Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kambing Jantan Ibumu 2

13 November 2019   09:10 Diperbarui: 13 November 2019   09:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sambungan dari bagian 1

Rasanya darahmu sudah sampai di ubun-ubun, siap tanganmu melayangkan pukulan. Tapi terngiang pesan almarhumah ibumu, hormati orang yang lebih tua. Kau mengurungkan niat.

Kau pulang menelan kekesalan. Apalagi kambing itu terus memandangi kepergianmu, sedangkan orang-orang yang kaulintasi menghasut untuk membalas keangkuhan orang tua yang selamat dari kemarahanmu. Kau bertahan dalam kesabaran, ibumu di sana pasti senang.

---

Kalimat ibu, hormati yang lebih tua, sebenarnya telah kaupahami, bahwa itu pesan spesifik untuk kau bersikap pada ayahmu.

Laki-laki yang telah menyemprotkan bakal dirimu ke dalam rahim perempuan yang paling kaucintai. Ayahmu sebenarnya orang baik, tapi saking baiknya ia, biangmu itu tak pernah bisa menolak kehendak ibunya. Mungkin begitu pulalah kau jika ibumu masih hidup. Bakti ayahmu pada ibunya menghalangi nalarnya untuk berpikir, bahwa kau dan ibumu pun berhak atasnya.

Ayahmu meninggalkan istrinya yang tengah hamil. Ibunya bilang, anak yang ada dalam perut istrinya bukan cucu kandung ibunya. Bukan anaknya, bukan darah daging mereka. Ibumu menolak tuduhan itu, ia terus meyakinkan ayahmu bahwa hanya dialah satu-satunya laki-laki yang pernah menjamah ibumu. Apa lacur, ayahmu terlalu tuli untuk mendengar ucapan istrinya.

Begitulah cerita yang disuguhkan ibumu sejak kau bisa mendengar. Sejak bahkan baru bisa menggelindingkan tubuh. Kau besar dari sepasang tangan saja, bukan sepasang orang tua. Ada yang menyebutmu yatim tak jelas. Ayah ada, tapi entah di mana.

Kata orang-orang tua di kampungmu, dulu ayahmu sering melintasi rumah kalian. Mencuri pandang, mungkin ingin melihat keadaan kalian. Kadang ia naik sepeda motor, kadang dengan mobil ibunya. Tak pernah berjalan kaki. Ibumu pun menyadarinya, tapi tak sudi melihat pada laki-laki itu. "Lebih bagus dulu aku kawin dengan kambing, daripada dengan laki-laki dungu itu!" ketusnya sekali waktu. Kau saat itu tengah bermain mobilan kayu.

---

Begitu tiba di rumah, seperti semua ternak tetangga telah pindah ke tempatmu. Ayam-ayam yang berhamburan menyelamatkan diri, tak lupa meninggalkan kenang-kenangan tembelek hangat. Kucing-kucing bandot yang beser pun meninggalkan urin mereka sebagai tanda wilayah kekuasaan. Belum lagi mentok megal-megol yang lambat sekali perginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun