Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

(Bukan) Review Film: Hujan Bulan Juni

5 Januari 2021   08:00 Diperbarui: 5 Januari 2021   08:00 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa cuma aku, yang kalau sudah baca novel penasaran dengan filmnya, tapi kalau sudah nonton film tidak tertarik lagi dengan novelnya?

Ini bukan review, aku tak pandai mereview film. Sebab aku tak hafal nama-nama pemain film. Bisa dicari di Google, tapi menjelang dapat info, ingatanku terhadap film yang baru kutonton, bisa menguap. Bukan sekadar gampang lupa, aku juga kesulitan merunutkan cerita.

Kenapa jadi curhat? Padahal mau cerita, setelah nonton modal 10 rupiah dapat 2GB kuota nonton untuk dua hari. Halah, makin ngelantur.

Aku sering membaca puisi Hujan Bulan Juni, berserakan di mana-mana. Sajak almarhum Sapardi memang keren-keren, tiada cela kecuali satu. Aku sering gak paham dengan puisi, milik siapa pun.

Makanya walau populer, aku tidak membeli buku kumpulan puisi itu. Tahun 2015, ketika novelnya terbit, beberapa kali aku berencana membeli. Atau sudah kubeli ya? Tapi di mana? Karena aku punya kebiasaan beli dulu, bacanya kapan-kapan.

Intinya aku gagal membacanya. Kemudian bertemulah aku dengan promo itu waktu sedang menunggu air menyala. Kalau tidak ditunggui, dia keburu mati. Nasib ... nasib.

Baca juga: 4 Seremoni Romantis yang Merusak Alam

Film Hujan Bulan Juni berkisah tentang Sarwono dan Pingkan, pemuda Muslim suku Jawa dan gadis nonmuslim (tidak disebutkan agamanya atau aku yang terlewat melihatnya, karena nonton sambil nyuci) berdarah Manado.

Pasti sudah banyak yang mereview novel maupun filmnya, aku nimbrung opini saja belakangan. Ulasanmu basi, kata yang hobi nonton. Orang sudah lupa, aku baru ketemu filmnya.

Kelebihan film ini, meski genre romantis, tapi filmnya tergolong sopan. Kalau film bule, pasti waktu mereka sekamar di Manado, sudah terjadi yang gitu gitu. Tapi adegan kissing pun tak ada, kecuali kalau terlewat. Kan aku nonton sambil nyuci, lama ya nyucinya.

Bahkan tanpa adegan yang begitu, romantisme mereka justru jadi lebih elegan. Gak menye-menye kayak orang keberatan rindu.

Kekurangannya, menurutku. Hujan Bulan Juni terlalu bertele-tele. Mungkin karena aku tipikal tak romantis. Mereka jalan-jalan terus, obrolannya itu-itu saja. Hujan puisi di banyak adegan, untung puisinya bagus-bagus, jadi gak bikin sebal kayak joget India di tengah cerita.

Aku seperti ingat pemeran Sarwono, ternyata Adipati Dolken. Tampangnya agak beda dari penampilan di film-film lain. Betul-betul mendukung akting yang bagus sebagai orang Jawa. Pingkan sudah kubaca diperankan siapa, tapi namanya sulit diingat dan diketik. Padahal copas gampang, tapi linknya sudah keburu ditutup. Benar-benar artikel review yang buruk.

Kalau nonton film bagus (versiku), biasanya film psikologi atau detektif, aku tidak mau melewatkan tiap adegan. Malah yang belum kupahami, kumundur untuk mencari tau. Tapi pada film Hujan Bulan Juni, aku berkali-kali memajukan untuk tau lebih cepat. Dengan siapa sih akhirnya si Pingkan?

Barangkali kalau novelnya kubaca, akan kunikmati pelan-pelan juga tiap kalimatnya. Mengingat bagaimana indahnya rajutan kata sang pujangga, Sapardi Djoko Damono.

Baca juga: Cerpen Psikologi Keluarga

Sempat sebal waktu Sarwono mati, lebih sebal lagi karena ternyata tidak mati. Kejutannya mengawang, butuh imajinasi plus cari-cari alasan logis untuk menghubungkan bunyi tut di rumah sakit dengan kehadiran Sarwono di Jepang.

Kupikir Sarwono yang muncul belakangan itu hanya ilusi Pingkan karena kelewat cinta. Dia menikah dengan puisi (pikirin sendiri!) sedangkan Sarwono yang selalu bersamanya, hanyalah kenangan yang dibentuk oleh imajinasi dari kekuatan cinta. Ternyata akunya yang kejauhan mikir.

Malah sempat terpikir juga yang muncul itu jin Qorin, "kembaran" Sarwono yang membersamainya seumur hidup, jadi paham gerak-gerik dan keseharian pemuda itu. Pasti jadi film horor.

Bisa juga Pingkan jadi pengidap gangguan mental, merasa Sarwono selalu ada bersamanya dan mengajak Pingkan ikut ke dunianya. Endingnya mati juga, entah jadi kayak Romeo Juliet atau Inception. 

Kalau aku yang nulis, kunikahkan saja Pingkan dengan Baim Wong. Lupa aku, jadi siapa dia di sana. Pokoknya sepupu Pingkan. Lebih realistis, dan pasti ngeselin pembaca/penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun