"Apa kau mau pulang sekarang?"
"Tidak, aku mau mampir ke kaf noona. Dan ditraktir."
"Aku ada perasaan aku akan bangkrut."
Kami masih tertawa saat kami berjalan masuk ke subway station. Kurasa aku harus segera membeli mobil supaya hidupku lebih praktis. Aku merindukan Chungdae. Aku terus memeluk lengannya sepanjang perjalanan kami menuju kaf. Memang dia diizinkan libur selama empat kali sepanjang wajib militernya tapi itupun masing-masing hanya tiga hari, dan untuk yang terakhir, aku tidak bertemu dengannya selama enam bulan. Aku merindukan segala tentangnya. Suaranya (terasa sangat berbeda di video call dengan bertemu langsung dengannya), perhatiannya (aku merasa bersalah kadang aku lupa memegang ponselku dan mengacuhkannya) dan bau tubuhnya. Biasanya aku tidak semanja ini, tapi aku tidak bisa menahan diriku sendiri. Tampaknya Chungdae juga sangat merindukanku. Dia mengecup puncak kepalaku sekali saat kami duduk di dalam kereta.
"Wow kafenya ramai sekali," puji Chungdae ketika kami memasuki pintu depan kaf.
Aku menggandeng tangannya ketika kami memasuki kaf. Beberapa rekan pelayan dan baristaku bersorak ketika kami masuk, seakan kami baru memenangkan sebuah lomba.
"Apa- apaan kalian ini?" hardikku malu, "Sangyoo-ssi, apa ada meja kosong?"
"Oh ya, ada satu di belakang."
Sorakan masih mengiringi kami hingga kami duduk di satu-satunya meja kosong untuk berdua di taman belakang.
"Kau mau makan atau minum apa?"
Namun ada yang menahan bahuku ketika aku akan berdiri meninggalkan meja. Sangyoo-ssi-lah yang melakukannya.