Catatan Hari ke-6 oleh Pak Dhe
Dulu, setiap kali ada yang mengganjal di hati-entah soal jalan rusak, lampu mati, air macet, atau pungli di gang masuk terminal-aku akan menulis.
Kumuat dalam satu halaman kecil bernama: Surat Pembaca.
Dikirim ke koran lokal.
Kadang via pos. Kadang via email. Kadang via kotak yang katanya akan dibuka "setiap hari kerja."
Tapi entah kenapa, surat-surat itu jarang sekali dimuat.
Lebih sering hilang begitu saja, seperti jeritan di tengah konser dangdut.
Anehnya, yang dimuat justru ucapan selamat ulang tahun pejabat, testimoni produk herbal, atau iklan kursus bahasa Inggris kilat untuk lansia.
Padahal aku tahu-suratku lebih penting dari itu.
Karena suratku bukan ingin mengubah dunia.
Hanya ingin didengar. Itu saja.
Di depan warung kopi, seorang warga bilang:
"Pak, jalan depan rumah bolong tiga bulan nih!"
"Lapor ke kelurahan, Mas."
"Sudah."
"Ya sudah, berarti tinggal tunggu musim kemarau."
Dulu, kalau mau bicara ke publik, kita harus menunggu koran memuatnya.
Sekarang, satu kalimat di media sosial bisa langsung dibaca ratusan orang dalam hitungan menit.
Tidak perlu perangko, tidak perlu kotak besi di depan kantor redaksi.
Tapi yang cepat belum tentu sampai.
Sama seperti surat pembaca, kritik di media sosial pun bisa tenggelam-terhapus oleh banjir komentar lucu, gosip selebritas, atau berita yang hanya bertahan sehari di trending topic.
Bedanya, dulu kegagalan surat pembaca dimuat membuat kita diam.
Sekarang, kegagalan media sosial membuat kita berteriak lebih keras, tapi sering tanpa arah.
Dan pada akhirnya, baik di surat pembaca maupun di medsos, yang menentukan bukan sekadar keberanian kita menulis, tapi keberanian orang lain untuk benar-benar membaca.
Berikutnya, aku sempat tertawa kecil membaca salah satu konten nyeleneh pada salah satu media:
Kalimat ini tak butuh amplop
Tak perlu perangko
Tapi tetap saja-
Hanya dibaca angin.
Betul juga, di negeri sebesar ini-bahkan di kota kecil seperti Tenggara-kritik adalah kata yang sering dicurigai.
Dipoles jadi saran. Dibungkam dengan janji.
Dikasih stempel: tidak membangun.
Lalu ada lagi berita aneh:
Pemerintah meresmikan Program Nasional Lubang Jalan. Target: semua jalan punya "karakter" unik sebelum 2026.
Lama-lama aku sadar:
Surat Pembaca bukanlah tempat untuk pembaca.
Tapi tempat yang dijaga agar pembaca tetap diam.
Akhirnya aku menulis bukan lagi untuk dikirim.
Tapi untuk menjaga diriku sendiri dari mati rasa.
Karena kalau berhenti menulis, aku takut jadi sama:
melihat lubang jalan dan berkata,
"Yah, biasa, lah."
Dan ketika aku menulis ini, seorang remaja lewat membawa map coklat besar di tangan.
"Bawa apa itu?"
"Surat Pembaca, Pak," katanya sambil tersenyum kecil.
Aku hanya mengangguk.
Tak tega bilang:
"Kotaknya sudah lama kosong. Sejak tak ada yang benar-benar mau membaca."
Kadang, lubang di jalan lebih mudah diperbaiki daripada lubang di kepala orang-orang yang merasa sudah tahu segalanya.
Pak Dhe,
Warung kopi dekat Fotokopi Kreatif,
pukul 08.01 pagi.
Menulis surat untuk negeri yang takut membaca dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI