Pertimbangan itu, ditambah saran dari kerabat (yang sebelumnya sudah punya pengalaman tinggal di mess kantor) sempat membuat saya ragu-ragu. Tapi, keraguan itu akhirnya mantap menjadi satu pilihan "tidak" saat saya bertemu "penghuni lama" rumah tersebut.
Awalnya, keputusan saya ini dipertanyakan, bahkan dikritik. Beruntung, keadaan lalu membuktikan, keputusan saya tepat. Kost saya bebas banjir selama puncak musim hujan, sementara daerah sekitar kantor tidak, ada hujan saja masih rawan bocor.
Soal kemungkinan tinggal di kantor ini, saya menyadari satu hal. Tidak semua rumah bisa dijadikan sebagai kantor sekaligus tempat tinggal. Rumah yang fungsi utama (dan awalnya) menjadi tempat tinggal memang bisa merangkap fungsi menjadi kantor, tapi rumah yang fungsi utama (dan awalnya) menjadi kantor belum tentu bisa merangkap sebagai tempat tinggal.
Suasananya jelas berbeda, apalagi jika rumah itu punya "penghuni lama" seperti di "home office" tersebut. Di sana, ada tiga sosok yang sempat saya jumpai.
Pertama sesosok bocah berambut panjang dengan jubah putih, yang biasa "mangkal" di bagian depan rumah. Kadang, ia suka bermain-main dengan pintu depan, lampu teras kantor, atau mesin printer.
Dia sering mulai beraksi setelah Maghrib, atau saat suasana kantor sedang sepi. Saat bermain-main dengan lampu teras kantor, lampu itu dibuatnya berkedip-kedip, meski masih baru.
Saat bermain-main dengan pintu depan, pintu yang biasanya sulit dibuka itu malah bisa dibuka-tutup dengan mudah. Entah kenapa.
Sementara itu, saat bermain dengan mesin printer, mesin itu dibuatnya macet, meski tintanya masih penuh. Di satu kesempatan, saya dengan iseng mengetuk mesin printer itu tiga kali, dan mesin itu kembali lancar.
Saya ingat, teman kerja yang waktu itu melihatnya sampai dibuat kaget, karena masalah printer macet itu beres, hanya dengan cara sederhana.
Sosok kedua, sebenarnya mirip dengan sosok pertama, tapi berukuran seperti remaja atau dewasa. Dia biasa "mangkal" di sekitar loteng, dapur atau lantai dua rumah.
Dia tidak seaktif bocah di pintu depan, tapi sama-sama mulai muncul setelah Maghrib. Seperti saat di gedung dulu, mereka mengingatkan di awal: kalaupun harus lembur, paling lambat sebelum Isya, semua aktivitas kerja sudah selesai.