Mohon tunggu...
yogi prasetya
yogi prasetya Mohon Tunggu... Penulis lepas, Lepas dalam menulis

Bekerja dan bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Generasi Cemas: Memahami dan Mengatasi Krisis Mental Remaja di Era Digital

30 Agustus 2025   11:32 Diperbarui: 30 Agustus 2025   11:32 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan Mental Remaja ( sumber: https://www.pexels.com/)

Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari 270 juta lebih penduduk dan tingkat penetrasi smartphone yang mencapai lebih dari 89%, menghadapi tantangan yang sama dengan negara-negara maju dalam hal dampak teknologi digital terhadap generasi muda. Namun, konteks budaya, sosial, dan ekonomi Indonesia memberikan dinamika yang unik yang perlu dipahami oleh orangtua dan pendidik.

Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa remaja Indonesia menghabiskan rata-rata 8-10 jam per hari menggunakan smartphone, dengan sebagian besar waktu dihabiskan untuk media sosial, games, dan menonton video. Platform seperti TikTok, Instagram, dan WhatsApp telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial remaja Indonesia. Yang mengkhawatirkan, fenomena ini dimulai sejak usia yang sangat dini---banyak anak Indonesia sudah memiliki smartphone sendiri sejak usia 8-10 tahun.

Kearifan Budaya sebagai Fondasi Solusi

Meskipun menghadapi tantangan modern, Indonesia memiliki sejumlah kekuatan budaya yang dapat menjadi fondasi untuk mengatasi krisis ini. Konsep "gotong royong" dan kehidupan komunal yang masih kuat di banyak daerah di Indonesia sebenarnya sangat sejalan dengan prinsip aksi kolektif yang ditekankan Haidt.

Tradisi permainan anak Indonesia seperti petak umpet, layang-layang, congklak, dan berbagai permainan tradisional lainnya adalah contoh sempurna dari "play-based childhood" yang dianjurkan. Permainan-permainan ini tidak hanya mengembangkan keterampilan motorik, tetapi juga keterampilan sosial, kreativitas, dan ketahanan mental.

Nilai-nilai agama yang masih kuat di masyarakat Indonesia juga dapat menjadi sumber kekuatan dalam memberikan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam dari sekadar pencarian validasi di media sosial. Praktik-praktik agamal seperti sholat berjamaah, pengajian, atau kegiatan keagamaan komunal lainnya dapat menjadi antidote yang efektif terhadap individualisme digital yang merusak.

Tantangan Spesifik Indonesia

Namun, Indonesia juga menghadapi tantangan-tantangan unik. Pertama, kesenjangan digital yang masih lebar antara daerah urban dan rural dapat menciptakan tekanan sosial bagi keluarga untuk memberikan akses teknologi kepada anak-anak mereka demi tidak "tertinggal." Orangtua sering kali melihat smartphone sebagai investasi untuk masa depan pendidikan anak, tanpa menyadari risiko-risiko yang menyertainya.

Kedua, sistem pendidikan Indonesia yang masih sangat kompetitif dan berorientasi pada hasil ujian sering kali tidak memberikan cukup ruang untuk permainan bebas dan eksplorasi kreativitas. Anak-anak dibebani dengan les tambahan, kursus, dan kegiatan ekstrakurikuler yang padat, sehingga smartphone menjadi satu-satunya "pelarian" yang tersedia untuk mereka.

Ketiga, urbanisasi yang cepat telah mengubah struktur sosial tradisional Indonesia. Banyak keluarga yang tinggal di apartemen atau perumahan padat di kota besar tidak lagi memiliki akses pada ruang terbuka yang aman untuk bermain. Anak-anak kehilangan kontak dengan alam dan permainan fisik yang sebenarnya sangat penting untuk perkembangan mereka.

Peluang untuk Perubahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun