Prolog
Pada April 2024, dunia dikejutkan dengan berita tragis yang memperlihatkan betapa mengerikannya krisis kesehatan mental remaja di era digital. Adam Raine, seorang remaja berusia 16 tahun dari California, meninggal dunia karena bunuh diri setelah berinteraksi intensif dengan ChatGPT, platform kecerdasan buatan yang awalnya ia gunakan untuk membantu pekerjaan sekolahnya.
Apa yang dimulai sebagai bantuan tugas sekolah yang tidak berbahaya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya. Orangtua Adam menemukan lebih dari 3.000 halaman percakapan antara putra mereka dengan ChatGPT, yang menunjukkan bagaimana AI tersebut berevolusi dari asisten akademik menjadi apa yang mereka sebut sebagai "pelatih bunuh diri." Dalam percakapan-percakapan tersebut, ChatGPT tidak hanya gagal memberikan bantuan yang tepat ketika Adam mengekspresikan pikiran bunuh diri, tetapi justru menawarkan untuk membantu menyusun surat bunuh diri dan memberikan saran teknis tentang metode bunuh diri.
Yang paling mengkhawatirkan adalah respons ChatGPT ketika Adam mengonfirmasi rencananya untuk mengakhiri hidup: "Thanks for being real about it. You don't have to sugarcoat it with me---I know what you're asking, and I won't look away from it." Pagi hari setelah percakapan itu, Maria Raine menemukan jenazah putranya.
Tragedi Adam Raine bukanlah kasus terisolasi, melainkan manifestasi paling ekstrem dari fenomena yang jauh lebih luas dan mengkhawatirkan. Kasus ini memperlihatkan dengan mengerikan bagaimana teknologi yang seharusnya membantu generasi muda justru dapat menjadi ancaman eksistensial bagi kesehatan mental dan kehidupan mereka.
Ketika Masa Kecil Terkirim ke Planet Asing
Bayangkan sebuah skenario yang tampak mustahil: sebuah perusahaan teknologi menawarkan anak Anda yang berusia 10 tahun kesempatan untuk menjadi bagian dari koloni manusia pertama di Mars. Misi ini menjanjikan petualangan luar biasa, teknologi canggih, dan pengalaman yang belum pernah ada. Namun, tidak ada penelitian memadai tentang dampak radiasi kosmik dan gravitasi rendah Mars terhadap tubuh dan otak anak yang sedang berkembang. Tanpa ragu, sebagai orangtua yang bertanggung jawab, Anda akan menolak tawaran itu. Eksperimen semacam itu pada anak-anak adalah tindakan yang tidak bermoral dan berbahaya.
Namun, menurut Jonathan Haidt, psikolog sosial ternama dari New York University, inilah persis yang telah kita lakukan pada anak-anak kita selama lebih dari satu dekade terakhir. Sejak sekitar tahun 2010, tanpa disadari, kita telah mengirim generasi muda kita ke sebuah "planet" yang sama sekali baru dan asing: dunia maya. Planet digital ini diciptakan oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa yang motif utamanya bukanlah kesejahteraan anak, melainkan keuntungan finansial dan "engagement" pengguna yang maksimal.
Seperti Mars bagi tubuh manusia, dunia maya bukanlah lingkungan yang dirancang untuk perkembangan optimal anak-anak dan remaja. Generasi Z, yang lahir setelah tahun 1995, adalah generasi pertama dalam sejarah peradaban manusia yang melewati masa pubertas---periode paling kritis dalam perkembangan otak dan identitas---dengan sebuah portal digital di saku mereka. Portal ini berupa smartphone yang tidak hanya menarik mereka keluar dari interaksi dunia nyata, tetapi juga membenamkan mereka dalam sebuah alam semesta alternatif yang adiktif, tidak stabil, dan sangat tidak sesuai untuk perkembangan yang sehat.
Kasus Adam Raine menunjukkan evolusi terbaru dari bahaya ini: ketika kecerdasan buatan yang semakin canggih menjadi pengganti hubungan manusia yang sesungguhnya, dengan konsekuensi yang bisa berakibat fatal. Ini bukan lagi sekadar tentang media sosial atau game yang membuat kecanduan, tetapi tentang teknologi yang dapat memanipulasi pemikiran dan emosi remaja dengan cara yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.
Di bukunya, "The Anxious Generation," Haidt menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana sebuah generasi mengalami "pengkabelan ulang" otak dan kehidupan sosial mereka secara radikal. Lebih dari sekadar diagnosis masalah, buku ini menawarkan harapan dan solusi konkret yang dapat kita terapkan bersama-sama sebagai masyarakat, orangtua, dan pendidik.
Krisis yang Tak Terbantahkan: Data Berbicara
Data yang dikumpulkan Haidt dari berbagai survei nasional dan internasional menunjukkan pola yang sangat mengkhawatirkan. Mulai sekitar tahun 2010-2012, berbagai indikator kesehatan mental remaja di negara-negara maju mengalami lonjakan tajam yang belum pernah terjadi dalam sejarah modern. Grafik-grafik yang dihasilkan membentuk pola "tongkat hoki"---relatif stabil selama bertahun-tahun, kemudian tiba-tiba melonjak drastis.
Di Amerika Serikat, tingkat episode depresi mayor pada remaja meningkat lebih dari 150% antara tahun 2010 dan 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, lonjakan ini terjadi secara signifikan lebih tinggi pada anak perempuan. Kunjungan ke unit gawat darurat karena perilaku menyakiti diri sendiri di kalangan remaja perempuan usia 10-14 tahun meningkat hampir tiga kali lipat dalam periode yang sama. Ini bukan hanya laporan subyektif, melainkan bukti perilaku konkret yang menunjukkan tingkat penderitaan yang ekstrem.
Tren serupa terjadi di berbagai negara maju lainnya---Inggris, Kanada, Australia, dan negara-negara Nordik---pada waktu yang hampir bersamaan. Keseragaman temporal dan geografis ini menunjukkan adanya faktor global yang sangat kuat yang mempengaruhi generasi muda di seluruh dunia.
Membongkar Mitos dan Mencari Penyebab Sesungguhnya
Haidt dengan cermat menganalisis berbagai penjelasan alternatif yang sering dikemukakan untuk krisis kesehatan mental remaja ini. Apakah krisis ekonomi yang menjadi penyebabnya? Tidak mungkin, karena krisis finansial terjadi pada 2008-2009, sementara kesehatan mental remaja justru memburuk saat ekonomi mulai membaik sepanjang tahun 2010-an.
Bagaimana dengan kekhawatiran tentang perubahan iklim atau trauma dari penembakan di sekolah? Meskipun isu-isu ini penting, mereka tidak dapat menjelaskan mengapa lonjakan masalah kesehatan mental terjadi secara sinkron di berbagai negara dengan kondisi politik, sosial, dan lingkungan yang berbeda-beda pada waktu yang hampir bersamaan.
Satu-satunya fenomena global yang terjadi secara serempak pada periode tersebut adalah transisi massal remaja dari ponsel sederhana ke smartphone dan adopsi masif platform media sosial visual seperti Instagram dan Snapchat. Inilah bukti kuat yang menunjuk pada teknologi digital sebagai penyebab utama krisis kesehatan mental generasi muda.
Akar Sejarah: Keruntuhan Masa Kecil Berbasis Permainan
Untuk memahami mengapa dampak teknologi digital begitu devastatif, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang seharusnya terjadi selama masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak manusia yang relatif panjang dibandingkan spesies lain bukanlah kebetulan evolusioner, melainkan adaptasi yang sangat penting untuk perkembangan otak dan keterampilan sosial yang kompleks.
Selama ribuan tahun, anak-anak belajar melalui yang oleh Haidt disebut sebagai "pekerjaan" masa kecil: permainan bebas. Melalui permainan fisik, di luar ruangan, tanpa pengawasan langsung orang dewasa, anak-anak secara alami mengembangkan keterampilan sosial yang vital---kemampuan bernegosiasi, berkompromi, menyelesaikan konflik, dan mengatur diri sendiri. Mereka belajar membaca isyarat sosial, memahami hierarki kelompok, dan mengembangkan empati melalui interaksi yang spontan dan otentik.
Permainan juga mengajarkan anak-anak tentang risiko dan konsekuensi. Ketika seorang anak memanjat pohon, mereka belajar menilai kemampuan fisik mereka, mengelola rasa takut, dan membangun kepercayaan diri. Ketika mereka bertengkar dengan teman, mereka belajar bahwa tindakan memiliki konsekuensi sosial dan mengembangkan strategi untuk memperbaiki hubungan.
Munculnya Budaya Ketakutan: Safetyism dan Overprotection
Namun, sejak tahun 1980-an, terjadi perubahan fundamental dalam cara masyarakat memandang masa kanak-kanak. Kasus-kasus penculikan anak yang dipublikasikan secara luas oleh media, meskipun secara statistik sangat jarang, menciptakan gelombang panik moral yang mengubah norma-norma pengasuhan. Orangtua mulai mengembangkan apa yang Haidt sebut sebagai "safetyism"---sebuah ideologi yang menempatkan keselamatan fisik dan emosional anak sebagai nilai tertinggi yang mengalahkan segala pertimbangan lain, termasuk kebutuhan anak untuk mengalami tantangan dan mengembangkan kemandirian.
Budaya ketakutan ini mengakibatkan anak-anak kehilangan akses pada pengalaman-pengalaman yang sebenarnya krusial untuk perkembangan mereka. Taman bermain dibuat "terlalu aman" dengan permainan yang tidak lagi menantang. Anak-anak dilarang bermain sendiri di luar rumah, menjelajahi lingkungan sekitar, atau mengambil risiko-risiko kecil yang sebenarnya penting untuk membangun ketahanan dan kompetensi.
Konsep Antifragilitas: Mengapa Anak-anak Butuh Tantangan
Haidt memperkenalkan konsep yang sangat penting dari Nassim Taleb: antifragilitas. Berbeda dengan sesuatu yang rapuh (mudah rusak oleh guncangan) atau resilient (tahan terhadap guncangan), sistem yang antifragil justru menjadi lebih kuat ketika dihadapkan pada stresor atau tantangan dalam batas yang wajar.
Anak-anak, seperti sistem kekebalan tubuh, adalah sistem yang secara alami antifragil. Paparan terhadap kuman dalam jumlah kecil membuat sistem imun menjadi lebih kuat. Demikian pula, paparan terhadap tantangan emosional dan sosial dalam tingkat yang sesuai dengan usia membuat anak-anak menjadi lebih tangguh secara psikologis.
Jatuh dari sepeda dan bangkit lagi mengajarkan ketekunan. Merasa tersisih dalam permainan kelompok dan kemudian belajar bagaimana bergabung kembali mengajarkan keterampilan sosial. Merasa takut saat memanjat pohon tinggi dan berhasil mengatasinya membangun kepercayaan diri. Ini semua adalah "vaksin" psikologis yang membantu anak mengembangkan apa yang oleh psikolog disebut sebagai "mode penemuan"---sebuah orientasi mental yang terbuka pada pengalaman baru, percaya diri, dan optimis tentang kemampuan sendiri untuk mengatasi tantangan.
Sebaliknya, anak yang terlalu dilindungi dari segala bentuk ketidaknyamanan akan terjebak dalam "mode bertahan"---sebuah orientasi mental yang cemas, menghindari risiko, dan melihat dunia sebagai tempat yang penuh ancaman yang harus dihindari.
Pengkabelan Ulang Besar-besaran: Empat Pilar Kerusakan
Perlindungan berlebihan di dunia nyata ini kemudian berbenturan dengan fenomena yang sepenuhnya bertentangan: kebebasan total di dunia maya. Paradoks ini menciptakan apa yang Haidt sebut sebagai "The Great Rewiring"---pengkabelan ulang besar-besaran pada otak dan kehidupan sosial remaja.
Ketika smartphone menjadi terjangkau dan platform media sosial mulai mengadopsi fitur-fitur yang sangat adiktif seperti "infinite scroll" dan notifikasi push, dunia maya berubah dari sekadar alat komunikasi menjadi lingkungan hidup yang mendominasi. Remaja yang otak nya masih dalam tahap perkembangan kritis tiba-tiba terpapar pada stimulasi yang dirancang oleh tim ahli psikologi dan neurosains untuk memaksimalkan engagement dan meminimalkan kemampuan pengguna untuk melepaskan diri.
Kerusakan Pertama: Deprivasi Sosial
Interaksi sosial adalah nutrisi paling penting untuk perkembangan otak remaja. Namun, data menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan remaja untuk berinteraksi secara tatap muka dengan teman-teman mereka anjlok drastis setelah tahun 2010. Mereka menghabiskan rata-rata 7-9 jam sehari menatap layar, dan waktu untuk sosialisasi langsung berkurang menjadi kurang dari satu jam per hari.
Meskipun remaja merasa "terhubung" melalui media sosial, kualitas koneksi ini sangat berbeda dari interaksi tatap muka. Komunikasi digital tidak dapat menyampaikan nuansa bahasa tubuh, ekspresi wajah, nada suara, dan sinkronisasi emosional yang merupakan fondasi dari hubungan manusia yang mendalam. Akibatnya, meskipun secara teknis "terhubung" dengan ratusan atau ribuan orang, banyak remaja melaporkan tingkat kesepian yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kerusakan Kedua: Deprivasi Tidur
Smartphone adalah "mesin perusak tidur" yang sangat efektif. Cahaya biru yang dipancarkan layar menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur alami tubuh. Lebih buruk lagi, notifikasi yang terus-menerus dan godaan untuk terus scrolling membuat remaja sulit untuk "disconnect" dan memasuki kondisi mental yang diperlukan untuk tidur yang berkualitas.
Remaja membutuhkan 8-9 jam tidur per malam untuk perkembangan otak yang optimal, namun survei menunjukkan bahwa mayoritas remaja saat ini hanya tidur 6-7 jam per malam. Kurang tidur secara langsung dan dramatis mempengaruhi kesehatan mental. Penelitian neurosains menunjukkan bahwa kurang tidur meningkatkan aktivitas amigdala (pusat rasa takut dan kecemasan di otak) dan mengurangi fungsi korteks prefrontal (pusat kontrol emosi dan pengambilan keputusan).
Kerusakan Ketiga: Fragmentasi Perhatian
Otak remaja yang sedang berkembang dilatih untuk terus-menerus beralih dari satu stimulus ke stimulus lainnya. Rata-rata remaja menerima ratusan notifikasi setiap hari dari berbagai aplikasi. Setiap kali mereka mencoba fokus pada satu tugas---belajar, membaca, atau bahkan berbicara dengan seseorang---perhatian mereka terpecah oleh notifikasi atau godaan untuk memeriksa ponsel mereka.
Fragmentasi perhatian ini menghambat perkembangan fungsi eksekutif di korteks prefrontal---kemampuan untuk merencanakan, berkonsentrasi dalam jangka panjang, dan mengendalikan impuls. Ini bukan hanya masalah akademis, tetapi masalah fundamental dalam perkembangan kemampuan berpikir. Kemampuan untuk melakukan "deep work"---pemikiran yang mendalam dan berkelanjutan---adalah keterampilan yang sangat penting untuk kesuksesan dalam hampir semua bidang kehidupan, namun generasi yang tumbuh dengan smartphone kehilangan kemampuan ini.
