Seperti biasa, datang tampak muka, pergi tampak punggung.
Di sini, saya hanya merasa sedikit heran, karena di kota metropolitan, yang sebagian warganya bahkan sudah bergaya bahasa keinggris-inggrisan (bahkan kadang terlihat lebih "Inggris" dari orang Inggris itu sendiri), hal berbau "kearifan lokal" seperti ini ternyata juga masih hidup, bahkan lestari.Â
Oh ya, saya lupa. Se-"keminggris" apapun gaya bicaranya, ibukota masih Indonesia. Di puncak musim hujan, kota ini biasa memakai nama samaran "Terendam", karena antrian air hujan yang harus masuk ke dalam tanah selalu tampak membludak di mana-mana. Mereka tak pernah membedakan tempat elite atau kumuh untuk digenangi.
Meski begitu, saya bersyukur, karena dari serangkaian pengalaman cerita mistis selama bekerja di ibukota, saya belajar, toleransi dan keseimbangan ternyata bukan hanya milik sesama manusia atau makhluk kasar, tapi juga mencakup mereka yang tak kasat mata.
Dari mereka, saya malah melihat, ibukota memang keras buat sebagian orang, tapi "keras" itu kebanyakan muncul karena banyak yang berjalan "kelewat batas", sehingga keseimbangan di berbagai sisi rusak.
Dari segi lingkungan, kerusakan itu misalnya bisa kita lihat, dari betapa rutinnya kota itu mengalami banjir tiap puncak musim hujan. Dari segi lain, kerusakan itu misalnya juga bisa kita lihat, dari seberapa parah tingkat stres di sana, akibat tekanan atau persaingan, yang bahkan sampai melibatkan "mereka" yang tak kasat mata.
Padahal, jika tak sampai kelewat batas, ibukota sebenarnya bukan tempat yang keras (apalagi bar-bar) tapi realistis dan seimbang. Semua akan baik-baik saja, selama semua batasan yang bertujuan "menjaga keseimbangan" tidak dilangkahi dengan seenaknya.