Mohon tunggu...
May Lee
May Lee Mohon Tunggu... Guru - Just an ordinary woman who loves to write

Just an ordinary woman who loves to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] You Are (Not) My Destiny [5]

15 November 2020   14:17 Diperbarui: 15 November 2020   14:22 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Siapkan pemutar musik kamu, cari lagunya dan dengarkan sementara kamu membaca bagian cerita dari novel ini.

  • Yoo Seonho -- One Blue Star
  • Junggigo -- Only U
  • Seulgi & Wendy -- Only You
  • PRODUCE X 101 CRAYON -- Pretty Girl
  • Elaine -- Rain or Shine
  • SEVENTEEN -- Say Yes
  • RED VELVET -- See The Stars
  • ASTRO -- Should've Held On
  • Soyou & Junggigo - Some
  • Kim Jaehwan -- Some Days

SPECIAL APPEARANCE: Eun Sangyoo -> APRIL Naeun

BAEK CHOEUN'S POV

Tanggal 16 November yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kadang aku bersyukur pada betapa sibuknya aku di kafe belakangan ini sehingga menunggu tanggal itu ternyata jadinya tidak begitu lama. Aku berdiri bersama beberapa orang lainnya di depan kantor militer pelayanan masyarakat. Biasanya tempat ini tidak seramai ini, tapi perkecualian untuk hari ini dan beberapa hari biasanya, tentu saja. Seperti beberapa orang itu, aku juga memeluk buket bunga. Keluarga Heo mengutusku hari ini untuk menjemput Chungdae. Tadinya kukira aku akan pergi bersama mereka, tapi mereka rela membiarkan aku bersama Chungdae dengan catatan Chungdae pulang ke rumah malam ini. Apa yang mereka pikirkan... tentu saja aku akan menyuruh Chungdae pulang, memangnya aku akan menyekapnya di rumahku malam ini? Dan bus besar yang kami nantikan akhirnya tiba menjelang jam tiga sore. Langit agak gelap, aku curiga beberapa hari ini salju akan turun. Satu persatu orang turun dari bus itu disambut keluarga atau teman-teman mereka. Satu... dua... tiga... empat... ah! Chungdae menjadi orang kelima yang turun! Dia tampak menoleh kesana kemari, mungkin aku terlalu kecil untuk dilihatnya. Aku melompat dan melambai padanya.

"HEO CHUNGDAE!"

Aku heran dia tidak tersenyum atau tampak antusias saat melihatku, tapi dia tetap mendatangiku. Aku menyodorkan buket bunga ke dadanya, masih sambil tersenyum.

"Selamat pulang kembali!"

"Terima kasih," ucapnya singkat sambil mengambil buket bunga itu.

Rasanya aku kenal ekspresinya yang datar sambil menyipitkan matanya seperti ini. Aku memeluk lengannya manja sambil setengah menarik-nariknya.

"Chungdae-ku, kenapa? Ada yang kamu inginkan?"

Aku yakin kalau dia sekarang sedang bersungut-sungut. Entah apapun penyebabnya, lebih baik aku focus membuatnya tersenyum dulu sebelum dia bersungut-sungut sampai tiga empat hari dan aku akan dalam masalah besar.

"Tidak ada."

"Jangan begitu, ayolah, aku akan melakukan apapun untukmu."

"Noona terlalu sibuk. Waktu itu noona tidak membalas pesanku selama tiga hari."

"Ah maafkan aku, Chungdae ya. Aku kan sudah minta maaf hmm?"

"Tapi itu terjadi tidak hanya sekali."

"Iya iya maafkan aku yang sudah mulai pikun ini. Maaf ya?"

Dia melirikku sejenak. Oke, ini waktu yang tepat untuk melancarkan jurusku.

"Oppa, maafkan aku yaaa?"

Aku tidak biasa melakukan ini, bukannya tidak bisa. Di saat tertentu untuk memenangkan hati Chungdae, menunjukkan jurus manja pasti akan membuatku menang. Aku mengelus-eluskan kepalaku ke lengannya seperti anak kucing dan memanggilnya "oppa" dengan suara yang sengaja kubuat imut. Dan aku menang. Chungdae tertawa lepas dan mengacak-acak rambutku.

"Noona jangan begitu. Aku tidak bisa menang melawanmu."

Aku ikut tertawa bersamanya.

"Apa kau mau pulang sekarang?"

"Tidak, aku mau mampir ke kaf noona. Dan ditraktir."

"Aku ada perasaan aku akan bangkrut."

Kami masih tertawa saat kami berjalan masuk ke subway station. Kurasa aku harus segera membeli mobil supaya hidupku lebih praktis. Aku merindukan Chungdae. Aku terus memeluk lengannya sepanjang perjalanan kami menuju kaf. Memang dia diizinkan libur selama empat kali sepanjang wajib militernya tapi itupun masing-masing hanya tiga hari, dan untuk yang terakhir, aku tidak bertemu dengannya selama enam bulan. Aku merindukan segala tentangnya. Suaranya (terasa sangat berbeda di video call dengan bertemu langsung dengannya), perhatiannya (aku merasa bersalah kadang aku lupa memegang ponselku dan mengacuhkannya) dan bau tubuhnya. Biasanya aku tidak semanja ini, tapi aku tidak bisa menahan diriku sendiri. Tampaknya Chungdae juga sangat merindukanku. Dia mengecup puncak kepalaku sekali saat kami duduk di dalam kereta.

"Wow kafenya ramai sekali," puji Chungdae ketika kami memasuki pintu depan kaf.

Aku menggandeng tangannya ketika kami memasuki kaf. Beberapa rekan pelayan dan baristaku bersorak ketika kami masuk, seakan kami baru memenangkan sebuah lomba.

"Apa- apaan kalian ini?" hardikku malu, "Sangyoo-ssi, apa ada meja kosong?"

"Oh ya, ada satu di belakang."

Sorakan masih mengiringi kami hingga kami duduk di satu-satunya meja kosong untuk berdua di taman belakang.

"Kau mau makan atau minum apa?"

Namun ada yang menahan bahuku ketika aku akan berdiri meninggalkan meja. Sangyoo-ssi-lah yang melakukannya.

"Kurasa sajangnim harus menemani Chungdae-ssi. Biarkan aku yang melayani kalian hari ini."

"Sangyoo-ssi, kau memang yang terbaik!" puji Chungdae sambil mengacungkan jempol padanya, "aku mau menu terbaik. Dua minuman dan dua kue."

"Baik, akan segera datang!"

"Yakin kau akan kenyang dengan itu? Apa sekarang makanmu jadi sedikit?"

Aku menelusuri bentuk tubuh Chungdae tapi dia tidak tampak kurus, lengannya lebih berotot dari terakhir kali aku melihatnya, dan perutnya tidak seramping dulu. Itu artinya dia makan cukup banyak, syukurlah.

"Tak apa, nanti aku akan makan lagi di rumah," ujarnya sambil mengelus rambutku.

Aku tersenyum sambil menempelkan pipiku ke telapak tangannya ketika butiran berwarna putih jatuh ke dalam cangkir yang baru diletakkan Sangyoo-ssi di hadapan kami.

"Ah, salju pertama!"

"Ingatkah noona bahwa ini hanyalah kali kedua kita melewati musim dingin bersama?"

"Ya, walaupun seharusnya kita bisa melewatkan tiga musim dingin," jawabku sambil mendongak dan membiarkan butiran itu jatuh ke wajahku.

"Jadi beritau aku, aku ketinggalan berita apa?"

Dan waktu rasanya cepat sekali berlalu sampai ketika aku selesai menceritakan tentang Eunyul eonni yang akan bekerja dan berkuliah di universitas dimana Chungdae akan berkuliah disana juga, senja sudah lewat dan beberapa pemanas sudah dibawa ke taman belakang. Pengunjung masih berdatangan dan mulai ada antrian kecil di depan kaf.

"Noona, mulai agak dingin. Ayo kita ke kantormu saja."

Aku menyetujuinya karena kantorku akan lebih hangat sekarang.

"Baik, naiklah dulu, nanti aku akan menyusul," pintaku.

Aku membereskan meja dan akhirnya menyusulnya naik ke kantorku lima menit sesudahnya. Pintu kantor terbuka tapi tidak ada lampu yang dinyalakan. Aku masuk dan tidak bisa melihat dimana Chungdae, lalu memutuskan menutup pintunya dulu.

"Chungdae, kenapa kau tidak menyalakan..."

Betapa kagetnya aku ketika berbalik, Chungdae sudah di hadapanku, meletakkan telapak tangan kanannya di pintu, tepat di samping sisi kepalaku.

"Kau mengagetkanku!"

"Tidak perlu menyalakan lampu, aku tetap bisa melihatmu dengan jelas," bisiknya.

Aku merinding mendengarnya berbisik, bukannya aku tidak suka, tapi ini membuatku malu. Aku berusaha keluar dari sisi satunya, tapi dia meletakkan satu telapak tangannya lagi ke sisi tubuhku dan mengunciku sepenuhnya.

"Ayo kita nyalakan lampunya!"

"Tidak usah. Aku benar-benar masih bisa melihatmu."

Sebenarnya aku juga masih bisa melihatnya dengan cahaya temaram yang menyusup lewat jendela besar di belakang meja kerjaku. Mata Chungdae menatap lurus ke dalam mataku dan membuat jantungku berdebar keras.

"Aku sebenarnya masih lapar."

"Kan, tadi sudah kubilang apa kau masih mau makan lagi, tapi kau menolaknya."

"Tapi aku ingin sesuatu yang lebih manis dari kue."

"Hmm? Apa itu?"

"Apa kau gugup, noona? Kenapa wajahmu begitu merah? Kau terlihat seperti stroberi."

"Berhenti menggodaku."

Sia-sia saja betapa kuatnya aku mendorongnya di dadanya, wajahnya makin mendekat dan aku membeku ketika hidungnya menyentuh hidungku. Lalu ketika bibirnya perlahan menciumi bibirku, yang kutau adalah aku malahan memeluk tengkuknya dan membalas ciumannya. Aku lupa betapa aku merindukan ciumannya juga. Dan setelah tidak pernah melakukan ini selama beberapa waktu... rasanya benar-benar berbeda. Ah, aku pastilah sangat merindukannya.

You keep flickering before my eyes

When I see you, my heart starts pounding

Confessions that I can't tell you keep building up

What do I do? I'm still so bad at this

But I want to tell you how I feel

I think my heart is broken

I feel like I have the whole world

Should I carefully have courage

And confess?

Hey, I love you

It's only you for me

Should I gently approach you

And softly kiss you?

Until always, by your side
I am waiting for you

(Seulgi & Wendy -- Only You)

"Stroberinya manis."

"Ya, apa kau mau mati, Chungdae?"

"Kalau noona yang membunuhku, aku rela mati untukmu."

Belum selesai aku menguasai diri, dia sudah menggendongku. Aku dengan sigap memeluk lehernya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku waspada.

"Apa lagi selain menghabiskan waktu bersama tunanganku?"

Dia membaringkanku di sofa dan aku mendorongnya menjauh.

"Pulang! Eomonim menyuruhmu pulang sebelum malam!"

"Malam masih panjang, noona..." bisiknya sambil mendekat padaku.

Aku tidak bisa menang melawannya. Atau aku tidak ingin benar-benar menang? Mungkin aku hanya menyukainya juga. Menyukai segalanya tentang Heo Chungdae.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun