Jadi, ketika respon dalam bentuk "Quiet Quitting" hadir, ini adalah satu upaya memulihkan diri dari "burnout" yang menyerang.
Dari sisi perusahaan, ternyata aksi ini
adalah sebentuk pemberontakan, yang lalu direspon dengan aksi "Quiet Firing". Rentetan aksi dan reaksi ini pun menciptakan situasi toksik, seperti api dalam sekam.
Situasi ini memang terlihat seperti perang proksi atau pertarungan intelijen di film- film Holywood: dingin di luar, panas di dalam. Situasinya akan semakin "ngeri-ngeri sedap", kalau sudah ada "pertandingan catur" dan persaingan tidak sehat di tempat kerja. Sesuatu yang di sisi lain bisa mendeskripsikan, bagaimana tingkat kesehatan di satu lingkungan kerja.
Tapi, seharusnya ini tidak perlu terjadi, jika budaya multitasking tidak dijadikan alat eksploitasi, karena efek sampingnya terbukti menghasilkan toksisitas berantai.
Multitasking memang satu kemampuan yang cukup membantu di saat darurat. Tapi, jika situasi yang ada selalu dikondisikan dalam "keadaan darurat", berarti ada yang salah, entah karena kurang mampu mengatur prioritas atau hal lainnya.
Di sisi lain, hubungan aksi dan reaksi antara "Quiet Quitting" dan "Quiet Firing" menunjukkan, sesuatu yang toksik hanya akan semakin toksik, jika respon yang ada hanya bersifat sepihak.
Selama tidak ada komunikasi dua arah yang setara, sampai cucunya Doraemon punya cucu pun, situasinya akan tetap toksik, bahkan cenderung makin parah.