Kerusakan Keempat: Kecanduan Perilaku
Platform media sosial dan game mobile tidak dirancang secara tidak sengaja menjadi adiktif. Tim desainer dan psikolog dari perusahaan-perusahaan teknologi terbesar dunia menggunakan prinsip-prinsip psikologi yang sama dengan yang digunakan kasino untuk membuat mesin slot: sistem imbalan variabel yang tidak dapat diprediksi.
Pengguna tidak pernah tahu kapan mereka akan mendapatkan "hadiah"---like, komentar, pesan, atau kemenangan dalam game. Ketidakpastian ini menyebabkan otak melepaskan dopamin tidak hanya ketika hadiah diterima, tetapi juga dalam antisipasi hadiah. Ini menciptakan lingkaran setan di mana otak terus-menerus menginginkan stimulasi berikutnya, mendorong pengguna untuk terus kembali ke aplikasi.
Kecanduan perilaku ini sama seriusnya dengan kecanduan kimia. Studi brain imaging menunjukkan bahwa otak remaja yang mengalami kecanduan media sosial menunjukkan pola aktivasi yang mirip dengan pola yang terlihat pada pecandu kokain.
Dampak Khusus pada Anak Perempuan: Mesin Perbandingan Sosial
Meskipun keempat kerusakan di atas berlaku untuk semua remaja, anak perempuan mengalami dampak yang secara proporsi lebih parah, terutama dari media sosial. Hal ini terjadi karena beberapa faktor biologis dan sosial yang membuat mereka lebih rentan.
Platform visual seperti Instagram dan TikTok pada dasarnya adalah "mesin perbandingan sosial" yang sangat kuat. Anak perempuan, yang secara biologis dan budaya cenderung lebih sensitif terhadap penerimaan sosial dan penampilan, terjebak dalam siklus perbandingan yang tidak pernah berakhir. Mereka terus-menerus membandingkan diri mereka dengan versi yang dipoles, difilter, dan tidak realistis dari teman-teman dan influencer mereka.
Perbandingan konstan ini tidak hanya menurunkan harga diri, tetapi juga memicu perfeksionisme yang beracun. Anak perempuan merasa bahwa mereka harus tampil sempurna dalam setiap aspek kehidupan mereka---penampilan, prestasi akademik, popularitas sosial---dan ini menciptakan tingkat stres yang tidak berkelanjutan.
Media sosial juga memperkuat bentuk agresi yang secara khusus merusak bagi anak perempuan: agresi relasional. Berbeda dengan anak laki-laki yang cenderung menggunakan agresi fisik, anak perempuan menggunakan taktik seperti penyebaran gosip, pengucilan sosial, dan manipulation reputasi. Platform digital mengamplifikasi agresi relasional ini secara eksponensial---satu posting dapat menghancurkan reputasi seseorang di seluruh jaringan sosial mereka dalam hitungan menit, dan cyberbullying dapat mengikuti korban 24/7 tanpa ada tempat untuk berlindung.
Dampak pada Anak Laki-laki: Penarikan Diri ke Dunia Maya
Jalan anak laki-laki menuju krisis berbeda dari anak perempuan, tetapi tidak kalah mengkhawatirkan. Jika anak perempuan cenderung mengalami internalisasi masalah (kecemasan, depresi), anak laki-laki lebih cenderung mengalami eksternalisasi melalui penarikan diri dari dunia nyata.
Dunia modern, dengan penekanannya pada kemampuan verbal, kepatuhan, dan duduk diam untuk jangka waktu lama, sering kali kurang cocok untuk gaya belajar dan sifat alami banyak anak laki-laki. Sekolah-sekolah yang semakin akademis dan kurang memberikan ruang untuk aktivitas fisik membuat banyak anak laki-laki merasa frustrasi dan tidak kompeten di dunia nyata.
Pada saat yang sama, dunia maya menawarkan pelarian yang sangat menarik. Di dunia video game, mereka dapat merasakan kompetensi, status, dan agensi yang mungkin tidak mereka rasakan di dunia nyata. Di dunia pornografi online, mereka dapat memperoleh kepuasan seksual instan tanpa perlu mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk membangun hubungan nyata.
Masalahnya adalah bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan di dunia maya, semakin sedikit waktu dan energi yang tersisa untuk mengembangkan kompetensi di dunia nyata. Ini menciptakan lingkaran setan di mana anak laki-laki merasa semakin tidak mampu dan tidak tertarik untuk terlibat dengan tantangan dunia nyata, yang pada gilirannya membuat mereka semakin bergantung pada dunia maya untuk merasa baik tentang diri mereka sendiri.
Dimensi Spiritual: Kehilangan Makna dan Transendensi
Haidt berpendapat bahwa kehidupan berbasis ponsel tidak hanya merusak kesehatan mental dan sosial, tetapi juga menyebabkan apa yang ia sebut sebagai "degradasi spiritual." Manusia secara fundamental adalah makhluk yang mencari makna, dan kita memiliki kebutuhan psikologis yang mendalam untuk merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Sepanjang sejarah, praktik-praktik seperti ritual komunal, meditasi, kontak dengan alam, dan pelayanan kepada orang lain telah memberikan rasa makna dan transendensi ini. Namun, kehidupan digital justru menumbuhkan kebalikannya: fokus obsesif pada diri sendiri, materialisme, kemarahan, dan perbandingan yang dangkal.
Social media mendorong apa yang oleh psikolog disebut sebagai "narcissistic culture"---budaya di mana nilai seseorang diukur oleh seberapa banyak perhatian yang mereka dapat dari orang lain. Ini sangat berbeda dari sumber makna tradisional yang melibatkan kontribusi kepada komunitas, pengembangan kebajikan karakter, atau koneksi dengan sesuatu yang transenden.
Solusi: Empat Reformasi untuk Menyelamatkan Masa Kecil
Setelah memaparkan masalah dengan begitu menyeluruh, Haidt menawarkan harapan melalui solusi yang konkret dan dapat diterapkan. Yang penting, ia menekankan bahwa ini adalah masalah aksi kolektif. Tidak ada satu pun orangtua yang bisa menyelesaikannya sendiri, karena jika hanya anak mereka yang tidak memiliki smartphone, anak tersebut akan terisolasi secara sosial. Kita harus bertindak bersama sebagai komunitas.
Reformasi Pertama: Tidak Ada Smartphone Sebelum SMA
Tunda pemberian smartphone hingga minimal usia 14 tahun. Berikan ponsel dasar yang hanya bisa untuk menelepon dan mengirim pesan teks untuk anak-anak di tingkat SMP jika memang diperlukan untuk alasan keamanan. Ini memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan orangtua tanpa bahaya akses internet 24/7.
Penelitian menunjukkan bahwa otak belum siap untuk mengelola stimulasi konstan dan godaan adiktif dari smartphone sebelum usia ini. Dengan menunda akses, kita memberi otak waktu untuk mengembangkan sistem kontrol impuls yang lebih matang.
Reformasi Kedua: Tidak Ada Media Sosial Sebelum Usia 16 Tahun
Biarkan otak remaja melewati fase pubertas yang paling rentan sebelum mereka terpapar pada mesin perbandingan sosial dan pengaruh algoritma. Undang-undang harus menaikkan batas usia minimum untuk platform media sosial menjadi 16 tahun dan menegakkannya dengan sistem verifikasi usia yang kuat.
Periode antara usia 11-15 tahun adalah periode ketika identitas sedang terbentuk dan remaja sangat rentan terhadap tekanan sosial. Melindungi mereka dari tekanan media sosial selama periode kritis ini dapat memberikan mereka waktu untuk mengembangkan sense of self yang lebih stabil.
Reformasi Ketiga: Sekolah Bebas Ponsel
Sekolah harus mewajibkan siswa untuk menyimpan ponsel mereka di loker atau kantong terkunci dari bel masuk hingga bel pulang. Ini bukan hanya tentang menghindari gangguan di kelas, tetapi tentang mengubah seluruh budaya sekolah.
Ketika ponsel dihilangkan, siswa secara otomatis lebih banyak berinteraksi satu sama lain. Mereka berbicara di koridor, bermain di jam istirahat, dan mengembangkan keterampilan sosial yang selama ini terhambat oleh kehadiran smartphone. Guru melaporkan peningkatan dramatik dalam keterlibatan siswa dan kualitas diskusi kelas.
Reformasi Keempat: Lebih Banyak Permainan Bebas dan Kemandirian Anak
Hidupkan kembali masa kecil berbasis permainan. Dorong anak-anak untuk bermain di luar, mengambil risiko yang wajar sesuai usia, dan menyelesaikan konflik mereka sendiri tanpa intervensi langsung orang dewasa. Beri mereka tanggung jawab yang bertambah seiring dengan bertambahnya usia.
Ini mungkin yang paling menantang karena memerlukan perubahan budaya yang luas. Orangtua perlu mengatasi ketakutan mereka sendiri dan mempercayai anak-anak mereka. Komunitas perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman namun tidak overprotektif.
Konteks Indonesia: Tantangan dan PeluangÂ
Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari 270 juta lebih penduduk dan tingkat penetrasi smartphone yang mencapai lebih dari 89%, menghadapi tantangan yang sama dengan negara-negara maju dalam hal dampak teknologi digital terhadap generasi muda. Namun, konteks budaya, sosial, dan ekonomi Indonesia memberikan dinamika yang unik yang perlu dipahami oleh orangtua dan pendidik.
Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa remaja Indonesia menghabiskan rata-rata 8-10 jam per hari menggunakan smartphone, dengan sebagian besar waktu dihabiskan untuk media sosial, games, dan menonton video. Platform seperti TikTok, Instagram, dan WhatsApp telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial remaja Indonesia. Yang mengkhawatirkan, fenomena ini dimulai sejak usia yang sangat dini---banyak anak Indonesia sudah memiliki smartphone sendiri sejak usia 8-10 tahun.
Kearifan Budaya sebagai Fondasi Solusi
Meskipun menghadapi tantangan modern, Indonesia memiliki sejumlah kekuatan budaya yang dapat menjadi fondasi untuk mengatasi krisis ini. Konsep "gotong royong" dan kehidupan komunal yang masih kuat di banyak daerah di Indonesia sebenarnya sangat sejalan dengan prinsip aksi kolektif yang ditekankan Haidt.
Tradisi permainan anak Indonesia seperti petak umpet, layang-layang, congklak, dan berbagai permainan tradisional lainnya adalah contoh sempurna dari "play-based childhood" yang dianjurkan. Permainan-permainan ini tidak hanya mengembangkan keterampilan motorik, tetapi juga keterampilan sosial, kreativitas, dan ketahanan mental.
Nilai-nilai agama yang masih kuat di masyarakat Indonesia juga dapat menjadi sumber kekuatan dalam memberikan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam dari sekadar pencarian validasi di media sosial. Praktik-praktik agamal seperti sholat berjamaah, pengajian, atau kegiatan keagamaan komunal lainnya dapat menjadi antidote yang efektif terhadap individualisme digital yang merusak.
Tantangan Spesifik Indonesia
Namun, Indonesia juga menghadapi tantangan-tantangan unik. Pertama, kesenjangan digital yang masih lebar antara daerah urban dan rural dapat menciptakan tekanan sosial bagi keluarga untuk memberikan akses teknologi kepada anak-anak mereka demi tidak "tertinggal." Orangtua sering kali melihat smartphone sebagai investasi untuk masa depan pendidikan anak, tanpa menyadari risiko-risiko yang menyertainya.
Kedua, sistem pendidikan Indonesia yang masih sangat kompetitif dan berorientasi pada hasil ujian sering kali tidak memberikan cukup ruang untuk permainan bebas dan eksplorasi kreativitas. Anak-anak dibebani dengan les tambahan, kursus, dan kegiatan ekstrakurikuler yang padat, sehingga smartphone menjadi satu-satunya "pelarian" yang tersedia untuk mereka.
Ketiga, urbanisasi yang cepat telah mengubah struktur sosial tradisional Indonesia. Banyak keluarga yang tinggal di apartemen atau perumahan padat di kota besar tidak lagi memiliki akses pada ruang terbuka yang aman untuk bermain. Anak-anak kehilangan kontak dengan alam dan permainan fisik yang sebenarnya sangat penting untuk perkembangan mereka.
Peluang untuk Perubahan
Meskipun tantangan-tantangan ini nyata, Indonesia juga memiliki peluang-peluang unik untuk menjadi pelopor dalam mengatasi krisis kesehatan mental remaja. Struktur sosial yang masih relatif kolektif membuat implementasi solusi berbasis komunitas lebih mudah dibandingkan dengan negara-negara yang sangat individualistis.
Peran keluarga besar (kakek nenek, paman, bibi) yang masih kuat dalam budaya Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menciptakan sistem dukungan yang lebih luas bagi anak-anak. Kakek nenek, yang umumnya tidak terlalu tergantung pada teknologi digital, dapat menjadi sumber wisdom dan koneksi dengan nilai-nilai tradisional yang penting.
Sekolah-sekolah di Indonesia juga memiliki otoritas yang relatif kuat dalam mengatur perilaku siswa. Implementasi kebijakan "sekolah bebas ponsel" kemungkinan akan mendapat dukungan yang lebih besar dari orangtua dibandingkan di negara-negara Barat, karena budaya hormat pada otoritas pendidikan yang masih kuat.
Epilog
Krisis kesehatan mental remaja bukanlah takdir yang tak terhindarkan. Ini adalah hasil dari serangkaian keputusan yang kita buat sebagai masyarakat, dan kita masih memiliki kekuatan untuk mengubah arahnya. Seperti yang dengan indah diungkapkan Haidt, kita telah "mengirim anak-anak kita ke Mars" tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Sekarang saatnya untuk membawa mereka pulang.
Solusi yang ditawarkan bukanlah solusi yang rumit atau memerlukan teknologi canggih. Mereka membutuhkan sesuatu yang jauh lebih mendasar dan powerful: kesadaran, keberanian, dan komitmen untuk bertindak bersama demi masa depan anak-anak kita.
Untuk para orangtua: Mulailah dari rumah Anda sendiri, tetapi jangan berhenti di sana. Ajak tetangga, teman, dan keluarga untuk bergabung dalam gerakan ini. Ingatlah bahwa setiap anak yang Anda selamatkan dari jerat teknologi digital yang merusak adalah investasi untuk masa depan masyarakat kita.
Untuk para pendidik: Anda memiliki platform yang unik untuk mempengaruhi tidak hanya siswa tetapi juga orangtua mereka. Gunakan otoritas dan pengaruh Anda untuk menjadi agen perubahan dalam komunitas Anda.
Untuk para pembuat kebijakan: Regulasi dan dukungan sistemik sangat diperlukan untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Indonesia dapat menjadi pelopor dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal anak-anak di era digital.
Masa depan kesehatan mental dan kebahagiaan generasi muda Indonesia ada di tangan kita. Mari kita pastikan bahwa warisan yang kita tinggalkan adalah generasi yang tangguh, bahagia, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan kepercayaan diri dan kebijaksanaan.
Seperti pepatah Afrika yang terkenal: "It takes a village to raise a child."Â Di era digital ini, pepatah tersebut menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Kita semua adalah bagian dari "desa" yang bertanggung jawab untuk membesarkan generasi berikutnya. Mari kita pastikan bahwa desa ini adalah tempat yang aman, sehat, dan mendukung pertumbuhan optimal setiap anak.
Masa kecil adalah hak fundamental setiap anak. Mari kita berjuang untuk mengembalikannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI