Pasar ini seperti mulut yang tak pernah berhenti mengunyah
sayur, ikan, roti, dan gosip yang hangat.
Menelan semua keluhan
tanpa pernah benar-benar kenyang.
Di ujung pasar, sebuah papan pengumuman penuh sobekan kertas lama.
Ada iklan solusi terlambat datang bulan, sedekah masjid, dan lowongan kerja palsu.
Semua menempel berdampingan, seperti potret kota ini: tak rapi, tapi tetap ditempeli harapan.
Seorang bapak tua lewat sambil menenteng dua kantong plastik penuh kangkung. Ia tersenyum ke arahku.
"Pagi, Pak Dhe. Macetnya tambah panjang, ya?"
"Pagi. Ya... mungkin ini yang disebut panjang umur," jawabku, dan kami tertawa singkat, seperti orang yang sudah terlalu akrab dengan masalah.
Aku duduk di bangku kayu dekat penjual nasi bungkus.
Makan dalam diam.
Mengunyah bukan hanya nasi, tapi juga getir yang perlahan jadi biasa.
Mungkin benar kata temanku dulu:
"Di kota kecil, yang paling setia adalah kemacetan yang tak pernah benar-benar diurai."
Pak Dhe - Bangku kayu dekat gerobak nasi kucing.
Tepian Pasar Subuh Tenggara, 06.44 pagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI