Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Jalan Searah yang Tak Terarah

9 Agustus 2025   19:06 Diperbarui: 13 Agustus 2025   12:52 32 0
Catatan Hari ke-3 oleh Pak Dhe

Pagi itu Kota Tenggara terbangun seperti biasa-terlambat, macet, dan sedikit tersinggung.
Di depan Pasar Induk, suara klakson beradu dengan teriakan pedagang yang menata buah di pinggir aspal.
Uji coba jalan searah masih berlanjut, meski yang diuji sepertinya bukan jalannya, tapi kesabaran warganya.

Di kota besar, jalan searah diciptakan agar kendaraan tak saling menabrak.
Di Kota Tenggara, jalan searah diciptakan agar pedagang bisa menambah lapak ke arah aspal tanpa takut ditabrak dari arah sebaliknya.

Uji coba jalan searah di depan Pasar Induk Tenggara sudah memasuki minggu ketiga.
Dulu katanya mau diuji dua minggu.
Tapi karena yang menguji juga tak yakin hasilnya apa, maka diperpanjang... dan diperpanjang...
hingga akhirnya jadi permanen karena tak ada yang sanggup bilang: "Gagal."

"Macet berkurang?"
"Ya... berkurang dari arah timur, tapi nambah dari arah barat."
Begitu kata Pak Lurah sambil mengangguk yakin seperti orang yang sedang menjawab kuis tapi lupa pertanyaannya.

Kini, jalan yang dulu dua arah itu berubah jadi satu arah.
Tapi fungsinya tetap dua arah:
angkot bisa parkir melintang di badan jalan,
motor bisa lawan arah "asal nggak ketahuan,"
dan pejalan kaki... entah sejak kapan dianggap makhluk mitologis yang tak perlu disediakan trotoar.

Satu papan rambu dipasang, lalu hilang keesokan harinya, katanya "dipinjam warga buat hajat."
Rambu lain tertutup spanduk jualan duren lokal, dengan slogan: "Manisnya Bikin Gagal Move On!"
Entah durennya, entah uji cobanya.

"Pak, ini jalannya searah, loh!"
"Iya, makanya saya arahnya yang satunya."
"Lho?"
"Lho, kan searah, bukan searah sama rambu."

Pihak berwenang menyarankan jalur alternatif.
Kedengarannya bijak.
Tapi saat dilewati, warga baru sadar bahwa "alternatif" di Kota Tenggara bukan berarti lebih baik, tapi lebih sempit, lebih jauh, dan lebih berisiko.

Jalan alternatif itu membelah kampung padat penduduk, melewati tikungan tajam dengan rumah yang nyaris menempel ke aspal.
Beberapa bagian melintasi sawah, tapi lebarnya tetap seperti nasib: pas-pasan.
Aspalnya bergelombang, tambalan tak rata, dan lubang-lubang kecil yang setia menunggu korban.

Satu titik bahkan harus melintasi rel kereta api yang nyaris sejajar dengan jalan.
Tanpa palang, tanpa penjaga.
Saat hujan, rel jadi licin dan tak sedikit pemotor terpeleset seperti martabak di penggorengan.
Warga sudah biasa. Yang baru lewat? Trauma seketika.

Di kota ini, arah dibuat demi rencana,
jalur dibelokkan demi berita,
dan kita yang berjalan kaki---
hanya jadi catatan kaki.

Breaking News Kota Tenggara:
"Uji coba jalan searah Pasar Induk dinyatakan berhasil.
Tolok ukurnya?
Jumlah rapat evaluasi meningkat dua kali lipat, dan pedagang buah tersenyum lebih lebar."


Waktu tempuh di jalur alternatif dua kali lipat dari jalur utama.
Tapi katanya: "Ini demi kelancaran bersama."
Entahlah, yang mana "bersama" itu.
Karena yang lancar hanya janji dan seremoninya, bukan kendaraannya.



Pak Dhe,
Bangku besi berkarat depan papan rambu baru.
Jalan searah Pasar Tenggara,
pukul 07.13 pagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun