Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bertemu "Mereka" di Ibu Kota, Bagian Terakhir: "Home Office"

2 November 2021   01:37 Diperbarui: 2 November 2021   01:40 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Home Office" (Kompas.com)

Pada bagian pertama, saya sudah bercerita tentang perjumpaan dengan "mereka" di gedung perkantoran di bilangan Jakarta Pusat. Kali ini, saya akan bercerita tentang perjumpaan dengan "mereka" di sebuah "home office" di bilangan Jakarta Selatan.

Cerita bermula ketika bos dan timnya mencari-cari rumah untuk dijadikan kantor pada medio 2019. Berhubung masa sewa ruang kantor di gedung akan selesai pada awal bulan September, pencarian pun dimulai, sebelum akhirnya mendapat sebuah rumah berukuran cukup besar di bilangan Jakarta Selatan.

Sebenarnya, kami mulai pindah dan beroperasi di sana per awal Agustus 2019. Tapi, saya baru benar-benar "pindah" ke sana pada medio bulan Agustus. Penyebabnya, saya kadang masih dimintai teman satu ruangan di gedung untuk menemani di hari-hari terakhirnya sebelum pindah ke perusahaan lain.

Sebagai teman yang masih tersisa, saya menemani, dan masih bekerja di gedung itu, sampai hari terakhirnya. Bos dan tim memang mengizinkan, karena hanya saya yang diterimanya tanpa masalah, karena kami memang berteman baik.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi begitulah situasi menjelang dan saat pindah itu. Sebelumnya, kami punya satu lagi teman satu ruangan, tapi ia sudah lebih dulu pindah kantor ke bilangan Jakarta Utara.

Situasi "masa transisi" itu juga saya manfaatkan, untuk berpamitan dengan tetangga sekitar, sekuriti gedung, dan "mereka" yang selama ini menemani keseharian saya di sana. "Mereka" adalah yang saya ceritakan di bagian pertama.

Saya sudah diterima dengan baik, terlepas dari kondisi fisik saya, dan sering mereka bantu, jadi saya perlu berterima kasih dan pamit secara baik-baik. Jujur saja, saya sudah beberapa kali dipamiti, dan itu sedikit menyedihkan.

Seperti seorang pendengar yang pada saat tertentu juga ingin didengar, seorang yang biasa dipamiti pun akan tiba saatnya untuk berpamitan dengan yang lain. Seimbang sekali.

Ketika akhirnya benar-benar pindah ke "house office", awalnya bos menawari saya untuk tinggal di sana. Tapi, setelah merasakan suasana di rumah itu, saya menolak.

Sebenarnya, tinggal di sana adalah satu ide bagus karena hemat secara biaya. Tak perlu bayar biaya sewa kost, listrik atau internet, tapi rawan kebanjiran di puncak musim hujan, agak sulit juga mencari makan dengan harga terjangkau di sana, dan lokasinya tergolong kurang strategis, kemana-mana serba jauh.

Pertimbangan itu, ditambah saran dari kerabat (yang sebelumnya sudah punya pengalaman tinggal di mess kantor) sempat membuat saya ragu-ragu. Tapi, keraguan itu akhirnya mantap menjadi satu pilihan "tidak" saat saya bertemu "penghuni lama" rumah tersebut.

Awalnya, keputusan saya ini dipertanyakan, bahkan dikritik. Beruntung, keadaan lalu membuktikan, keputusan saya tepat. Kost saya bebas banjir selama puncak musim hujan, sementara daerah sekitar kantor tidak, ada hujan saja masih rawan bocor.

Soal kemungkinan tinggal di kantor ini, saya menyadari satu hal. Tidak semua rumah bisa dijadikan sebagai kantor sekaligus tempat tinggal. Rumah yang fungsi utama (dan awalnya) menjadi tempat tinggal memang bisa merangkap fungsi menjadi kantor, tapi rumah yang fungsi utama (dan awalnya) menjadi kantor belum tentu bisa merangkap sebagai tempat tinggal.

Suasananya jelas berbeda, apalagi jika rumah itu punya "penghuni lama" seperti di "home office" tersebut. Di sana, ada tiga sosok yang sempat saya jumpai.

Pertama sesosok bocah berambut panjang dengan jubah putih, yang biasa "mangkal" di bagian depan rumah. Kadang, ia suka bermain-main dengan pintu depan, lampu teras kantor, atau mesin printer.

Dia sering mulai beraksi setelah Maghrib, atau saat suasana kantor sedang sepi. Saat bermain-main dengan lampu teras kantor, lampu itu dibuatnya berkedip-kedip, meski masih baru.

Saat bermain-main dengan pintu depan, pintu yang biasanya sulit dibuka itu malah bisa dibuka-tutup dengan mudah. Entah kenapa.

Sementara itu, saat bermain dengan mesin printer, mesin itu dibuatnya macet, meski tintanya masih penuh. Di satu kesempatan, saya dengan iseng mengetuk mesin printer itu tiga kali, dan mesin itu kembali lancar.

Saya ingat, teman kerja yang waktu itu melihatnya sampai dibuat kaget, karena masalah printer macet itu beres, hanya dengan cara sederhana.

Sosok kedua, sebenarnya mirip dengan sosok pertama, tapi berukuran seperti remaja atau dewasa. Dia biasa "mangkal" di sekitar loteng, dapur atau lantai dua rumah.

Dia tidak seaktif bocah di pintu depan, tapi sama-sama mulai muncul setelah Maghrib. Seperti saat di gedung dulu, mereka mengingatkan di awal: kalaupun harus lembur, paling lambat sebelum Isya, semua aktivitas kerja sudah selesai.

Berangkat dari "peringatan" itu, saya selalu datang di pagi hari, dan pulang paling lambat sebelum Isya, seringnya sebelum Maghrib.

Awalnya, ini agak dipertanyakan, tapi berhubung atasan dan seorang rekan lain juga merasakan sama seperti saya, mereka bisa mengerti, bahkan meniru pendekatan saya.

Saya sendiri merasakan, ada keteraturan di sini, karena waktu di kehidupan kerja atau kehidupan pribadi bisa seiring sejalan. Semuanya serba "pas", tak ada yang kurang atau berlebihan.

Di luar jam kerja, ada saatnya saya mampir ke tempat saudara, bepergian bersama teman, beribadah di gereja, bersantai di kost, bahkan mengikuti event offline Kompasiana. Mulai dari doa bersama di Palmerah, syukuran ulang tahun Kompasiana di Kota Tua, sampai ikut Kompasianival di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan.

Semuanya berjalan lancar tanpa masalah. Saking bersyukurnya, saya sampai sering berkata, "Serasa kembali muda", baik saat "mengobrol" dengan diri sendiri maupun dengan teman-teman.

Memang, di beberapa kesempatan, saya sempat mendengar cerita ganjil, seperti peralatan kantor yang bergerak-gerak sendiri di malam hari, gangguan saat ada yang menginap di kantor, barang-barang di gudang atas yang (entah bagaimana caranya) berserakan di tangga lantai dua, dan lain-lain.

Beruntung, saya termasuk yang jarang mengalami. Bahkan, saat istirahat, saya biasa tidur siang sejenak di gudang bawah kantor. Kalaupun pernah mengalami, itu hanya terjadi saat saya lembur selama lima hari beruntun, jelang libur akhir tahun.

Waktu itu, karena lembur sampai lewat jam 7 malam, saya sampai "ditegur". "Mereka" hanya berbisik: "Gantian dong", saat pekerjaan saya hampir beres. Mau tak mau, saya langsung tancap gas, dan segera setelah beres,  langsung pulang ke kost di bilangan Setiabudi.

O ya, ada satu sosok lagi di rumah itu, yang sepertinya adalah "ketua" di sana. Saya tak pernah melihatnya secara utuh, tapi sosoknya lebih tinggi dari rumah. Dia kurang suka suasana yang bising, dan kadang mengetuk-ngetuk atap dapur saat suasana kantor sedang berisik.

Ketiga sosok yang saya temui di "house office" itu, sedikit berbeda dengan yang saya temui di gedung perkantoran, karena mereka bertiga sepertinya adalah "penjaga" rumah.

"Mereka" bertiga ikut mengisi hari-hari kami di kantor, sampai semuanya harus berubah dan berakhir karena pandemi. Saya ingat, saat terakhir kali pamit, saya hanya mengetuk pintu depan dan meja kerja saya sebanyak tiga kali. 

Seperti biasa, datang tampak muka, pergi tampak punggung.

Di sini, saya hanya merasa sedikit heran, karena di kota metropolitan, yang sebagian warganya bahkan sudah bergaya bahasa keinggris-inggrisan (bahkan kadang terlihat lebih "Inggris" dari orang Inggris itu sendiri), hal berbau "kearifan lokal" seperti ini ternyata juga masih hidup, bahkan lestari. 

Oh ya, saya lupa. Se-"keminggris" apapun gaya bicaranya, ibukota masih Indonesia. Di puncak musim hujan, kota ini biasa memakai nama samaran "Terendam", karena antrian air hujan yang harus masuk ke dalam tanah selalu tampak membludak di mana-mana. Mereka tak pernah membedakan tempat elite atau kumuh untuk digenangi.

Meski begitu, saya bersyukur, karena dari serangkaian pengalaman cerita mistis selama bekerja di ibukota, saya belajar, toleransi dan keseimbangan ternyata bukan hanya milik sesama manusia atau makhluk kasar, tapi juga mencakup mereka yang tak kasat mata.

Dari mereka, saya malah melihat, ibukota memang keras buat sebagian orang, tapi "keras" itu kebanyakan muncul karena banyak yang berjalan "kelewat batas", sehingga keseimbangan di berbagai sisi rusak.

Dari segi lingkungan, kerusakan itu misalnya bisa kita lihat, dari betapa rutinnya kota itu mengalami banjir tiap puncak musim hujan. Dari segi lain, kerusakan itu misalnya juga bisa kita lihat, dari seberapa parah tingkat stres di sana, akibat tekanan atau persaingan, yang bahkan sampai melibatkan "mereka" yang tak kasat mata.

Padahal, jika tak sampai kelewat batas, ibukota sebenarnya bukan tempat yang keras (apalagi bar-bar) tapi realistis dan seimbang. Semua akan baik-baik saja, selama semua batasan yang bertujuan "menjaga keseimbangan" tidak dilangkahi dengan seenaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun