Bunyi klakson bersahut-sahutan.
Bukan lagu kebangsaan, bukan pula aba-aba perang.
Itu hanya tanda bahwa pagi telah dimulai, dan macet adalah bagian dari rutinitas yang tak boleh diganggu gugat.
Tepat di pertigaan Jalan Raya Tenggara, dari pukul 05.15 sampai lewat jam 07.00, warga sudah hafal nada-nada sumbang dari kendaraan yang terjebak. Yang salah? Tentu bukan siapa-siapa.
Sudah dari dulu begitu.
Dan justru karena "dari dulu begitu", maka tak ada yang merasa perlu mengubahnya.
Pasar Subuh-yang katanya hanya untuk warga sekitar agar bisa belanja cepat dan hemat-nyatanya jadi pusat kekacauan yang dijaga oleh kesepakatan diam-diam:
Pedagang boleh menumpuk sampai ke aspal.
Pembeli boleh parkir semaunya.
Dan angkot... ah, angkot adalah raja jalanan yang bisa berhenti di mana saja: tengah jalan, tikungan, atau bahkan depan pos polisi yang pura-pura tak melihat.
"Ada penertiban, Pak?" tanyaku pada Pak RW yang sedang duduk di dekat pintu pasar.
"Sudah pernah. Tapi ya gitu... susah," jawabnya sambil nyeruput kopi sachet dari termos plastik yang tak pernah panas benar.
Trotoar di sekitar pasar seharusnya untuk pejalan kaki.
Tapi di sini, fungsinya sudah berubah: menjadi etalase dadakan untuk tumpukan bawang merah, timbangan karatan, dan keranjang ayam yang berkokok gelisah.
Para pejalan kaki, kalau tak ingin menabrak, harus berjalan di pinggir aspal yang becek, berbaur dengan arus kendaraan yang merayap.
Bongkar muat dagangan dilakukan di mana saja.
Mobil pick-up berhenti mendadak di bahu jalan, membuka bak, dan mulai menurunkan karung beras seolah sedang memindahkan dunia.
Sementara motor-motor pedagang sayur keliling berhenti seenaknya di tepi jalan, bakul sayur diikat longgar dengan tali rafia, siap jatuh kalau ada yang menyenggol.
Seorang ibu di jok belakang motor mencoba menawar harga bayam sambil tetap duduk-seperti pelanggan drive-thru, tapi versi tradisional.
Di salah satu sudut, aku melihat pemandangan yang selalu sama:
sekelompok pria dengan rompi oranye memungut uang dari setiap pedagang yang lewat.
Tak ada kuitansi, tak ada senyum.
Pungutan "wajib" ini dijalankan dengan cepat, seolah bagian dari ritual pagi yang tak perlu dibicarakan.
Pedagang menyerahkan tanpa banyak tanya, mungkin karena sudah tahu: di pasar ini, uang berpindah lebih cepat dari berita.
Di belakang pasar, anak-anak sekolah berlarian, mencari celah di antara lapak sayur dan ember ikan. Seragam mereka kusut, sepatu penuh noda lumpur, tapi mata mereka tetap berbinar. Mereka tak pernah datang tepat waktu, tapi guru-guru juga tidak bisa marah, karena mereka pun terjebak di jalur yang sama.
Di tengah riuh itu, ada jeda kecil yang tak disengaja:
Pasar ini seperti mulut yang tak pernah berhenti mengunyah
sayur, ikan, roti, dan gosip yang hangat.
Menelan semua keluhan
tanpa pernah benar-benar kenyang.
Di ujung pasar, sebuah papan pengumuman penuh sobekan kertas lama.
Ada iklan solusi terlambat datang bulan, sedekah masjid, dan lowongan kerja palsu.
Semua menempel berdampingan, seperti potret kota ini: tak rapi, tapi tetap ditempeli harapan.
Seorang bapak tua lewat sambil menenteng dua kantong plastik penuh kangkung. Ia tersenyum ke arahku.
"Pagi, Pak Dhe. Macetnya tambah panjang, ya?"
"Pagi. Ya... mungkin ini yang disebut panjang umur," jawabku, dan kami tertawa singkat, seperti orang yang sudah terlalu akrab dengan masalah.
Aku duduk di bangku kayu dekat penjual nasi bungkus.
Makan dalam diam.
Mengunyah bukan hanya nasi, tapi juga getir yang perlahan jadi biasa.
Mungkin benar kata temanku dulu:
"Di kota kecil, yang paling setia adalah kemacetan yang tak pernah benar-benar diurai."