Mohon tunggu...
yogi prasetya
yogi prasetya Mohon Tunggu... Penulis lepas, Lepas dalam menulis

Bekerja dan bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Generasi Cemas: Memahami dan Mengatasi Krisis Mental Remaja di Era Digital

30 Agustus 2025   11:32 Diperbarui: 30 Agustus 2025   11:32 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan Mental Remaja ( sumber: https://www.pexels.com/)

Dunia modern, dengan penekanannya pada kemampuan verbal, kepatuhan, dan duduk diam untuk jangka waktu lama, sering kali kurang cocok untuk gaya belajar dan sifat alami banyak anak laki-laki. Sekolah-sekolah yang semakin akademis dan kurang memberikan ruang untuk aktivitas fisik membuat banyak anak laki-laki merasa frustrasi dan tidak kompeten di dunia nyata.

Pada saat yang sama, dunia maya menawarkan pelarian yang sangat menarik. Di dunia video game, mereka dapat merasakan kompetensi, status, dan agensi yang mungkin tidak mereka rasakan di dunia nyata. Di dunia pornografi online, mereka dapat memperoleh kepuasan seksual instan tanpa perlu mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk membangun hubungan nyata.

Masalahnya adalah bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan di dunia maya, semakin sedikit waktu dan energi yang tersisa untuk mengembangkan kompetensi di dunia nyata. Ini menciptakan lingkaran setan di mana anak laki-laki merasa semakin tidak mampu dan tidak tertarik untuk terlibat dengan tantangan dunia nyata, yang pada gilirannya membuat mereka semakin bergantung pada dunia maya untuk merasa baik tentang diri mereka sendiri.

Dimensi Spiritual: Kehilangan Makna dan Transendensi

Haidt berpendapat bahwa kehidupan berbasis ponsel tidak hanya merusak kesehatan mental dan sosial, tetapi juga menyebabkan apa yang ia sebut sebagai "degradasi spiritual." Manusia secara fundamental adalah makhluk yang mencari makna, dan kita memiliki kebutuhan psikologis yang mendalam untuk merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Sepanjang sejarah, praktik-praktik seperti ritual komunal, meditasi, kontak dengan alam, dan pelayanan kepada orang lain telah memberikan rasa makna dan transendensi ini. Namun, kehidupan digital justru menumbuhkan kebalikannya: fokus obsesif pada diri sendiri, materialisme, kemarahan, dan perbandingan yang dangkal.

Social media mendorong apa yang oleh psikolog disebut sebagai "narcissistic culture"---budaya di mana nilai seseorang diukur oleh seberapa banyak perhatian yang mereka dapat dari orang lain. Ini sangat berbeda dari sumber makna tradisional yang melibatkan kontribusi kepada komunitas, pengembangan kebajikan karakter, atau koneksi dengan sesuatu yang transenden.

Solusi: Empat Reformasi untuk Menyelamatkan Masa Kecil

Setelah memaparkan masalah dengan begitu menyeluruh, Haidt menawarkan harapan melalui solusi yang konkret dan dapat diterapkan. Yang penting, ia menekankan bahwa ini adalah masalah aksi kolektif. Tidak ada satu pun orangtua yang bisa menyelesaikannya sendiri, karena jika hanya anak mereka yang tidak memiliki smartphone, anak tersebut akan terisolasi secara sosial. Kita harus bertindak bersama sebagai komunitas.

Reformasi Pertama: Tidak Ada Smartphone Sebelum SMA

Tunda pemberian smartphone hingga minimal usia 14 tahun. Berikan ponsel dasar yang hanya bisa untuk menelepon dan mengirim pesan teks untuk anak-anak di tingkat SMP jika memang diperlukan untuk alasan keamanan. Ini memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan orangtua tanpa bahaya akses internet 24/7.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun