Mengartikan pameran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila seperti pameran komersil sebenarnya tidak keliru, meski tidak tepat juga.
Di sekolah tempat anak-anak kami belajar, sampah plastik yang dihasilkan dari jajan dan bekal anak jadi masalah paling besar.
Untuk mengedukasi (anak dan orangtua) soal pengolahan sampah sekaligus menguatkan karakter Pancasila yang berbudaya lokal (Jawa) maka kelas 1 dan 4 mengolah sampah yang dikreasikan jadi wayang, topeng, hiasan dinding, tampah, aneka wadah, dan hiasan dinding.
Akan tetapi, bakal sunyi sepi kalau yang pameran cuma kelas 1 dan 4, yang berarti total hanya empat kelas, jadi biar ramai dan semarak, seluruh kelas dilibatkan dalam pameran.
Pelibatan seluruh kelas dan orangtua sama saja dengan mengamalkan Pancasila sila ketiga dan keempat, bukan?
Disinilah kebebanan itu dimulai. Beberapa orangtua punya ide spektakuler soal dekorasi stan, tapi menolak ikut mendekor.
Beberapa orangtua terlalu giat memasang dan mendekor stan sampai akhirnya kelelahan dan merasa dijadikan babu. Beberapa yang lain merasa pameran menguras uang kas kelas terlalu banyak.
Beberapa yang lain lagi merasa kelas sebelah ga ngapa-ngapain cuma terima beres. Dan, yang paling menimbulkan "beban" adalah pemakaian kebaya dan beskap/surjan bagi seluruh siswa dan orangtua, baik panitia dan yang tidak.
Pemakaian baju adat ditetapkan karena pameran berbarengan dengan penerimaan rapor semester gasal. Jadi nuansa budaya Jawa yang berkarakter Pancasila lebih terhayati kalau diamalkan bersama-sama.
Dresscode baju adat ini sebetulnya wajar karena kami orang Jawa memang idealnya punya satu setel saja baju Jawa. Namun, karena amat sangat jarang dipakai, tidak semua orang kepikiran punya baju Jawa, kecuali kebaya yang sudah dipakai saat mereka, adik, kakak, ipar, atau anak menikah.
Saat kondangan dan menghadiri resepsi pernikahan pun orang sudah tidak pakai kebaya, beskap, atau surjan, melainkan gamis dan batik.