Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerita tentang Hujan] Perempuan yang Pergi bersama Hujan

15 Februari 2020   19:51 Diperbarui: 19 Februari 2020   19:25 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (wallpaperflare.com)

Blar!

Tak salah aku memilih tempat ini. Tak salah pula kalau orang bilang hujan adalah rezeki.

Setiap hujan mendadak turun, akan banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang mampir ke warungku. Awalnya mereka menepi dan berteduh di teras ruko yang sudah tutup. Tapi ketika hujan makin deras dan angin membuat upaya berteduh mereka sia-sia, akhirnya mereka dengan terpaksa pindah ke tenda warungku juga.

Antara dipaksa hujan atau aroma lele goreng yang menguar, atau keduanya. Pada akhirnya hujan seperti mengantar rezeki untukku. Orang-orang yang kadang tanpa kutanya, mengaku sudah makan dari rumah, juga memesan pecel lele, menu utama di warung ini.

Aku dan Maman kerap bercanda, kami adalah pencinta senja penikmat hujan. Sebagaimana kata pujangga dadakan di media sosial. Senja hari kami membuka warung, dan hujan adalah bonus rezeki dari Tuhan.

Maman kubawa dari kampung, keponakan istriku yang usianya lebih tua dari istriku itu. Kami mengadu nasib di kota, bermodal uang dari mertua dan doa anak istri tercinta.

Kadang aku curiga, Maman adalah "intel" yang disusupkan mertuaku untuk memata-matai aku di sini. Agar jangan macam-macam. Orangtua itu lupa, macam-macam juga butuh modal.

Blar! Petir menyambar lagi.

Betul kan. Seorang perempuan yang tadi bertahan di teras sempit ruko, akhirnya masuk ke warung. "Boleh numpang duduk, Mas?"

Aku menyilakan. "Mau pesan apa, Mbak?"

"Kalau cuma numpang duduk, boleh ndak?"

"O, boleh boleh!" jawabku refleks.

Oh, sedang bokek! Tak apa. Aku juga sering kehabisan uang, harus bisa memaklumi.

Maman mengelap meja di depan perempuan itu. Kali ini agak meleset. Mungkin karena hujan sudah hilang timbul sejak kemarin, yang keluar malam ini jauh lebih sedikit dari biasanya.

Kulihat perempuan itu membekap diri, ia kedinginan. Aku ingat istriku di rumah, bagaimana kalau dia yang mengalami hal seperti ini? Kehujanan dan kedinginan di luar.

Kuangsurkan segelas teh hangat di depan perempuan itu. "Gratis, Mbak. Biar gak kedinginan," kataku.

Perempuan itu tersenyum berterima kasih.

Sebuah mobil perlahan menepi di depan warung. Sampai mesin mati sepenuhnya, satu per satu isi mobil itu keluar, berlari-lari kecil memasuki warung.

"Ayam tiga, lele tiga, Mas! Pakai cah kangkung."

Aku sigap memenuhi pesanan. Begitu pula dengan Maman.

Perempuan itu mengeluarkan ponselnya yang berdering.

Hujan makin deras, tapi anginnya lebih teratur. Nyaman, membuat ngantuk. Satu keluarga yang pesanannya telah kupenuhi menikmati hidangan sambil ngobrol santai.

Belum ada pembeli lain, tidak ada yang berteduh di ruko sekitar warungku.

Kulirik perempuan yang masih saja memegang ponselnya itu. Tampak jelas wajahnya gundah. Sesekali ia melirik padaku, lalu Maman.

"Ada yang perlu dibantu, Mbak?" tawarku padanya. Sebagai orang yang sering kesusahan, aku ingin bisa membantunya. Sebagaimana aku berharap ada bantuan jika sedang kesusahan.

"Hm ... " dia agak ragu-ragu. "Bisa pinjam hape untuk nelepon?"

"Oh bisa!" segera kurogoh saku untuk meminjamkannya ponsel pintarku.

Kemudian ia menelepon seseorang.

Maman melihat sekilas padaku. Lalu kembali pada pekerjaannya merapikan sisa makan pengunjung. Aku menerima bayaran dan sibuk mencari kembalian.

Kemudian giliran Maman menerima panggilan telepon. Salah seorang pelanggan kami minta diantarkan sepuluh bungkus pecel lele. Alamatnya tidak jauh, sekian ratus meter di belakang ruko.

Memang sudah jadi kebiasaan, ia minta diantarkan. Karena sudah langganan, dan pesanannya juga banyak, jadi kami penuhi. Maman bertugas mengantarkannya, naik motor dan pakai jas hujan.

Seperginya Maman, aku duduk berhadapan dengan perempuan itu. Matanya basah.

"Lagi ada masalah, ya, Mbak?"

Ia diam menunduk. Pelan-pelan menyeka air mata, seolah dengan begitu aku tidak menyadarinya. Aku memilih tak bertanya lagi.

"Anak saya di rumah sakit, adik saya yang menjaganya belum makan." Ia berucap sambil menahan air mata. "Tadi bos tidak datang ke kantor, jadi gaji kami ditunda."

Aku langsung paham.

"Saya bungkuskan gratis. Gak apa, Mbak." Aku beranjak menyiapkan tiga bungkus menu terbaik.

"Tidak usah, Mas!" tolaknya tak yakin.

Aku meneruskan kegiatan membungkus nasi.

"Suami saya pergi, sudah setahun tak ada kabar." Ia bercerita tanpa kuminta.

Aku sendiri masih asyik dengan nasi, ikan, dan lalapan.

"Mungkin dia pergi dengan mantannya."

Aku mendengarkan, tapi tak menjawab. Hujan mulai reda, tersisa rintik halus yang masih padat.

"Sekarang saya harus kerja banting tulang untuk menghidupi anak dan adik. Kami yatim piatu."

Tiga bungkus pecel lele sudah rapi dalam kresek. Aku duduk lagi di hadapannya. Perempuan itu nampak senang, tapi kerut kesedihan masih tersisa di wajahnya. Ia berusaha menyembunyikan ekspresi itu dengan memandang ke sana kemari, lalu menunduk.

Alangkah hebat perempuan ini, pikirku. Istriku di rumah hanya tahu menerima kiriman dariku, tak kenal namanya mencari nafkah. Beda jauh dengan perempuan yang ada di hadapanku ini. Ia tegar, kuat, dan ayu.

Bulu matanya lentik. Hidung tinggi, dengan bibir yang penuh. Siapa laki-laki yang menyia-nyiakan perempuan seindah ini?

Suara sepeda motor Maman terdengar mendekat. Aku teringat, di dompetku masih ada lima lembar seratus ribuan.

"Ini, untuk bantu-bantu pengobatan anakmu. Besok-besok, mainlah kemari. Saya akan senanng membantu!" kutempelkan kelima lembar isi dompetku itu ke telapak tangannya yang halus.

Tak lupa tiga bungkus pecel lele spesial dengan menu terlengkap kuberikan ke tangannya yang satu lagi. Ketika lengan itu tersentuh, ada getaran yang sampai jauh ke dalam tubuhku.

Perempuan itu berterima kasih dan melangkah ringan menuju sepeda motornya. Kupandangi ia hingga jauh, tinggal titik, kemudian tak terlihat.

"Mas, hapemu mana? Ini anak-anak nelepon ke nomorku!" Maman berteriak sembari melemparkan ponsel kecilnya ke atas meja.

Aku terkesiap.

"Mas, itu angkat teleponnya!" Maman berteriak lagi.

Buru-buru kuraih ponsel Maman, lalu menjawab, "Iya anak Ayah, apa kabar?" sembari mata dan pikiranku ke sana kemari mencari di mana ponsel pintarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun