Akhirnya aku menulis bukan lagi untuk dikirim.
Tapi untuk menjaga diriku sendiri dari mati rasa.
Karena kalau berhenti menulis, aku takut jadi sama:
melihat lubang jalan dan berkata,
"Yah, biasa, lah."
Dan ketika aku menulis ini, seorang remaja lewat membawa map coklat besar di tangan.
"Bawa apa itu?"
"Surat Pembaca, Pak," katanya sambil tersenyum kecil.
Aku hanya mengangguk.
Tak tega bilang:
"Kotaknya sudah lama kosong. Sejak tak ada yang benar-benar mau membaca."
Kadang, lubang di jalan lebih mudah diperbaiki daripada lubang di kepala orang-orang yang merasa sudah tahu segalanya.
Pak Dhe,
Warung kopi dekat Fotokopi Kreatif,
pukul 08.01 pagi.
Menulis surat untuk negeri yang takut membaca dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI