Satu titik bahkan harus melintasi rel kereta api yang nyaris sejajar dengan jalan.
Tanpa palang, tanpa penjaga.
Saat hujan, rel jadi licin dan tak sedikit pemotor terpeleset seperti martabak di penggorengan.
Warga sudah biasa. Yang baru lewat? Trauma seketika.
Di kota ini, arah dibuat demi rencana,
jalur dibelokkan demi berita,
dan kita yang berjalan kaki---
hanya jadi catatan kaki.
Breaking News Kota Tenggara:
"Uji coba jalan searah Pasar Induk dinyatakan berhasil.
Tolok ukurnya?
Jumlah rapat evaluasi meningkat dua kali lipat, dan pedagang buah tersenyum lebih lebar."
Waktu tempuh di jalur alternatif dua kali lipat dari jalur utama.
Tapi katanya: "Ini demi kelancaran bersama."
Entahlah, yang mana "bersama" itu.
Karena yang lancar hanya janji dan seremoninya, bukan kendaraannya.
Pak Dhe,
Bangku besi berkarat depan papan rambu baru.
Jalan searah Pasar Tenggara,
pukul 07.13 pagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI