Senja kian merana. Asap rokok bercampur bau kopi hitam menguap pelan dari gelas-gelas kaca. Warung kopi belakang terminal itu tak pernah sepi dari keluh kesah. Meja kayu yang catnya mulai terkelupas jadi saksi obrolan rakyat kecil yang hidupnya makin hari makin terhimpit.
"Listrik naik lagi, Pam ikut-ikutan. Pajak motor juga nambah, katanya buat pembangunan," ujar seorang sopir angkot sambil menyeruput kopi pahitnya.
"Pembangunan apaan? Jalan bolong masih segitu-gitu aja. Yang dibangun paling proyek baru buat orang-orang joget di Senayan," sahut kawannya sambil terkekeh getir.
Obrolan itu disambut tawa pahit pengunjung lain. Tawa yang bukan lahir dari lucu, tapi dari kenyataan yang sudah terlalu lama bikin perih.
Di meja seberang, seorang tukang bakso ikut nyeletuk, "Dulu katanya rakyat kecil jadi prioritas. Nyatanya, penghasilan makin seret, utang warung makin numpuk. Yang di atas malah pesta, joget-joget, dapat tunjangan rumah lima puluh juta. Kita disuruh ikhlas, mereka disuruh puas."
"Jadi keadilan sosial itu buat siapa, to? Buat rakyat atau buat penguasa?" suara parau seorang bapak tua dengan sarung lusuh menyela.Â
"Keadilan itu katanya hak semua orang. Tapi kenyataannya, kalau rakyat salah sedikit, hukum datang cepat. Kalau pejabat salah, hukum bisa diajak duduk bareng sambil ketawa."
"Betul, Pak," timpal pedagang rokok kecil yang dagangannya sering disita satpol PP. "Saya jualan di trotoar ditendang-tendang, disuruh minggir, katanya merusak keindahan kota. Lah mereka bangun gedung mewah dari uang rakyat, ngutang sana-sini, siapa yang bilang itu merusak masa depan?"
Suasana warung kopi mendadak hening. Hanya terdengar suara bus tua menyalakan mesin. Di dinding warung, kalender kusam bergambar pejabat tersenyum terasa seperti ironi yang menusuk.
"Negara ini adil, kok," seorang pemuda berkata lirih, nyaris sinis. "Adil karena rakyat selalu kebagian susah, pejabat selalu kebagian senang. Semua sudah bagiannya masing-masing."
Tawa kecil terdengar, pahit, getir, seperti kopi yang terlalu lama diseduh.