Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting dan Quiet Firing, Reaksi Era Multitasking

22 September 2022   14:43 Diperbarui: 22 September 2022   14:51 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: genpsych.com

Selain "Quiet Quitting", ada satu fenomena lain yang muncul di dunia kerja kekinian, yakni "Quiet Firing". "Quiet Quitting" adalah sikap "bekerja seperlunya", sementara "Quiet Firing" adalah respon perusahaan atas fenomena "Quiet Quitting". Keduanya sama-sama bersifat sepihak.

Dimana, orang-orang yang melakukan "Quiet Quitting" secara perlahan dilucuti wewenangnya, dan dibuat tak nyaman dalam bekerja. Pada akhirnya, situasi ini membuat target "Quiet Firing" mengambil keputusan untuk hengkang.

Dengan kata lain, "Quiet Firing" adalah satu strategi "pengusiran secara halus" sekaligus respon sepihak (yang dianggap) sepadan atas aksi "protes halus" bernama "Quiet Quitting".

Tapi, kalau melihat tren yang sedang berkembang di dunia kerja era kekinian, ada satu hal, yang membuat hubungan "aksi dan reaksi" antara kedua fenomena ini jadi tak terpisahkan, yakni budaya kerja "multitasking".

Budaya kerja "multitasking" belakangan memang sedang berkembang di dunia kerja, termasuk di dunia usaha rintisan. Ada tekanan tinggi  cenderung konstan, yang pada titik tertentu menekankan pentingnya efisiensi, termasuk dalam hal kemampuan untuk bekerja multitasking dalam satu waktu.

Makanya, kemampuan multitasking belakangan mulai ditambahkan sebagai satu kriteria di berbagai info lowongan kerja. Hanya saja, kriteria ini kadang disamarkan, antara lain dalam frasa "mampu beradaptasi di lingkungan kerja yang dinamis".

Masalahnya, tekanan tinggi yang datang dari budaya multitasking ini cenderung kontraproduktif. Dari segi hasil kerja, strategi multitasking sering tidak optimal, karena fokus yang terbagi-bagi membuatnya terlihat serampangan.

Dari segi psikologis, budaya multitasking ini juga rawan menghasilkan kekacauan berwujud "burnout", karena kemampuan multitasking sudah dieksploitasi sedemikian rupa.

Mentang-mentang bisa multitasking, tugasnya terus ditambah. Semakin berat tekanan, semakin banyak tugas, semakin berbahaya.

Mobil yang digeber nonstop tanpa diisi bensin dan ganti oli secara berkala saja bisa mogok, apalagi manusia yang diperlakukan seperti kain pel di ember basah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun