Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurangnya Pemahaman Orangtua tentang Kurikulum Merdeka

19 Desember 2022   08:16 Diperbarui: 19 Desember 2022   10:32 3834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kurikulum Merdeka (Sumber: Kompas.id/HERYUNANTO)

Di era orde baru ada P4. Di era mas menteri ada P5.

Islam melarang sifat pamer karena membuat orang yang melihatnya jadi iri, tersinggung, sakit hati, bahkan jengkel. Makin jengkel kalau ada yang pamer beli barang atau liburan, tapi masih punya utang sama kita.

Namun, dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), pamer justru diperlukan supaya orangtua tahu kalau sekolah anak mereka sudah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka yang mana di dalamnya ada Merdeka Belajar.

Walau sama-sama menggunakan Pancasila, P5 sangat berbeda dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diwajibkan oleh pemerintahan mendiang Presiden Soeharto.

Penataran P4 wajib diikuti oleh siswa SD sampai SMA dan mahasiswa serta dijadikan syarat untuk jabatan formal. Gunanya untuk menyamakan persepsi tentang demokrasi Pancasila supaya tidak mudah terpengaruh ideologi lain.

Sementara itu, P5 adalah kegiatan yang diharapkan menjadi sarana yang optimal dalam mendorong peserta didik menjadi pelajar sepanjang hayat yang kompeten, berkarakter, dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.

Salah satu tujuan Kemdikbudristek meluncurkan P5 dalam Kurikulum Merdeka, menurut laman kemdikbud.go.id adalah untuk mengurangi beban belajar siswa di kelas. Betul, beban siswa berkurang, tapi malah beban orangtuanya yang bertambah.

Bertambah bagaimana maksudnya?

Pameran P5 dan Persepsi Orangtua

Pameran P5 melibatkan orangtua sejak dari perencanaan, kepanitiaan, penyelenggaraan, sampai pada konten pameran.

Pameran yang ditujukan untuk memamerkan hasil pembelajaran kepada orangtua, tapi semuanya melibatkan orangtua?

Yes, karena sangat tidak mungkin cuma mengandalkan guru dan siswa untuk menggelar pameran tersebut, terutama soal tenaga, waktu dan dana yang terbatas.

Lagipula sejak Kurikulum 2013, orangtua memang selalu dilibatkan sebagai pendamping dan sumber belajar. Wadahnya ada di paguyuban kelas dan komite sekolah. 

Jadi sudah tidak seperti zaman pra dan pascareformasi yang mana orangtua hanya memasrahkan pendidikan ke tangan guru.

Sementara itu, yang menerapkan IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka) di sekolah anak kami hanya kelas 1 dan 4 dengan penggunaan IKM Mandiri Berubah. 

Ilustrasi dari Lomba Internasional 
Ilustrasi dari Lomba Internasional 

Artinya sekolah memakai perangkat ajar yang disediakan di platform Merdeka Belajar Kemdikbud dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.

Kemdikbudristek memberi tiga pilihan kepada sekolah untuk memilih Implementasi Kurikulum Merdeka, yaitu Mandiri Belajar, Mandiri Berubah, dan Mandiri Berbagi.

Dari 602 sekolah dasar yang ada di Kabupaten Magelang, sudah 538 sekolah yang menggunakan Kurikulum Merdeka. Sisanya masih menggunakan Kurikulum 2013.

Menurut Kasi Kurikulum SD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Wahyudi, seperti dilansir Beta News, sebanyak 28 SD memilih IKM Mandiri Belajar, 480 menggunakan IKM Mandiri Berubah, dan 33 sekolah memakai IKM Mandiri Berbagi.

Namun, jangankan soal IKM yang digunakan, hampir semua orangtua belum ngeh kalau pameran P5 di sekolah bertujuan memamerkan hasil pemahaman siswa selama belajar di kelas sekaligus menunjukkan karakter Pancasila yang mereka ejawantahkan dalam olah karya dan kreasi.

Jadi bukan seperti pameran di pekan raya, eksibisi, atau galeri yang berorientasi promosi, pemasaran, dan perolehan laba.

Karakter Pancasila dan Mispersepsi Pameran P5

Mengartikan pameran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila seperti pameran komersil sebenarnya tidak keliru, meski tidak tepat juga.

Di sekolah tempat anak-anak kami belajar, sampah plastik yang dihasilkan dari jajan dan bekal anak jadi masalah paling besar.

Untuk mengedukasi (anak dan orangtua) soal pengolahan sampah sekaligus menguatkan karakter Pancasila yang berbudaya lokal (Jawa) maka kelas 1 dan 4 mengolah sampah yang dikreasikan jadi wayang, topeng, hiasan dinding, tampah, aneka wadah, dan hiasan dinding.

Salah satu stan di gelar karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila SDN Muntilan| Dokpri
Salah satu stan di gelar karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila SDN Muntilan| Dokpri
Akan tetapi, bakal sunyi sepi kalau yang pameran cuma kelas 1 dan 4, yang berarti total hanya empat kelas, jadi biar ramai dan semarak, seluruh kelas dilibatkan dalam pameran.

Pelibatan seluruh kelas dan orangtua sama saja dengan mengamalkan Pancasila sila ketiga dan keempat, bukan?

Disinilah kebebanan itu dimulai. Beberapa orangtua punya ide spektakuler soal dekorasi stan, tapi menolak ikut mendekor.

Beberapa orangtua terlalu giat memasang dan mendekor stan sampai akhirnya kelelahan dan merasa dijadikan babu. Beberapa yang lain merasa pameran menguras uang kas kelas terlalu banyak.

Beberapa yang lain lagi merasa kelas sebelah ga ngapa-ngapain cuma terima beres. Dan, yang paling menimbulkan "beban" adalah pemakaian kebaya dan beskap/surjan bagi seluruh siswa dan orangtua, baik panitia dan yang tidak.

Pemakaian baju adat ditetapkan karena pameran berbarengan dengan penerimaan rapor semester gasal. Jadi nuansa budaya Jawa yang berkarakter Pancasila lebih terhayati kalau diamalkan bersama-sama.

Dresscode baju adat ini sebetulnya wajar karena kami orang Jawa memang idealnya punya satu setel saja baju Jawa. Namun, karena amat sangat jarang dipakai, tidak semua orang kepikiran punya baju Jawa, kecuali kebaya yang sudah dipakai saat mereka, adik, kakak, ipar, atau anak menikah.

Saat kondangan dan menghadiri resepsi pernikahan pun orang sudah tidak pakai kebaya, beskap, atau surjan, melainkan gamis dan batik.

Maka guna mematuhi dresscode, ada orangtua yang beli kebaya baru, pinjam tetangga, menyewa, sampai memodifikasi baju lama jadi atasan berbentuk kebaya dan beskap.

Kebaya dan beskap untuk siswa-siswi tidak ada masalah sudah jadi seragam yang dipakai tiap Kamis dan tanggal 22.

Sebenarnya beban yang dipikul orangtua berkaitan dengan penyelenggaraan pameran dan berbaju adat ini sangat dimaklumi.

Ini kali pertama mereka dilibatkan secara penuh dan utuh dalam proyek sekolah, apalagi yang berbasis budaya lokal. Guru dan siswa juga belum terbiasa dengan pelajaran berbasis proyek seperti di negara-negara maju.

Orangtua dan Persepsi Merdeka Belajar

Sebelum digelarnya pameran P5, pengurus paguyuban kelas diundang untuk sosialisasi Implementasi Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar ketika anak-anak mereka memasuki tahun ajaran 2022/2023.

Paguyuban kelas kemudian meneruskannya ke orangtua/wali di kelas masing-masing.

Namun, entah informasinya kurang jelas, kurikulumnya yang njelimet, atau orangtua yang tidak mau mencari tahu, masih banyak yang belum mengerti soal IKM.

Apa yang mereka tahu cuma sebatas, "Oh, berarti anak saya merdeka dari belajar Matematika karena dia lebih berbakat di seni." Pun ada siswa yang tidak ingin belajar bulu tangkis karena lebih menyukai futsal.

Pada awal sosialiasi Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM), seorang guru pernah bertanya pada pemberi materi IKM, apakah kalau ada yang minta pelajaran renang, itu termasuk dalam merdeka belajar atau tidak. 

Jawabannya tentu saja tidak. Merdeka belajar bukan berarti merdeka dari belajar yang tidak disukai atau hanya mempelajari yang disukai. Merdeka disini artinya guru dan siswa merdeka mengeksplorasi kegiatan belajar-mengajar yang paling sesuai dengan karakter dan minat siswa serta kebiasaan sekolah.

Implementasi ini berbeda dengan di kampus di mana mahasiswa diberikan hak selama 3 semester untuk belajar di luar prodi (program studi) melalui program Kampus Merdeka.

Kampus Merdeka merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar Kemdikbudristek yang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai langkah persiapan karier.

Sementara itu, karena Merdeka Belajar di sekolah adalah merdeka mengeksplorasi bakat dan minat siswa, maka kegiatan belajar-mengajar antarkelas bisa berbeda, apalagi antarsekolah. 

Itulah sebab di dalam Kurikulum Merdeka ada Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang jadi bagian dari Merdeka Belajar. Pelajaran dan pembelajaran berbasis proyek-proyek edukasi.

Bentuk baku dari kata 'projek''adalah 'proyek', entah mengapa Kemdikbudristek yang membawahi Badan Bahasa selaku pembuat KBBI memilih kata tidak baku daripada yang baku.

***

Orangtua yang anaknya sudah dapat IKM dapat mempelajari buku teks yang digunakan dalam Kurikulum Merdeka dengan mengakses laman buku.kemdikbud.go.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun