Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Curah

27 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   07:03 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Ahmad Dahri

Marsikan akhirnya memutuskan untuk pulang dan napak tilas menziarahi masa kecilnya. Ketika perjalanan sampai di Gunung Pletes, ia menghentikan motornya, ia melihat ke lembah kota yang berada di sebelah utara gunung, tampak sangat indah, masa kecilnya sering dihabiskan di gunung tersebut. Sembari mencari kayu bakar, juga untuk menerbangkan layang-layang yang disampul dengan plastik.
Setelah itu ia menyusuri perkebunan, menuju rumah kelahirannya, yang kini sudah berjejer rumah-rumah dengan gaya minimalis dan baliho-baliho berisi tulisan "Dijual tanah kavling, murah meriah, free AJB, SHM" ia menatapnya lama. Ia membayangkan perkebunan kopi yang mengundang kicau burung, dari cabang-cabang kopi ke cabang yang lainnya.

"Kemajuan jaman" benaknya mulai memikirkan dua kata terebut. Pikirannya kabur seketika ketika ia melihat proyek pembangunan sumur bor di kampungnya. Kabarnya proyek itu atas usulan Kamiran, ia dekat dengan salah satu anggota DPR daerah. Lama sekali Marsikan memandangi lahan yang dijadikan sebagai proyek pembangunan itu.
___________________

Menurut Lik Siman, kalau ingin ke curah mending jangan sendirian, setelah Tejo meninggal banyak orang mengatakan bahwa curah minta tumbal. Sesepuh kampung juga sudah melakukan selamatan di sana dengan mengubur kepala kambing tepat di tepi kedung.  
Selepas kematian teman kecil Marsikan itu, curah menjadi sangat mencekam. Hampir semua orang enggan dan takut untuk membicarakannya. Beberapa tanah garapan di sekitar aliran sungai juga sudah dipenuhi semak-semak belukar.

Kata Bik Marjani, istri Lik Siman, jika dulu banyak orang menanam mbote dan beberapa sayuran di dekat aliran sungai pasti hasil panennya akan melimpah. Namun semenjak kematian Tejo, banyak orang yang kemudian meninggalkan tanah garapan mereka di sana. Mereka lebih memilih menggarap kebun tebu, kabarnya di dusun sebelah, hampir semua orang  menanam Porang.

Tanaman itu memang sedang ramai diperbincangkan, bahkan beberapa pengepul pisang dan kelapa beralih untuk ikut menjadi pengepul Porang. "Masyarakat kita memang aneh," Kata Marsikan.

"Aneh bagaimana?" tanya Bik Marjani.
"Yang dulunya kebun kopi dan hasil panennya berton-ton, kini berubah menjadi lahan perkaplingan. Katanya lebih mudah untuk investasi. Dan juga gampang kagetan, giliran akik, semua berbondong-bondong mencari batu, entah di kali, di gunung bahkan rela pergi berhari-hari untuk mencari bongkahan batu.

Giliran bunga, semua menanam bunga, lantas sekarang sedang ramai porang dan tebu, semua berbondong-bondong menanamnya. Yang lebih miris, di Gunung Pletes, kenapa jadi gunung sengon, tanaman itu akarnya tidak kuat, fungsinya sebagai pemecah angin juga berkurang, apalagi kalau sudah banjir, rawan longsor, karena memang bukan jenis tanaman untuk penyanggah gerak tanah." Marsikan ngomel, mulutnya dipenuhi kata-kata dan teori-teori yang membusa.

"Mau bagaimana, sudah jamannya. Orang kota juga begitu, sama saja, giliran proyek di kota sudah habis, desa dan lahan-lahan subur jadi sasaran proyek selanjutnya." Sergah Bik Marjani.

Ya, masyarakat yang aneh. Mau bagaimana lagi, gumam Marsikan. Sembari memandang jauh ke dalam curah, rokok yang dihimpit kedua bibirnya menyembulkan asap pekat dan hampir menutupi wajahnya.

Ia berjalan menuruni jalan setapak yang kia samar oleh semak-semak belukar. Ia melihat kedung yang hanya dipenuhi lumpur dan genangan air berwarna coklat kehitaman.
Sebelum sampai di kedung ia mencium aroma menyengat. Ia lihat pepohonan dan beberapa tanaman di sana tak lazim, mengering, layu, beberapa tampak kerdil dan daunnya membentuk gulungan.

Sayup-sayup terdengar gurau Tejo di atas batu hitam yang berada di antara kedung dan aliran sungai. Namun kemudian hilang bersama angin yang menyelinap di antara ingatan Marsikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun