dalam ia terbenam dalam kekecewaan.

      "Cape ?" Khalisa mengerling nakal dan Dion mencium keningnya dengan setitik air mata yang tak bisa ditahan.

     "Aku tidak layak buatmu," desisnya kemudian.

Tak ada lagi suara kecuali desahan nafas dan  hembusan angin dari pendingin ruangan. Detak jam tangan Dion yang diletakkan di dekat lampu tidur pun terdengar semakin jelas.Waktu bergerak terus tapi mereka hanya bisa merebahkan diri menatap kosong ke langit-langit kamar. Terbawa oleh pikiran masing-masing sampai akhirnya sama-sama terlelap.

Esok paginya mereka terbangun dengan wajah segar. Ketika Dion masuk ke kamar mandi, Khalisa ikut juga. Berbasah-basah di bawah shower lalu melanjutkan setengah permainan cinta yang tak biasa. Dion menyerap semua rasa yang menguap dari setiap pori-pori tubuh perempuannya. Menikmatinya diiringi desah-desah karena terpuaskan dahaganya oleh penyatuan diri yang dalam.

      "Kamu menikmatinya ?" Dion menyembunyikan kekalahannya dari Khalisa.

      "Hmm..Ya.. Kamu membuatku hijrah ke dunia lain. Dunia fantasi yang hanya jadi milik kita berdua," sahutnya mencoba menentramkan hati lelaki penuh luka itu.Semoga ia segera menjadi lelaki sempurna yang mampu menuntaskan hingga akhir permainan.

Usai mandi dan berpakaian, Dion mengajak Khalisa mencari makan di luar. Memilih tempat yang dekat dengan hotel dan menemukan sebuah caf kecil yang baru buka ketika mereka sampai di sana. Mereka  cuma minum kopi dengan creamer dan makan pancake berisi buah-buahan. Cukup untuk mengisi perut di pagi hari.

Dion akan kembali lagi ke Jakarta siang nanti. Usai dari caef itu keduanya masih kembali ke hotel. Bermalas-malasan di tempat tidur. Berbaring tiduran sambil berpelukan dan sesekali berciuman. Setiap kali kulit mereka bersentuhan  getar-getar rasa itu pun kembali terbangkitkan. Ingin menghindar mengingkari dahaga jiwanya namun lagi-lagi kalah dan harus menyerah. 

Bergumul meresapkan dahaga yang menumpuk sekian lama seolah tak pernah terpuaskan.  Mengawali permainan baru berharap tuntas meraih serambi surga ketika jiwa melayang sesaat sebelum menyentuh raga dan menyatu kembali. Sayangnya memang Dion selalu kalah di tengah permainan lalu Khalisa tak bisa melanjutkan sendiri menggapai pelepasan dahaga jiwa.

       "Maafkan aku sayang," bisik Dion diliputi rasa bersalah.

Setelah check out dari hotel, Dion mengajak Khalisa makan siang di rumah makan Sunda di dekat terminal Baranang Siang. Lahap sekali Dion menikmati makanannya disertai lalap daun-daunan hijau.  Khalisa menyebutnya sebagai makanan kambing tapi Dion hanya tertawa. Meski sudah lama di Bogor, Khalisa tak pernah tertarik mencoba lalapan daun-daun yang tidak biasa ditemui di Jawa.

Dion berniat  kembali ke Jakarta naik kereta api. Karena itu Khalisa mengajaknya naik angkot sampai di stasiun. Di sana dia  berpamitan dengan tatapan mata kehilangan. Keduanya bertatapan sejenak sebelum Dion berjalan menjauh hingga hanya kelihatan punggungnya memasuki gerbong kereta api. 

Begitu kereta api berjalan meninggalkan stasiun, Khalisa ke luar mengejar angkot. Dua kali naik angkot untuk sampai ke tempat kosnya. Kalau ditanya ibu kos, ia akan bilang tadi malam menginap di rumah Rosa temannya yang tinggal di Perum Bukit  Asri Ciomas. Mudah-mudahan saja ibu kos tidak bertanya macam-macam. Dia akan kesulitan menjawabnya karena harus membuat kebohongan lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun