Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife Pilihan

Quiet Quitting dan Quiet Firing, Reaksi Era Multitasking

22 September 2022   14:43 Diperbarui: 22 September 2022   14:51 453 7
Selain "Quiet Quitting", ada satu fenomena lain yang muncul di dunia kerja kekinian, yakni "Quiet Firing". "Quiet Quitting" adalah sikap "bekerja seperlunya", sementara "Quiet Firing" adalah respon perusahaan atas fenomena "Quiet Quitting". Keduanya sama-sama bersifat sepihak.

Dimana, orang-orang yang melakukan "Quiet Quitting" secara perlahan dilucuti wewenangnya, dan dibuat tak nyaman dalam bekerja. Pada akhirnya, situasi ini membuat target "Quiet Firing" mengambil keputusan untuk hengkang.

Dengan kata lain, "Quiet Firing" adalah satu strategi "pengusiran secara halus" sekaligus respon sepihak (yang dianggap) sepadan atas aksi "protes halus" bernama "Quiet Quitting".

Tapi, kalau melihat tren yang sedang berkembang di dunia kerja era kekinian, ada satu hal, yang membuat hubungan "aksi dan reaksi" antara kedua fenomena ini jadi tak terpisahkan, yakni budaya kerja "multitasking".

Budaya kerja "multitasking" belakangan memang sedang berkembang di dunia kerja, termasuk di dunia usaha rintisan. Ada tekanan tinggi  cenderung konstan, yang pada titik tertentu menekankan pentingnya efisiensi, termasuk dalam hal kemampuan untuk bekerja multitasking dalam satu waktu.

Makanya, kemampuan multitasking belakangan mulai ditambahkan sebagai satu kriteria di berbagai info lowongan kerja. Hanya saja, kriteria ini kadang disamarkan, antara lain dalam frasa "mampu beradaptasi di lingkungan kerja yang dinamis".

Masalahnya, tekanan tinggi yang datang dari budaya multitasking ini cenderung kontraproduktif. Dari segi hasil kerja, strategi multitasking sering tidak optimal, karena fokus yang terbagi-bagi membuatnya terlihat serampangan.

Dari segi psikologis, budaya multitasking ini juga rawan menghasilkan kekacauan berwujud "burnout", karena kemampuan multitasking sudah dieksploitasi sedemikian rupa.

Mentang-mentang bisa multitasking, tugasnya terus ditambah. Semakin berat tekanan, semakin banyak tugas, semakin berbahaya.

Mobil yang digeber nonstop tanpa diisi bensin dan ganti oli secara berkala saja bisa mogok, apalagi manusia yang diperlakukan seperti kain pel di ember basah.

Jadi, ketika respon dalam bentuk "Quiet Quitting" hadir, ini adalah satu upaya memulihkan diri dari "burnout" yang menyerang.

Dari sisi perusahaan, ternyata aksi ini
adalah sebentuk pemberontakan, yang lalu direspon dengan aksi "Quiet Firing". Rentetan aksi dan reaksi ini pun menciptakan situasi toksik, seperti api dalam sekam.

Situasi ini memang terlihat seperti perang proksi atau pertarungan intelijen di film- film Holywood: dingin di luar, panas di dalam. Situasinya akan semakin "ngeri-ngeri sedap", kalau sudah ada "pertandingan catur" dan persaingan tidak sehat di tempat kerja. Sesuatu yang di sisi lain bisa mendeskripsikan, bagaimana tingkat kesehatan di satu lingkungan kerja.

Tapi, seharusnya ini tidak perlu terjadi, jika budaya multitasking tidak dijadikan alat eksploitasi, karena efek sampingnya terbukti menghasilkan toksisitas berantai.

Multitasking memang satu kemampuan yang cukup membantu di saat darurat. Tapi, jika situasi yang ada selalu dikondisikan dalam "keadaan darurat", berarti ada yang salah, entah karena kurang mampu mengatur prioritas atau hal lainnya.

Di sisi lain, hubungan aksi dan reaksi antara "Quiet Quitting" dan "Quiet Firing" menunjukkan, sesuatu yang toksik hanya akan semakin toksik, jika respon yang ada hanya bersifat sepihak.

Selama tidak ada komunikasi dua arah yang setara, sampai cucunya Doraemon punya cucu pun, situasinya akan tetap toksik, bahkan cenderung makin parah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun